Transendent

A.     PENDAHULUAN

1.      Gambaran Materi Yang Dibahas

a. Khawarij

            Kaum Khawarij adalah kelompok orang-orang yang pada mulanya pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan sikap Ali terhadap keputusan yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Shiffin dengan kelompok pemberontak, Mu’awiyah bin Abi Sofyan perihal persengketaan tentang khilafah. Kelompok Khawarij pada awalnya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah  yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Mu’awiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah ; lagipula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima ajakan damai dari Mu’awiyah, maka kemenangan yang hampir diraih menjadi raib, hal inilah yang memunculkan semboyan “La Hukma Illa Lillah” (tidak hukum kecuali Allah). Persoalan yang tadinya hanya  persoalan khalifah dan tahkim kemudian merambah kepada soal keyakinan dan kepercayaan, untuk lebih mengenal dan memahami Aliran Khawarij ini, maka perlu diuraikan sejarah timbulnya, sekte-sektenya dan ajaran pokoknya.

b. Murji’ah

            Kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah Usman bin Affan wafat terbunuh. Persoalannya kemudian ialah masihkah bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar ? Aliran Murji’ah menegaskan bahwa orang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah swt untuk mengampuni dan tidak mengampuninya. Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu, golongan moderat dan golongan ekstrim, tentang porsi iman sehingga pada pembahasan pada materi ini diawali dengan sejarah timbulnya Murji’ah, tokoh-tokoh dari sekte-sekte Murji’ah serta ajaran-ajaran pokoknya.

2.      Pedoman Mempelajari Materi

Untuk memudahkan memahami materi ini, maka sebaiknya diingat kembali latar belakang munculnya Ilmu Kalam dan dihubungkan dengan keluarnya Khawarij dari pasukan Ali. Pada dasarnya sangat tekstual dalam memahami ayat-ayat, sehingga dalam memahami ajaran-ajaran sekte Khawarij harus dibedakan yang ekstrim dan moderat. Begitu pula dengan golongan Murji’ah, karena golongan yang  ekstrim sangat berbeda dengan paham yang dianut oleh masyarakat, tetapi harus dipahami bahwa itulah perbedaan pendapat dalam memahami ajaran agama.

3.      Tujuan Pembelajaran

Setelah materi ini selesai, maka diharapkan :
a.       Mahasiswa dapat menjelaskan latar belakang munculnya Khawarij dan Murji’ah
b.      Mahasiswa dapat menjelaskan sekte-sektenya dan ajaran masing-masing
c.       Mahasiswa dapat membedakan kedua golongan tersebut.








B. KEGIATAN BELAJAR

1.       Materi Perkuliahan

a.       Khawarij

1) Latar Belakang Lahirnya Khawarij

            Lahirnya Khawarij dilatar belakangi oleh peristiwa politik yang menjadi latar belakang lahirnya Ilmu Kalam yang dijelaskan pada pembahasan lalu
            Golongan ini yang semula mendukung Ali, menjadi berbalik membenci dan memusuhi Ali. Mereka ini kemudian diberi nama Khawarij yang berarti “kaum yang keluar dan memisahkan diri dari Ali”.
            Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar”. Nama ini diberikan kepada orang yang keluar dari barisan Ali sebagaimana disebutkan di atas, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa nama itu di berikan atas dasar surah al Nisa ayat 100 yang artinya:

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah..........”.

            Ayat ini menegaskan bahwa orang yang meninggalkan rumahnya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya akan mendapatkan pahala dari Allah swt. Orang-orang Khawarij menganggap dirinya melakukan hal tersebut sehingga dinamakan Khawarij.
            Kaum Khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah”. Penamaan ini bersumber dari ayat 207 surah al Baqarah yang artinya :

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.

            Nama lain bagi Khawarij adalah Haruriyah. Istilah ini, mereka gunakan untuk menamakan diri mereka, yang berasal dari kata Harura, nama suatu tempat dekat Kufah. Di tempat ini mereka menumpahkan rasa penyesalannya kepada Ali bin Abi Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.

2) Sekte-sekte dan Ajaran-ajarannya

            Menurut Syahrastani, mereka terpecah menjadi 18 sekte.[1] Dan menurut al Baghdadi 20 sub sekte.[2] Al Asy’ari menyebut sekte-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.[3]
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati dan berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat kebadawian mereka. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam, sebagai terdapat dalam al Quran dan Hadis, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.[4]
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya paham Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.

a) Al Muhakkimah
            Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali disebut golongan al Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Mu’wiyah, kedua perangantara Amr Ibn al Ash dan Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
            Berbuat zinah, dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir.[5] Demikianlah seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya.

b) Azariqah
            Golongan Azariqah yaitu pengikut-pengikut Nafi Ibn al Azraq  yang pergi bersamanya. Merekalah golongan yang terkuat dan banyak jumlahnya. Mereka dapat menguasai Ahwaz dan daerah-daerah sekitarnya. Seluruh pegawai Abdullah Ibn Zubair diusir mereka. Mereka berkuasa di sana dan mengambil pajak. Mereka mengadakan pertukaran pikiran dengan penduduk daerah itu untuk mempengaruhi penduduk dan menarik penduduk kepada mazhab mereka. Beberapa penolong Nafi’ tinggal di Basrah untuk menentukan sikap terhadap penduduk-penduduk yang enggan membantunya. Nafi’ pun mengelurakan hukum-hukum yang di bawah ini :

(1) Segala penduduk yang tidak membantu gerakan mereka apalagi yang menantang mereka dipandang musyrik, karena mereka menyeru masyarakat kepada seruan Rasul. Maka orang yang tidak menuruti seruan mereka, berarti menantang Rasul lalu wajib diperangi atau tunduk menyerah.
(2) Daerah penduduk yang tidak menyetujui paham mereka dipandang Darus Syirki, haram diadakan hubungan kasih sayang dengan mereka, haram bermukim di tengah-tengah mereka, haram berbisanan dengan mereka, haram pusaka mempusakai, haran memakan sembelihan mereka, tidak boleh mengikuti sembahan mereka, tidak boleh menerima kesaksian mereka, tidak boleh belajar ilmu agama dari mereka, halal berkhianat terhadap amanah-amanah mereka, boleh membunuh mereka, dan boleh membunuh wanita dan anak-anak dari penduduk daerah itu.[6]
(3) Tidak boleh memelihara diri dalam bermuamalah dengan penduduk daerah itu, karena Allah telah mencela orang-orang yang karena takut lau memelihara diri.[7]
(4) Boleh para penzina muhshan tidak dirajam, karena nash hanya menyuruh dicambuk saja setiap penzina.[8] Demikian juga mereka mewajibkan hukuman had atas orang yang menuduh wanita muhshanah berbuat zina, tidak dikenakan hukuman had atas penduduk yang menuduh lelaki yang muhshan.[9]
Inilah prinsip baru yang dikembangkan Nafi’ , selain dari apa yang telah kita ketahui tentang pendirian golongan Khawarij pada umumnya mengenai imamah, orang yang mengerjakan dosa besar. Dari sedikit demi sedikit pengikut Nafi itu bertambah banyak.


c) Najdah
            Khawarij Yamamah pada mulanya bergerak di bawah pimpinan Abu Thalut al Bakri, sesudah mereka berpisah dari Ibn Aubair. Tatkala Najdah Ibnu Amir berpisah dari Nafi’ Ibn Azraq yaitu pada 66 H. dan pergi ke Yamamah, Khawarij Yamamah memecat Abu Thalut dan mengangkat Najdah. Karenanya Khawarij golongan ini dinamakan dengan Najdah.[10]
            Najdah menulis surat kepada Nafi’ menegurnya dan mengkritiknya terhadap paham-paham baru. Najdah tidak lagi mengkafirkan orang-orang yang bergerak memerangi golongan Mu’awiyah. Oleh karenanya, boleh nikah menikahi, boleh waris mewarisi, boleh makan sembelihan mereka, boleh diterima kesaksian mereka, tidak boleh menghianati amanah mereka, boleh memelihara diri dari jalan menyembunyikan hal-hal yang tak dapat dilakukan Secara terang-terangan.
            Dinukilkan oleh Al Syahrastani dari Ka’bi bahwasannya golongan Najdah berpendapat bahwa masyarakat tidak memerlukan adanya kepala negara. Masyarakat harus masing-masing anggotanya bersikap jujur dan insaf kepada sesamanya, menghindari kesalahan dan kemaksiatan. Akan tetapi, kalau dirasa perlu untuk mewujudkan kerukunan dalam masyarakat maka boleh mengangkat kepala Negara untuk itu.
            Golongan ini berpendapat bahwa berdusta lebih jahat dari berzina, tetap mengerjakan dosa kecil, merupakan syirik ; mengerjakan dosa besar tanpa terus menerus tidak merupakan syirik dan bahwa Ahlul Ahdi Wadzdzimmah di dalam daruttaqiyah, halal di tumpahkan.[11]
            Golongan Nahjah subur perkembangannya di Yaman, Tha’if, Amman, Bahrain dan Wadi Tamim dan ‘Amir. Akan tetapi Najdah ini mendatangkan paham-paham barunya yang menyebabkan pengikutnya memecat dan membunuhnya. Dia mengatakan bahwa agama itu ada dua bahagian :  
(1)  Beriman kepada Allah dan RasulNya dan beriman kepada apa yang didatangkan Rasul secara garis besar serta haram di tumpahkan darah pengikutnya
(2) Mengenai bahagian yang kedua ini tidak perlu semua orang mengetahuinya. Orang yang salah dalam berijtihad, dimaafkan. Maka orang yang menghalalkan yang haram karena sesuatu ijtihad dimaafkan. Karena itu orang yang mengawini saudaranya atau ibunya karena dia tidak mengetahui bahwa yang demikian itu tidak boleh, dimaafkan dan tetap dipandang mukmin.[12]

d) Al ‘Ajaridah
            Mereka adalah pengikut dari Abd al Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut Al Syahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah al Hanafi.[13]
            Kaum Al ‘Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’  ibn al ‘Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kewajiban.[14] Dengan demikian kaum ‘Ajradiah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Sedang menurut al Azariqah seluruh harta musuh boleh dijadikan rampasan perang.[15] Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah,[16] tidak musyrik menurut orang tuanya.
            Selanjutnya kaum ‘Ajradiah ini mempunyai faham puritanisme. Surat Yusuf dalam al Qur’an membawa cerita cinta dan al Qur’an, sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surah Yusuf sebagai bahagian dari al Qur’an.[17]
            Sebagai golongan Khawarij lain, golongan ‘Ajradiah ini juga terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil. Di antara mereka, yaitu golongan al Maimuniah, menganut faham Qadariah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri.[18] Golongan al Hamziah juga mempunyai paham yang sama.[19] Tetapi golongan al Syu’aibiah dan al Hazimiah menganut paham sebaliknya. Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menentang kehendak Allah.[20]

e) Al Sufriah
            Pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al Asfar. Dalam paham mereka dekat sama dengan golongan al Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut :
(1) Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang  kafir
(2)  Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh[21]
(3) Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada di antara mereka yang membahagi dosa besar dalam dua golongan, dosa yang ada sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dipandang kafir. Yang menjadi kafir hanyalah orang yang melaksanakan dosa golongan kedua.[22]
(4)  Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi ; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.[23]
(5)  Kufr dibagi dua : kufr bin inkar al ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.[24]

      Di samping pendapat-pendapat di atas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi mereka :
(1)  Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan
(2)  Tetapi sungguhpun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.[25]

f) Al Ibadah
            golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran ajaran berikut :
(1)  Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang sedemikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.[26]
(2)  Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp, pemerintah merupakan dar tauhid, daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, dan tak boleh diperangi. Yang merupakan dar kufr, yaitu harus diperangi, hanyalah ma’askar pemerintah.[27]
(3)  Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esakan, tetapi bukan mukmin,[28] dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al ni-mah dan bukan kafir al millah, yaitu kafir agama.[29]   
(4)  Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata emas dan perak harus dikembalikan kepada para empunya.[30]

b.      Murji’ah

1) Latar belakang munculnya

Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya pendiri atau tokoh utama aliran ini. Menurut al Syahrastani, Husein bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang menyebut irja’.[31] Akan tetapi, hal ini belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah.
Term Murji’ah memberikan pengertian menangguhkan hukum perbuatan seseorang sampai dihadapan Allah swt. Golongan ini memang berpendapat bahwa muslim yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan kafir, tetapi mukmin. Mengenai dosa besar yang dilakukannya diserahkan kepada keputusan Allah swt nanti. Allah bisa mengampuni dosa itu, bisa pula tidak, semuanya merupakan urusan Allah swt. Dengan demikian, muslim yang berdosa besar masih mempunyai harapan mendapat keampunan Allah swt.


Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran Murji’ah antara lain :  
a)         Adanya perbedaan pendapat antara orang-orang Syi’ah dan Khawarij mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali mengkafirkan orang-orang yang terlibat dan menyetujui tahkim dalam perang Shiffin
b)        Adanya pendapat yang menjelaskan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang Jamal
c)         Adanya pendapat yang menjelaskan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.

2) Ajaran-ajaran Murji’ah

      Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut :
a)      Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati
b)     Orang Islam yang melakukan dosa besar  tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
c)      Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.

3) Sekte-sekte dari ajaran-ajarannya

Pada umumya kaum Murji’ah dapat dibagi menjadi dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim.[32]
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka,[33] tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.[34]
Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al Hasan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadis.[35] Jadi bagi golongan ini orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi defenisi iman sebagai berikut : iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasulNya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[36]
Definisi yang diberikan Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau dengan kata lain, iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam  yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah. Ini boleh pula membawa kepada kesimpulan bahwa Abu Hanifah juga berpendapat perbuatan kurang penting diperbandingkan dengan iman. Jalan pemikiran serupa ini mungkin sekali ada pada Abu Hanifah yang dikenal sebagai Imam mazhab yang banyak berpegang pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting, rasanya tidak dapat diterima. Sebagai seorang Imam yang membentuk mazhab besar dalam Islam, Abu Hanifah tidak mungkin berpendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting bagi orang Islam. Sebagai kata al Syahrastani : “Bagaimana mengajurkan untuk meninggalkan amal?”.[37]
Bertitik tolak dari kesimpulan definisi Abu Hanifah tersebut di atas, yaitu bahwa perbuatan atau amal tidak penting, ada ulama-ulama[38] yang tidak menyetujui dimasukkan Abu Hanifah ke dalam golongan kaum Murji’ah. Untuk memasukkan Abu Hanifah dalam golongan Murji’ah ekstrim memang tidak mungkin, tetapi untuk memasukkannya ke dalam golongan Murji’ah moderat, rasanya tidak ada salahnya. “Sekali-kali tidak akan merugikan bagi Abu Hanifah, kata Ahmad Amin, kalau ia dimasukkan kedalam golongan Murji’ah”. Yang dimaksud oleh Ahmad Amin ialah Murji’ah moderat.[39] Tetapi Abu Zahrah berpendapat, karena tidak adanya kesatuan pendapat tentang siapa yang dimaksud sebenarnya dengan kaum Murji’ah. Murji’ah moderat atau Murji’ah ekstrim, sebaiknya Abu Hanifah dan imam-imam lainnya janganlah dimasukkan ke dalam golongan Murji’ah.[40]
Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar bukanlah kafir, tetapi tetap mukmin.[41] Kaum Murji’ah yang pertama sekali mengeluarkan pendapat yang sedemikian.
Di antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah al Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Shafwan. Menurut golongan ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan dan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bahagian lain dari tubuh manusia.[42]  Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.[43]
Bagi al Salihiah, pengikut-pengikut Abu al Hasan al Salihi, iman adalah mengetahui Tuhan dan kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka sembahyang tidaklah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadat ialah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.[44] Lebih lanjut al Baghdadi menerangkan bahwa dalam pendapat al Salihiah, sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadat kepada Allah. Yang disebut ibadat hanyalah iman.[45]
Karena dalam pengertian kaum Murji’ah yang disebut iman hanyalah mengetahui Tuhan, golongan al Yunuslah yang mengambil kesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.[46] Golongan al Ubaidiah berpendapat demikian pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.[47] Karena itu pulalah maka Muqatil Ibn Sulaiman mengatakan bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik atau polytheist.[48]
Selanjutnya menurut al Khassaniah, jika seseorang mengatakan, “Saya tahu bahwa Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.[49]
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikaan di atas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang ; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain ; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti  bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian.

2.      Latihan-latihan

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini

a)                Jelaskan latar belakang munculnya Khawarij
b)               Jelaskan ajaran-ajaran pokoknya
c)                Sebutkan sekte-sekte Khawarij
d)               Jelaskan pendapat yang ekstrim dari Khawarij
e)                Jelaskan pendapat yang moderat dari Khawarij
f)                 Sebutkan siapa tokoh-tokohnya
g)                Jelaskan latar belakang munculnya Murji’ah
h)               Jelaskan apa ajaran pokok Murji’ah
i)                  Sebutkan sekte-sekte Murji’ah
j)                  Jelaskan pendapat yang ekstrim dari Murji’ah 
k)                Jelaskan pendapat yang moderat dari Murji’ah
l)                  Sebutkan tokoh-tokoh Murji’ah

3.      Rangkuman

Aliran Khawarij dan Murji’ah muncul imbas dari adanya persoalan praktek khilafah yang merambah kepersoalan teologi terhadap pelaku dosa besar, apakah masih mukmin atau kafir, dalam arti keluar dari Islam. Oleh karena itu wajib di bunuh. Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir, adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah swt. untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Pada dasarnya aliran Khawarij dan Murji’ah sebagai golongan telah hilang dalam sejarah, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam masih menjalankan ajaran-ajarannya.
4.      Tes Formatif

a)      Jelaskan latar belakang muculnya aliran Khawarij
b)     Jelaskan apa ajaran-ajaran pokok Khawarij dan Murji’ah
c)      Jelaskan perbedaan keduanya (Khawarij dan Murji’ah)

5.      Kata Kunci  

a)      Khilafah
b)     Iman – Kufur – Moderat dan Ekstrim
c)      ---




[1] Al Milal Wa Al Nihal., Jilid I,  fasal . 4
[2] Al Farq Baina Al Firaq., h. 7-115.
[3] Maqalat. I/157-196.
[4] Teologi Islam., h. 13.
[5] Ibid., h. 14.
[6] Al Fishal. 4 : 72.
[7] Dasar mereka ialah QS. Al Nisa (4) : 77.
[8] QS Al Maidah (5) : 54.
[9] QS Al Nur (24) : 8, Pelajari tafsir al Alusi mengenai hal ini.
[10] Ilmu Tauhid/ Kalam., h. 152.
[11] Kamil. 3 : 7  ;  Syarah Nahjul Balaghah  1 : 382. 
[12] Ilmu kalam., h. 153.
[13] Al Milal... 1/124 . lihat juga al Farq...,h. 94.
[14] Ibid.
[15] Al Farq. H. 94. 
[16] Ibid.
[17] Al Milal., h. 1/128.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Al Farq., h. 94.
[21] Ibid. 137.
[22] Al Farq., h. 125.
[23] Al Mazahib., h. 125.
[24] Al Milad., h. I/137.
[25] Ibid.
[26] Al Farq., h. 103.
[27] Maqalat, 1/171.
[28] Al Milal., h. 1/134.
[29] Ibid., h. 135.
[30] Al Farq., h. 103.
[31] Ibid., h. 323.
[32] Al Milal.., 1/ 139.
[33] Ibid., h.146.
[34] Al Mazahib. 105.
[35] Al Milal., 1/146.
[36] Al Farq., h. 203.
[37] Al Milal., 1/146.  
[38] Umpamanya al Syahrastani. Lihat Ibid.
[39] Dhuha Islam., Jilid III., h. 322.
[40] Al Mazahib., h. 206.
[41] Pendapat Abu Hanifah dalam Al Fiqh al Akbar. Lihat A.Y. Wensinck, The Muslim Creed, London, 1965., h. 125.
[42] Maqalat., 1/198.
[43] Al Fisal., Jilid V, h. 46.
[44] Maqalat, 1/198.
[45] Al Farq, 207
[46] Al Milal, 1/140.
[47] Ibid.
[48] Al Fisal, Jilid. V, h. 47.
[49] Al Milal., 1/144.
0 Responses

Post a Comment