A. PENDAHULUAN
1. Gambaran Materi Yang Dibahas
Aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah merupakan aliran yang besar pengaruhnya dalam masyarakat sampai sekarang. Di dalamnya terkandung dua aliran yakni Maturudiyah dan Asy’ariyah. Meskipun keduanya bersatu, tetapi masing-masing mempunyai kekhususan, sehingga dalam pembahasan ini selain mengemukakan pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, akan dikemukakan juga masing-masing aliran; Asy’ariyah yang meliputi pemikiran dan ajaran-ajarannya serta tokoh-tokohnya yang berperan di dalamnya. Adapun aliran Maturudiyah terbagi dua yaitu Maturudi Samarkand dan Bukhara , keduanya selain mempunyai persamaan juga perbedaan, karena Samarkand lebih dekat ke Mu’tazilah (rasional), sedangkan Bukhara lebih dekat ke Asy’ariyah (tradisional).
2. Metode Mempelajari Materi
Untuk memahami materi ini dengan baik, maka sebaiknya dibaca pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, kemudian aliran yang tergabung di dalamnya mulai dari pemikirannya sampai pandangan-pandangannya secara seksama, sehingga dapat membedakan keduanya, untuk mengetahui sejauh mana pemahaman terhadap materi ini, maka jawablah latihan-latihan yang ada.
3. Tujuan Pembelajaran
Setelah materi ini berakhir, maka diharapkan mahasiswa dapat :
a. Menjelaskan pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
b. Menjelaskan perbedaan dan persamaan antara Asy’ariyah dan Maturudiyah
c. Menjelaskan alasan Asy’ariyah meninggalkan Mu’tazilah
B. KEGIATAN BELAJAR
1. Materi perkuliahan
Term Ahl al Sunnah, kelihatannya banyak dipakai setelah timbulnya aliran Asy’ariyah dan Maturudiyah. Meski demikian, kata Ahl al Sunnah Wa al Jama’ah telah dijumpai jauh sebelum itu, misalnya di dalam surat al Ma’mun kepada Gubernur Ishak bin Ibrahim, dimana termaktub kata-kata ‘nasaba anfusahum ila Ahl al Sunnah dan kata-kata ahl al-haq wa al din wa al jama’ah.[1]
Kata sunnah dalam term ini berarti ‘cara atau jalan’, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat dan tabi’in dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabih. Tapi boleh juga yang dimaksud adalah ‘hadis Nabi’ sehingga Ahl al Sunnah adalah orang yang mengakui serta mempercayai hadis Nabi tanpa menolaknya, sedangkan kata al Jama’ah berarti golongan kaum muslimin atau golongan mayoritas.[2]
Untuk mengetahui lebih jelas pokok-pokok pikiran atau ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka akan dikemukakan masing-masing aliran yang tergabung di dalamnya yaitu : aliran Asy’ariyah dan aliran Maturudiyah.
I. Aliran Asy’ariyah
a. Sejarahnya
Al-‘Asy’ariyah adalah aliran teologi yang dipelopori oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari (330 H / 935 M). Pada mulanya al-‘Asy’ari adalah penganut paham Mu’tazilah dan pernah berguru pada tokoh Mu’tazilah yaitu Abu al-‘Aliy al Jubba’i. Karena kefasihan dan kepintarannya dalam bersilat lidah, ia dipercayakan oleh gurunya untuk menghadapi lawan-lawan Mu’tazilah dalam perdebatan. Tetapi kemudian al-‘Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah karena ia merasa bahwa dalam pikirannya terdapat hal-hal yang dapat menjauhkan diri dari Mu’tazilah yang telah dinikmati sekian lama. Setelah itu tumbuhlah kecenderungan dalam dirinya untuk berbalik ke paham teologi yang di anut oleh para fuqaha dan muhaddisin, meskipun tidak pernah berguru kepada mereka.[3]
Jadi al-Asy’ariyah adalah aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari, sebagai reaksi atas teologi Mu’tazilah.
Al Asy’ariyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Sunni. Menurut Al Asy’ariyah akal manusia tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, tetapi hanya melalui wahyu. Wahyu lah yang akan mengatakan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan. Iman adalah al Tashdiq bi Allah.[4]
Abu Hasan al Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun.[5] Keluarnya Abu Hasan al Asy’ari dalam barisan Mu’tazilah tidak diketahui dengan pasti penyebabnya, tidak begitu jelas. Ada beberapa komentar dalam hal ini antara lain :
1) Dari al Subhi dan Ibn Asakir, bahwa pada suatu malam al Asy’ari bermimpi, dan di dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw mengatakan padanya bahwa Mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[6]
2) Ada cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al Asy’ari dengan gurunya al Jubba’i. Al Asy’ari bertanya bagaimana kedudukan di akhirat orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil ? Al Jubba’i menjawab bahwa orang mukmin masuk syurga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil terlepas dari bahaya mereka. Lalu al Asy’ari bertanya lagi, kalau suatu waktu anak kecil ingin masuk syurga, mungkinkah itu ? Al Jubba’i menjawab : tidak mungkin, untuk masuk syurga karena kepatuhan kepada Tuhan dan anak kecil itu belum punya kepatuhan. Al Asy’ari bertanya lagi bagaimana kalau anak kecil itu protes, itu bukan salahku kenapa tidak dibiarkan hidup sehingga dapat melaksanakan perbuatan baik seperti orang mukmin yang dewasa ? Al Jubba’i menjawab bahwa jika Tuhan membiarkan anak kecil terus hidup, pasti akan berbuat dosa dan masuk neraka. Oleh karena itu, demi kepentingan anak kecil tadi, maka tidak dibiarkan hidup sampai kepada umur dewasa yang mukallaf. Al Asy’ari bertanya lagi: sekiranya orang kafir juga mengatakan, Engkau Ya Tuhan mengetahui masa depan anak kecil, seperti Engkau mengetahui masa depanku, mengapa Engkau membiarkan aku hidup, tidak menjaga kepentinganku ? Di sinilah al Jubba’i tampak diam.[7]
Dari dua komentar di atas, secara material sangat lemah dan diragukan kebenarannya, karena al Jubba’i dianggap sebagai orang yang percaya takdir (predestination), bahwa Tuhan memastikan anak kecil itu kelak akan melakukan dosa jika diberi umur sampai dewasa. Tentu saja mustahil Al Jubba’i berpendapat demikian, sebab sebagai seorang Mu’tazilah, ia percaya kepada kebebasan manusia berkehendak dan berbuat (free will and free act).
Timbul permasalahan, apa sesungguhnya yang menyebabkan al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah ? Tidak mungkin al Asy’ari yang pernah menganut paham Mu’tazilah puluhan tahun dan pernah menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran Mu’tazilah hanya karena tidak puasnya terhadap jawaban al Jubba’i. Patut dipertimbangkan, jika Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mu’tazilah telah berada pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah, yaitu khalifah al Mutawakkil. Dengan kata lain, mungkin saja al Asy’ari melihat betapa berbahayanya jika umat Islam dibiarkan hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.[8]
Kemungkinan lain ialah bahwa al Asy’ari setelah mempelajari hadis-hadis Nabi, melihat perbedaan mencolok antara ajaran Mu’tazilah dan spirit Islam yang terkandung dalam teks hadis.[9] Akibatnya, al Asy’ari ingin kembali kepada hadis, sehingga paham teologinya pun kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ahl al Sunnah, yang berarti pengikut Sunnah.
b. Corak Pemikirannya
Ajaran al Asy’ari adalah jalan tengah dari dua golongan tersebut. Dalam berargumentasi, Asy’ari menggunakan dalil aqli dan naqli secara bersama-sama. Setelah mempercayai isi al Quran dan Hadis ia mencari argumentasi rasional untuk memperkuatnya. Jadi akal bukanlah hakim atas nash, melainkan sebagai pelayan dan penguat arti lahir nash.[10]
Menurut Ghazali, hubungan antara aql dan naql laksana bangunan, akal adalah fundamen dari bangunan itu sendiri. Fundamen tidak ada gunanya jika tidak ada bangunan di atasnya sebagaimana bangunan itu tidak akan kokoh jika tidak ada fundamen.[11]
Menurut Fazlur Rahman, ketentuan dogma Asy’ariyah pada intinya mencerminkan upaya sintesa posisi ortodoks, yang hingga sekarang tidak terumuskan dan juga sintesa Mu’tazilah. Golongan ortodoks adalah orang-orang yang membiarkan dirinya terperangkap dalam ruang lingkup hadis yang dapat diterima sebagai suatu kerangka material yang otoratif.[12]
Asy’ari juga telah berusaha membuat semacam modus vivendi antara paham qadariyah dan jabbariyah. Jabbariyah adalah paham yang mengakui manusia tidak berkuasa melakukan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, bahkan ia laksana bulu yang bergerak kesana kemari menurut arah angin yang meniupnya. Qadariyah adalah paham yang mengakui bahwa manusialah yang mengerjakan perbuatannya dengan daya yang diberikan Tuhan kepadanya. Datanglah Asy’ari untuk mengatakan, manusia berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.[13]
Dari kalangan kaum Orientalis berpendapat bahwa, darah Arab padang pasir yang mengalir dalam tubuh al Asy’ari yang mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu. Arab padang pasir bersifat tradisional dan fatalis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasional dan percaya kepada kebebasan berbuat dan berkehendak. [14]
c. Ajaran-ajarannya
Ajaran-ajaran dan pemikiran Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-bukunya yaitu Kitab Al Luma’ Fii al Rad ‘ala Ahl al Ziagh wa al Bida’ dan al Ibanah ‘an Ushul al Diyanah. Sebagai penentang Mu’tazilah, tentu saja ajaran pemikirannya berbeda. Adapun pemikiran-pemikiran al Asy’ari sebagai berikut :
1) Sifat-sifat Tuhan
Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi berusaha menghindar dari paham antropomorphisme dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat-sifat manusia. Tuhan mengetahui dengan sifat PengetahuanNya, berkehendak dengan sifat KehendakNya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut bukanlah ZatNya, tetapi bukan pula lain dari ZatNya. Menurut al Asy’ari, ayat-ayat al Qur’an tentang sifat-sifat Tuhan dan bahwa Tuhan punya muka, tangan, mata, dan sebagainya tidak dapat dipahami bagaimana hakikatnya (bila kasyf).[15]
Pernyataan al Asy’ari tentang sifat Tuhan bukan lain dari zatNya adalah diambil dari ajaran Mu’tazilah.[16] Ajaran Asy’ariyah sangat bertolak belakang dengan Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak adanya sifat Tuhan di luar ZatNya, maka Asy’ariyah menetapkan sifat Tuhan di luar ZatNya, meskipun mengakui bahwa sifat Tuhan itu tidak lain dari zat.
2) Kekuasaan Tuhan
Dalam hal kekuasaan Tuhan, Asy’ariyah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan bersifat mutlak dan absolute, tidak terbatas. Mereka menolak konsep keadilan Tuhan seperti yang diajarkan Mu’tazilah, sehingga mereka pun berpendapat bahwa dengan kekuasaan mutlakNya, Tuhan dapat saja memasukkan segenap mukmin kedalam neraka.[17]dengan demikian Asy’ariyah menolak paham Mu’tazilah tentang al wa’ad wa al wa’id
3) Perbuatan Manusia
Bagi al Asy’ari, perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan, manusia hanya memperoleh perbuatannya sendiri.[18] Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tidak sanggup berbuat kufr bersifat baik. Tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.
Mereka menolak ajaran Mu’tazilah mengenai pelaku dosa besar itu bukan mukmin dan bukan pula kafir. Bagi Asy’ariyah, seorang tetap saja mukmin meskipun telah melakukan dosa besar.[19]
4) Keadilan Tuhan
Al Asy’ari menentang paham keadilan Tuhan seperti yang diyakini Mu’tazilah. Menurut Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak dan tidak satu pun yang wajib bagiNya. Tuhan berbuat sekehendakNya, sehingga kalau Ia memasukkan suluruh manusia ke dalam syurga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, maka tidaklah Ia bersifat zalim.[20]
5) Al Qur’an
Asy’ari berpendapat bahwa al Qur’an bukanlah makhluk Tuhan, melainkan kalam (perkataanNya). Seandainya al Qur’an itu adalah makhluk, niscaya didahului oleh penciptaan Kun (jadilah), padahal al Qur’an tidak didahului oleh kata penciptaan, sebab al Qur’an itu sendiri adalah perkataan Tuhan.[21] Seperti firman Allah dalam QS. al Nahl ayat 40 :
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šu‘r& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù
Terjemahnya :
“Jika Kami menghendaki sesuatu, Kami katakan : Jadilah, maka ia pun terjadi”
Untuk penciptaan perlu kata Kun, dan untuk terciptanya kata kun, perlu pula kata kun yang lain. Begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tidak berkesudahan. Hal ini tidak mungkin, oleh karena itu al Qur’an tidak mungkin diciptakan. [22]
6) Melihat Tuhan di Akhirat
Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan . Sifat dapatnya Tuhan dilihat, tidak mesti mengandung arti bahwa Ia mesti bersifat diciptakan. Jadi kalau dikatakan Tuhan dapat di lihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat di ciptakan.[23]
Selain Asy’ari sendiri, masih ada lagi tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah seperti al Baqillani, al Juwaini, dan al Ghazali. Mereka berjasa besar dalam mengembangkan paham Asy’ariyah, meskipun pendapatnya tidak selamanya sama dengan pendapat Asy’ari. Adapun pendapat tokoh-tokoh tersebut akan di bahas pada seminar yang akan datang.
d. Beberapa Tokoh dan Penyebaran Paham Asy’ariyah
1. Asy’ari, pendiri aliran ini, adalah seorang yang ahli debat, saleh, taat beragama dan pemikirannya amat cemerlang. Oleh karena itu umat Islam sangat tertarik kepadanya dan menjadikannya sebagai panutan.[24]
2. Baqillani, adalah seorang taqwa, rajin beribadah, jenius, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama.[25]
3. Juwaini, adalah Imam dua tempat suci yang pada tahun 1063 M dipercaya oleh pemerintah Nidham al Muluk untuk memimpin sekolah Nidhamiyah.[26]
4. Baghdadi, adalah tokoh Asy’ariyah yang disegani yang telah berjasa memberi laporan tentang kekeliruan yang mendahuluinya dan rangkuman tentang bahan-bahan doktrin Asy’ariyah dengan memaparkan persoalan-persoalan utamanya secara jelas, serta memberikan catatan mengenai perbedaan dengan aliran terdahulu.[27]
5. Al Ghazali, Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M di Ghazalah, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Tus (wilayah Khurasan) Persia dan meninggal pada tanggal 14 Jumadal Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M.[28]
Ayahnya adalah seorang yang saleh, meninggal dunia sewaktu Ghazali masih kecil. Sejak kecil al Ghazali telah banyak mendapatkan pelajaran agama dari seorang sufi. Setelah menginjak dewasa, ia belajar fiqih di Tus pada Ahmad al Razahoni, salah seorang ulama besar pada waktu itu.
Pada tahun 470 H / 1078 M, ia pergi ke Naisabur, kota pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam, dan menjadi murid Imam al Har, guru besar di Universitas Nidhamiyah. Di sanalah al Ghazali mendalami ilmu pengetahuan seperti: Fiqih, Ilmu Kalam, Retorika, Filsafat, Ilmu alam dan Tasawuf. Setelah Imam al Haramain (al Juwainy) meninggal, al Ghazali pindah ke Mu’askar. Di sana ia kenal dengan Nizham al Muluk pendiri Universitas Nidhamiyah. Al Ghazali di beri kehormatan untuk berdiskusi dengan orang-orang terkemuka dan akhirnya al Mulk tertarik dengan pikiran-pikiran al Ghazali, lalu memintanya untuk dapat mempertahankan dan memperkokoh aqidah Ahlu Sunnah wa Al Jama’ah. Dan pada tahun 484 H/ 1091 M, al Ghazali diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhamiyah, Baghdad.[29]
Al Ghazali adalah ahli pikir Islam, puluhan buku telah ditulisnya. Di antara karyanya yang paling besar dan terkenal adalah ‘Ihya ‘Ulum al Din’ (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
6. Qusyairi, adalah seorang penulis besar dalam bidang mistik Islam. kehadirannya di tengah para teolog Asy’ariyah mengingatkan bahwa pemisahan antara sufi dan teolog tidak perlu dibesar-besarkan, karena pemisahan demikian tidak pernah mutlak
7. Al Razi adalah seorang tokoh teolog Asy’ariyah yang luas pengetahuannya tentang filsafat Yunani. Dia berhasil mengubah sejumlah besar pengikut Nashrani di Afganistan.[30]
8. Sanusi, adalah teolog Asy’ariyah yang berhasil membuat formulasi dan katagori yang lebih jelas tentang sifat-sifat dan Rasulnya yang di bagi menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Menurutnya, sifat wajib diketahui oleh umat Islam ada 50 sifat. Yaitu 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz bagi Tuhan, dan 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz bagi Rasul.[31]
Tokoh-tokoh Asy’ariyah di atas secara berkesinambungan dan berkelanjutan turut berjasa dalam penyebaran doktrin Asy’ariyah. Hasil karya mereka, sebagiannya masih dapat ditemukan dan tersebar luas dalam masyarakat Islam.
Pada kenyataannya orang-orang Asy’ariyah telah memberi benteng dan perlindungan yang cukup kepada akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, sehingga mendorong publik untuk menerimanya dan meringankan serangan orang-orang khusus terhadapnya, sedangkan keimanan orang-orang awam itu berdasarkan taklid dan ikut-ikutan. Sementara dapat dilihat bahwa perguruan-perguruan besar Islam telah mengambil bagian serius dalam menetapkan aliran Asy’ariyah (dalam hal ini Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, yang terdepan adalah Universitas Al Azhar, Universitas al Zaituniyah, dan Universitas Garaurin). Aliran ini dipelajari dan dikomentari kemudian dijelaskan di perguruan-perguruan ini dengan dosen-dosen yang terdiri atas tokoh-tokoh besar Asy’ariyah dengan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia Islam yang kemudian kembali ke daerah masing-masing sebagai da’i dan guru.[32]
II. Aliran Maturudiyah
Dalam perkembangannya terbagi dua yaitu :
a. Maturudiyah Samarkand (al Maturidi) Dipimpin oleh Imam Maturidi
1. Riwayat hidup al Maturidi
Nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al Maturidi adalah teolog terkemuka yang menggolongkan dirinya ke dalam barisan kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan Maturidiah.[33]
Beliau lahir di Maturid dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah pada tahun 852 M / 238 H) yang tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti dan hanya merupakan suatu perkiraan, yaitu berdasarkan bahwa, ketika gurunya (Muhammad bin Muqatil al Razi) wafat pada tahun 862 M atau 248 H, beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti ia mempunyai usia yang sangat panjang karena di ketahui beliau wafat di Samarkand pada 944 M / 333 H.[34]Adapun nama al Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturid.
Al Maturid memperdalam ilmu dari beberapa orang guru di daerahnya. Guru-guru al Maturidi adalah murid Abu Hanifah. Dari guru-gurunya itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin. Oleh karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah.[35]
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
2. Pemikiran-pemikiran al Maturidi
Seperti yang telah diuraikan bahwa pemikiran al Maturidi pada dasarnya sedikit berbeda dengan pemikiran al Bazdawi yang kemudian berkembang menjadi dua cabang aliran Maturidiah yaitu Maturidiah Samarkand oleh Abu Mansur al Maturidi sendiri dan Maturidiah Bukhara oleh al Bazdawi.
Di antara pemikiran-pemikiran teologis al Maturidi yang akan dibahas di sini adalah sebagai berikut :
1) Akal dan Wahyu
Berbicara mengenai akal dan wahyu dalam paham teologi, maka ada empat masalah pokok yang diperdebatkan. Apakah keempat masalah tersebut dapat diketahui akal atau tidak, apakah hanya dapat diketahui oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah pokok tersebut adalah : Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan, Mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk sebelum datangnya wahyu.
Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah.[36]
Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan.[37]sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Yang diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[38]
Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akat tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu.
2) Sifat Tuhan
Bagi al Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat,[39] tetapi sifat-sifat itu bukan zat. Dengan kata lain sifat-sifat itu bukanlah suatu yang berdiri pada zat. Sifat itu qadim dengan qadimnya zat. Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan tetapi kekalnya sifat itu melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan.
Oleh karena sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud al qudama’ sebagaimana paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena beranggapan akan terjadi ta’addud al qudama’
3) Perbuatan Manusia
Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis perbuatan yakni : perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan dimanifestasikan dalam bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itulah merupakan perbuatan manusia.[40]
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya memiliki kasab yang terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan Maturidi memandang kasab itu ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
b. Maturudiyah Bukhara (al Bazdawi) Dipimpin oleh Imam al Bazdawi
1. Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H.[41] Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.[42]
Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah kitab al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an.[43]
Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.[44]
2. Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
Dalam pembahasan selanjutnya akan dikemukakan beberapa pemikiran al Bazdawi di antaranya sebagai berikut:
1) Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.[45]
Begitu pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[46]
Di sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Sebagaimana dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh petunjuk bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak dapat memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-perbuatan jahat.[47]
2) Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu sendiri.[48]
3) Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri.[49] Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.
2. Latihan-latihan
Jawablah pertanyaan di bawah ini
1) Siapa yang dimaksud Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
2) Kemukakanlah pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
3) Mengapa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah
4) Bagaimana pandangan Asy’ariyah tentang akal dan wahyu
5) Kemukakan pendapat-pendapat aliran Asy’ariyah
6) Sebutkan tokoh-tokohnya
7) Kemukakan pendapat Maturidi Samarkand dan Bukhara tentang akal dan wahyu
8) Bagaimana pandangan keduanya tentang perbuatan manusia
3. Rangkuman
Walaupun antara Asy’ariyah dan Maturudiyah terdapat perbedaan dalam beberapa hal, seperti peran akal di samping wahyu, Maturidiyah lebih rasional. Akan tetapi kerasionalan Maturidiyah tidak sama dengan Mu’tazilah yang memberikan sepenuhnya kebebasan kepada akal. Dalam pandangan Maturidiyah akal punya keterbatasan. Begitu pula tentang perbuatan manusia, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah keduanya mengakui adanya keterlibatan Tuhan dan hanya berbeda dalam besarnya pengaruh manusia dalam perbuatannya.
4. Tes Formatif
1) Jelaskan pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
2) Jelaskan perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
3) Jelaskan alasan Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
5. Kunci jawaban
1) Paham dan kelompok – pengikut
2) Wahyu – perbuatan manusia – sifat-sifat Tuhan
3) Dapat petunjuk
[5] Zuhr Islam., h. 65.
[6] Teologi Islam., h.65.
[7] Islam., h. 105.
[8] Teologi Islam., h. 68.
[9] Shorter Encyclopedia of Islam., h. 46.
[10] Ibid., h. 22.
[11] Ibid., h. 123.
[12] Islam., h. 142-144.
[13] Khazanah Intelektual Islam., h. 29.
[14] Development of Muslim Theology Jurisprudence and Constitutional Theory., h. 189.
[22] Lihat al Asy’ari, ibid ., h. 33-34.
[25] Pengantar Teologi.., h. 110.
[26] Ibid., h. 135
[27] Ibid.
[28] Ensiklopedi Islam., h. 305.
[33] Ensiklopedi Islam Indonesia., h. 630
[34] Teologi Islam., h. 630.
[44] Ibid.,h. 13.
[45] Ibid., h. 209.
[46] Ibid., h. 92.
[47] Teologi Islam., h. 91.
[48] Ibid., h. 104.
[49] Ibid., h. 107.
Post a Comment