Transendent
HADIS DAN SUNNAH
(TINJAUAN ONTOLOGIS)
Oleh: Abu Muslim

1. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah alquran. Hadis Nabi merupakan penafsiran alquran dalam peraktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw merupakan perwujudan dari alquran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Makna seperti itulah yang dipahami oleh Ummul Mukminin Aisyah r.a. dengan pengetahuannya yang mendalam dan perasaannya yang tajam serta pengalaman hidupnya bersama Rasulullah saw. Pemahamannya itu dituangkan dalam susunan kalimat yang singkat, padat dan cemerlang, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang akhlak Nabi saw: “Akhlak beliau adalah alquran”.
Sunnah merupakan pondasi kedua dalam agama Islam. Ini suatu hal yang sangat penting setelah alquran. Hal ini menandakan suatu syarat dalam adap, kebiasaan, dan patokan dari para Nabi. Hal itu menandakan tingkah laku, cara bertindak, dan perkataannya merupakan suatu keragaman hidup, yang mana hal itu benar-benar dipertimbangkan untuk menjadi sebuah aturan yang harus dijalankan sebagai contoh dan panutan bagi semua umat muslim yang shaleh. Ini dinamakan juga dengan hadis, bagian dari informasi, catatan, cerita dan contoh dari tindakan-tindakan, perkataan dan perbuatan dan aturan-aturan sebagai suatu kepercayaan untuk dijalankan oleh umat muslim.
Secara teoritis, mempelajari hadis seharusnya lebih mudah daripada mempelajari alquran, sebab statusnya merupakan penjelas bagi alquran, akan tetapi dalam praktiknya mempelajari hadis terkadang justru lebih sulit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pertama, hadis tersebar dalam berbagai koleksi dengan kualitas yang sangat beragam, sehingga untuk mendapatkannya relative lebih sulit. Kedua, kualitas hadis tidak sepenuhnya sama, sehingga ketika ingin mempelajari dan menggunkan hadis tentunya terlebih dahulu harus melakukan penelitian kualitasnya agar dapat memenuhi standarisasi kehujjahannya.
Kemudian, berawal dari sebuah pertanyaan dasar, “Apakah hadis ini atau hadis itu dapat dijadikan hujjah ataukah tidak?”. Satu kelompok dengan kuat akan mempertahankan pendapatnya, sementara itu kelompok lainnya dengan gigih bersikap serupa. Untuk itu sebelum terlalu jauh memperdebatkan tentang kehujjahan hadis dan atau hal lainnya terlebih dahulu kita harus memahami kerangka ontologis dari hadis dan sunnah sehingga dalam penjabarannya argumentasi kita dapat terukur atau setidaknya memiliki kerangka argumentative yang kuat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah pokoknya adalah Bagaimana sesungguhnya Tinjauan ontologys dari Hadis dan Sunnah?. Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Defenisi dari Hadis dan Sunnah?
b. Bagaimana Pandangan Ulama tentang Pengertian tersebut?
c. Bagaimana Pula Perbedaan antara Hadis Qudsi, Hadis Nabi dan Alquran?
A. Defenisi Hadis dan Sunnah
1. Hadis
Kata hadis secara etimologi berarti komunikasi, kisah, percakapan yang bersifat Religius, sekuler, historis, atau kontemporer. Hadis juga berarti “جديد”(baru), kata hadis dalam alquran digunakan sebanyak 23 kali. Salah satu contohnya adalah dalam Q.S. Az-Zumar (39): 23, yang berbunyi:
 •    …
Terjemahnya:
Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran …

Menurut ahli hadis al Hafidh dalam Syarah al Bukhari, adalah:
أ قواله صلى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله.
Artinya:
Segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau, dan semua keadaan beliau.

Sedangkan menurut istilah ahli ushul, hadis adalah “segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang bersangkut paut dengan hukum”.
Perbedan-perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang dialaminya.
Menurut muhadditsin, hadis berarti “apa yang disampaikan dari Nabi saw, meliputi perbuatan, ucapan, persetujuan diam-diam, atau sifat-sifatnya (yakni keadaan fisik beliau)”. Namun, penampilan fisik Nabi saw tidak masuk dalam defenisi yang digunakan ahli hukum (fukaha). Dengan demikian, literatur hadis berarti literatur yang terdiri dari riwayat hidup Nabi saw dan hal-hal yang disetujui beliau. Akan tetapi istilah ini kadang digunakan dalam arti yang luas, meliputi riwayat tentang para sahabat dan tabi’in.

2. Sunnah
Sunah (Arab: sunnah), menurut para leksikograf (ahli perkamusan) bahasa Arab, berarti “cara, jalan, aturan, model, atau pola bertindak, atau mejalani hidup”. Dalam Al-Quran, kata sunnah atau sunan (yang kedua dalam bahasa Arab, jamak dari yang pertama) digunakan sebanyak enam belas kali. Dalam seluruh kasus ini, kata ini digunakan dalam pengertian “aturan, model kehidupan, dan garis perilaku yang baku”.
Pengertian Sunnah secara etimologi adalah jalan yang dijalani atau tradisi yang sudah dibiasakan. Menurut istilah (terminology) Sunnah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi dalam bentuk ucapan, perbuatan, takris, sifat kejadian fisik, sopan-santun atau sirahnya baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi. Pada umumnya sunnah itu ialah pekerjaan yang utama untuk dikerjakan, namun bila tidak dikerjakan, tidaklah mengakibatkan dosa.
Ahli ushul fiqih menta’rifkaan Sunnah segala yang dinukilkan, dari Nabi saw, baik perkataan maupun perbuatan ataupun takrir yang mempunyai hubungan dengan hukum. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat, selama kamu berpegang kepadanya, yakni kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.

3. Beberapa Istilah yang Berkaitan dengan Hadis dan Sunnah (sinonim)
Khabar menurut bahasa (etimologi) ialah warta berita disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Menurut istilah ahli hadis ialah berita dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.
Atsar menurut bahasa ialah bekas sesuatu. Menurut istilah pada umumnya para ahli hadis berpendapat bahwa hadis, sunnah, khabar, dan atsar itu muradif, akan tetapi sebagian lagi membedakannya, seperti thantawi menggunakan kata atsar untuk Hadis marfu’ saja.
4. Tinjauan Ontologis Al-Hadis dan As-Sunnah
Sunnah atau Hadis (perkataan dan kebiasaan Nabi Muhammad saw), dalam arti sunnah yang sebenarnya, menunjukkan suatu patokan dari kebiasaan Nabi, sedangkan hadis menunjukkan ucapan Nabi. Tapi keduanya merupakan dasar yang sama dan telah teraplikasi dalam tindakan, perbuatan, dan perkataannya. Hadis telah mecatatat dan menceritakan Sunnah Nabi, sebagai bagian dari sejarah terdapat tiga kebaikan dari Sunnah, itu mungkin perkataan Nabi yang diaplikasikan dalam tingkah lakunya. Dan hal ini telah menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan sunnah Nabi, sebuah tindakan dan kebiasaan Nabi dalam fi’ilnya, atau kebiasaan-kebiasaan lainnya (taqrir).
Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai sekelumit masalah ringan yang sering ditanyakan orang lain kepada kita mengenai sesuatu hal yang tidak dimengertinya. Hingga tidaklah mengherankan kiranya ketika suatu waktu kita akan ditanya: “Apa sih Hadis dan Sunnah itu?”. Untuk menjawabnya tentunya kita harus menyesuaikannya dengan konteks bahasa dan latar belakang si penanya dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.
Memahami hadis tidak cukup dengan mengetahui makna hadis secara terminology maupun epistemology yang tata bahasanya telah terukur dengan baik, akan tetapi setidaknya kita memahami makna ontologis dari hadis dan sunnah yang menyangkut nilai-nilai pemahaman kita tentang maksud dari sekelumit tatanan bahasa yang bersumber dari jumhur ulama dan mengejawantahkannya dengan konteks tatanan bahasa kita sendiri. Tentunya dengan tidak mengurangi makna dasar dari Hadis dan Sunnah itu sendiri.
Sehingga untuk dapat memahami makna ontologis Hadis, kita semestinya bisa memahami nilai-nilai dasar yang terkandung dari defenisi jumhur ulama agar kita dapat dengan mudah memberikan pengertian kepada siapa saja yang menanyakan tentang hadis dan sunnah menurut apa yang bisa dimengerti, dipahami agar lebih memudahkan untuk mengamalkannya..
Untuk itu, sebagai pendahuluan kita terlebih dahulu harus melengkapi referensi ilmiah ontologis hadis dengan memaparkan beberapa defenisi mengenai hadis dan sunnah, berikut sinonim-sinonimnya serta bagaimana pandangan para ulama tentang hadis dan sunnah menyangkut subyek obyek dan masanya, dan yang tak kalah pentingnya ketika hendak mengkaji ontologis Hadis dan Sunnah adalah membedakan Hadis Nabi dengan Hadis Qudsi dan Alquran.
B. Perbedaan Pandangan Ulama
Para ulama umumnya berpendapat bahawa hadis dan khabar mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita baik yang datang dari Nabi, Sahabat, maupun tabi’in. hadis yang periwayatannya sampai kepada Nabi disebut hadis marfu’, yang samapai kepada sahabat disebut hadis mauquf, dan yang sampai pada tabi’in disebut hadis maqtu’. Semua ini disebut khabar. Namun ada pula yang berpendapat bahwa khabar lebih umum, yakni mencakup segala yang diberitakan baik dari Nabi, sahabat, maupun tabi’in, sedangkan hadis khusus yang diberitakan dari Nabi saja. Seperti halnya ada yang berpendapat bahwa atsar lebih umum daripada khabar. Atsar merupaksn segala hal yang datang dari Nabi dan selainnya, sedangkan khabar hanya yang datang dari Nabi saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa khabar, atsar, dan hadis itu tidak ada perbedaannya, semuanya mempunyai pengertian yang sama, seperti pengertian al-Sunnah yang dikemukakan para ahli hadis di atas.
Para ulama berselisihan dalam menta’rifkan Al-hadis dan As Sunnah, adalah disebabkan berlainan jurusan yang mereka lihat dan mereka tinjau. Ulama hadis membahas pribadi rasul sebagai orang yang dijadikan Uswah Hasanah bagi ummat. Umumnya ulama hadis menukilkan segala yang berpautan dengan Nabi, baik mengenai riwayat perjalanannya, mengenai budipekertinya, keutamaannya, keistimewaannya, tutur katanya, perbuatannya dan hal ihwalnya; baik mengujudkan hukum Syar’y atau tidak. Para fuqaha membahas pribadi Nabi sebagai seorang yang seluruh perbuatannya dan seluruh perbuatannya, atau seluruh perkataannya menunjuk kepada sesuatu hukum syar’y.
Mengenai perbedaan pendapat tentang identik dan tidaknya pengertian hadis dan sunnah, sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya, sebab bagaimanapun sumbernya sama. Sunnah adalah jejak dan langkah Nabi Muhammad saw yang terbentuk melalui tindakan dan ucapannya. Sedangkan hadis adalah berita tentang ucapan, perbuatan, dan hal ikhwal Nabi.
D. Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi dengan Alquran
Qudsi secara bahasa adalah nisbat kepada “Qds” artinya hadis yang dihubungkan kepada zat yang suci yaitu Allah SWT.
Hadis Qudsi ialah Hadis yang dalam matannya ada omongan yang disandarkan kepada Allah juga merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah swt kepada Nabi-Nya melalui ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikannya kepada sahabat dengan ungkapan dan bahasa dari Nabi sendiri.
Hadis qudsi merupakan ragam khusus dari hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Yang beliau sandarkan kepada Allah Azza Wa Jalla(Yang Maha Mulia lagi Maha Agung). Akibat adanya penyandaran tersebut, hadis-hadis raga mini memperoleh sifat kekudusan (kesucian) dan karena itu terkadang hadis ini juga dinamai al-Ahadis Al-Ilahiyah dan al-Ahadits Ar-Rabbaniyah. Salah satu dari defenisi tertua adalah apa yang dikemukakan oleh As-Syaddid asy-Syarif al-Jurnani.
Hadis Qudsi biasanya terdapat redaksi-redaksi sebagai cirinya antara lain:
a. Qala (yaqulu) Allahu.
b. Firma yarwihi ‘anillahi tabaraka wa ta’ala.
c. Hadis Qudsi dimulai dengan: “Bersabda Rasulullah saw., berfirman Allah Azza Wa Jalla”, kemudian sang perawi menyebutkan teks hadis.
d. Firman Allah dalam Hadis Qudsi disampaikan bukan dalam bentuk “Dia berfriman”, seperti dalam hadis qudsi yang diriwayatkan Muslim: “Ketika Allah telah menyelesaikan ciptaan, Dia memutuskan dalam ketetapan-Nya atas diri-Nya, maka keputusan itu ada di sisi-Nya: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku”. Teks terakhitr ini diriwayatkan secara sangat pasti dengan bentuk persona pertama kepada Allah Ta’ala.
1. Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabi
Hadis Nabi, berakhir sanadnya kepada Rasul saw., sedang hadis Qudsi berlanjut sanadnya hingga kepada Allah Azza Wa Jalla, dengan demikian ia adalah firman Allah, dan sering kali menggunakan pengganti nama dalam bentuk persona pertama, seperti pada hadis yang mengharamkan penganiayaan:
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya antara kamu pu haram, karena itu janganlah saling menganiaya,…..”

Tetapi itu bukan menafikan bahwa hadis Nabi secara umum adalah wahyu dari Allah SWT., berdasarkan firman-Nya:“Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak berucap dari hawa nafsu.”
2. Perbedaan Antara Hadis Qudsi dengan Alquran Al-Karim
Alquran diterima dengan lafadznya yang turun secara teratur dan pasti dari Allah swt melalui perantaraan Malaikat Jibril. Adapun Hadis Qudsi, penerimaannya berdasarkan penyampaian Ahad (perorangan), sehingga pembuktian kebenarannya tunduk kepada kaidah-kaidah pembuktian yang berlaku atas semua hadis-hadis ahad, sehingga ia bersifat shahih, hasan atau dhaif, sesuai dengan ketetapan kaidah-kaidah tersebut. Diantara tanda-tanda yang lebih rinci menurut para ulama adalah bahwa alquran terbagi kepada surah-surah dan ayat-ayat; pembacanya mendapat ganjaran kebaikan atas setiap huruf yang dibacanya; Allah telah berkenan memeliharanya dari perubahan dan pergantian; Alquran tidak diriwayatkan dengan maknanya. Kesemuanya itu tidak berlaku terhadap Hadis Qudsi.
Secara rinci dapat dilihat beberapa perbedaan antara alquran dan hadis qudsi antara lain:
1. Alquran, kata-kata dan maknanya adalah dari Allah Ta’ala, sedangkan hadis qudsi maknanya dari Allah namun kata-katanya dari Nabi saw.
2. Alquran, membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis qudsi tidak dijadikan sebagai ibadah.
3. Alquran disyaratkan harus mutawatir, sedangkan hadis qudsi tidak disyaratkan.
4. Tidak sah shalat dengan membaca hadis qudsi.
5. Tidak diharamkan menyentuh dan membaca hadis qudsi bagi orang yang junub dan bagi orang yang nifas.
6. Lafadznya tidak menjadi mukjizat.
7. Tidaklah kafir orang-orang yang menentangnya.


Kesimpulan
1. Hadis dan Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah alquran dan merupakan penjelasan yang nyata terhadap ayat-ayat alquran yang masih global serta merupakan keterangan yang nyata bagi keumuman ayatnya.
2. Secara garis besar, Sunnah adalah Model Kehidupan Nabi atau dengan kata lain jejak dan langkah Nabi Muhammad saw yang terbentuk melalui tindakan dan ucapannya. Sedangkan hadis adalah berita tentang ucapan, perbuatan, dan hal ikhwal Nabi (Peristiwa yang disandarkan pada Nabi).
3. Para ulama umumnya berpendapat bahwa Hadis dan Sunnah mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita baik yang datang dari Nabi, Sahabat, maupun tabi’in. Adapun perbedaan pandangan mengenai hadis dan Sunnah lebih ditekankan pada cara pandang masing-masing yang mengacu pada latar belakang keilmuan masing-masing.
4. Hadis qudsi itu berbeda dengan alquran, karena alquran diturunkan melalui perantara malaikat Jibril dan terikat dengan lafadz yang diturunkan dari lauhul mahfuz dengan jalan yakin. Kemudian dinukilkan secara mutawatir pada ummat manusia. Sedangkan hadis qudsi ialah sesuatu yang dikabarkan Allah swt kepada Nabi-Nya melalui ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikannya kepada sahabat dengan ungkapan dan bahasa dari Nabi sendiri.


0 Responses

Post a Comment