Transendent

FILSAFAT MODERN

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang masalah

Filsafat modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang bercorak tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”, sebagaimana arti kata tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern yang mermakna sebagai “sesuatu yang baru”. Makna modern (sesuatu yang baru), mencakup segenap sendi-sendi kehidupan social dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.

Lahirnya filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat diartikan sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar, kadang-kadang menguatkan) tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga mengandung nilai-nilai kesinambungan yang kontinyu, berdasarkan keadaanya. Keadaan yang berkembang pada babakan Eropa pertengahan, adalah kuatnya otoritas agama (gereja), sebagai pengontrol kehidupan masyarakat. Kebebasan berfikir selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja, hingga kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang bermuara pada lahirnya revolusi berfikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Suasana ini menjadi latar sejarah lahirnya filsafat modern yang kelak menjadi penentu bangkitnya Eropa modern dengan segala aspeknya (renaisance).

Dengan demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan berdasarkan waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar metodologi dan kerakteristiknya. Untuk memfokuskankan pembahsan makalah ini, maka penulis merumuskan sub-sub masalah sebagai berikut:

· Bagaimana latar sejarah filsafat modern dan lahirnya renaisance?

· Bagaimana karakteristik filsafat modern?

· Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern?

B. PEMBAHASAN

1. Latar Sejarah Filsafat Modern dan Lahirnya Reneisance

Sejarah filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode klasik, sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan pusat-pusat pemikiran Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode pertengahan dan periode ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan periode post-modernisme.[1]

Socrates masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato yang menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi puncak keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas sejati yang disebutnya sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran berdasarkan ide atau sisi rasionalitas manusia. Baginya realitis fisik adalah refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya, Aristoteles memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda konkrit yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi.[2]

Setelah masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.[3] Kerakteristik filsafat Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang yang terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona Venture (1221-1257M). Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu.[4] Mereka berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran filsafat. Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu “kelaki-lakian” teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu adalah St. Agustinus (1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal dalam mencari kebenaran apapun. Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya, pada masa itu, persoalan epistemologi mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir tunggal para agamawan yang sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman tersebut .

Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural.[5] Dari sinilah tumbuh rasionalisme, empirisme, idelisme, dan positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan nonmetafisika (bukan agama) dan lahirlah babakan baru yakni babak modern yang ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14 M hingga abad 16.[6]

Reneisance dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan arti kata, nascentia, nascor, yang bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan.[7] Istilah ini meliputi suatau zaman di mana setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam berfikir, bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan humanisme, eksistensialisme dan naturalisme dengan menerjemahkan kembali sumber-sumber Yunani dan Romawi yang mengantar terbukanya pemikiran manusia terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang agama istilah renaissance ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang mengarah pada reformasi protestan.

2. Karakteristik Filsafat Moderen

Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-tokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac Newton dll.[8]

Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah.[9] Efek metode ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif (profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal.[10] Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan menghukum mereka bahkan membunuhnya.

Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta.[11] Begitu juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah. Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya.[12] Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.[13] Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.

Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar.[14] Agama tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.

Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.[15]

Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.[16]

Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dibanding periode pertengahan.

1. Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.

  1. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
  2. Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
  3. Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
  4. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.[17]

Berman mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad ke-18.

1. Pertama, pengalaman kehidupan modern.

2. Kedua, revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.

3. Ketiga, kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.[18]

Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.

Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen mengelola alam.[19]

Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme.[20] Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.[21]

3. Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern

a. Rasionalisme

Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu?[22] Salah satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode rasional.

Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern.[23] Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti.[24] Dalam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis Universal.[25] Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan.[26] Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.

Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;

Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.[27]

Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri.

Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif.[28] Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.

Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain.[29] Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik.[30] Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatnya.[31]

Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan penciptanya.[32] Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.

Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.[33] Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.

Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716).[34] Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.

b. Empirisme

Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan.[35] Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”.[36] John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia.[37] John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.

Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi.[38] Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.

Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain.[39] ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya.[40] Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan.[41] Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.[42]

Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

c. Kritisme

Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804).[43] Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya.[44] Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.[45]

Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.[46] Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.[47]

Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik.[48] Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan keputusan sintesis.[49] Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori.[50] Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.

Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.[51]

Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami.[52] Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat pasti.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan perasaan.

Ciri pokok filsafat modern adalah:

1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.

  1. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
  2. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.
  3. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
  4. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
  5. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.[53]

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

· Suasana kefilsafatan abad pertengahan yang bercorak teosentris, dan latar belakang masyarakat Eropa yang terkekang oleh otoritas geraja, menimbulkan pemberontakan terhadap nilai-nilai (tradisi) gerejawi, menjadi penyebab lahirnya renaissance dan filsafat modern.

· Karakteristik filsafat modern adalah antroposentrisme, Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran (eksistensialisme), tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi atau eksprimen terhadap realitas fisik yang melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah.

· Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern adalah, rasionalisme, empirisme, kritisme dan derivasinya.

S e k i a n & Terima Kasih



[1]Umumnya para cendikia filsafat memperiodesasi sejarah filsafat dalam tiga tahapan dengan rincian-rincian yang berbeda. Sutarjo A. Wiramiharja, merinci perkembangan filsafat dalam lima periode yaitu; (1)zaman Yunani kuno, (2) zaman Patristik dan pertengahan yang terbagi 4 periode; pertama periode hatristik, kedua periode awal skolastik, ketiga periode keemasan skolastik, keempat, periode akhir abad pertengahan, (3) Zaman modern, (4) zaman baru (5) zaman pasca modernisme. Lebih jauh lihat, Sutarjo A. Wiramiharja, Pengantar Filsafat & Sejarah Epistemologi, (Cet. II; Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 46-70

[2]Sodjono Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika; Studi Orentasi Ilmu Pengetahuan, (cet II; Bandung: Remaja Karya. 1986), h. 35

[3] Kegiatan kefilsafatan hanya berkisar pada pengumpulan, pengupasan pendapat-pendapat yang telah ada, hingga Aleksander Agung dari Mecadonia berhasil menaklukkan Yunani dan beberapa daerah disekitarnya. Namun sekitar tahun 50-an Masehi, Romawi menjadi lebih kuat dalam bidang militer dan politik. Sejak itu kekuasaan Romawi mendominasi mulai dari Spayol hingga menembus Asia. Tatkala kekaisaran Romawi mulai memeluk Kristen, doktrin Gereja disebarkan sebagai ajaran resmi negara yang menjadi era dimulainya intimidasi pemikiran bebas dan kreatif. Keadaan ini memuncak dengan ditutupnya lembaga pendidikan oleh kaisar Justin (259 M) sehingga seluruh cendikiawan dan pemikir menyelamatkan diri masing-masing. Lebih jauh lihat, Henry J. Schmandt, A History, Of Political The Fhilosophy, alih bahasa, Ahmad Baidowi dan Imam Bahekaki, Filsafat Politik, Kajian Historis Dari Yunani Kuno Sampai Zaman Moderen, (cet II; Jogyakarta, 2005, h. 48

[4] Donny Gahral Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas Khun, (cet. II; Jakarta: teraju, 2002), h. 9

[5] Agus Aditoni, Sebagaimana dikutip oleh Agus Aditoni dalam makalah dengan judul, Epistemologi, diakses dari internet pada tanggal 01-12-2007

[6] Istilah ini bergema kembali pada abad 18 setelah para pemikir social parancis dan italia mempergunakan isstilah ini dalam karya-kkarya mereka.

[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. II; Jakarta: Gramedia, 2002), h. 954

[8] Joko Siswanto, Kosmologi Einstein, (Cet. I; Tiara Wacana, 1996), h. 11. lihat juga Husain Herianto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains Dan Kehidupan Menurut Sadra dan White Head, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 37. lihat juga, Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi; Muhammad Iqbal, (cet I; Bandung: Rafika Aditama, 2007) h. 20

[9] Peran penting para cendikiawan muslim dalam perkembangan filsafat dunia, terutama epistemologi corak rasional dan empirikal yang telah mengantar Eropa memasuki peradaban modernnya dengan segala derivasinya. Bahwa ternyata tokoh-tokoh pemikir Islam sangat berjasa menjelaskan karya-karya filsafat Yunani pada Eropa, meskipun tetap saja realitas sejarah ini kelihatan disamarkan. Bahkan metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris diyakini tidak akan sampai ke benak orang Eropa jika tidak lewat kreativitas orang muslim. Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir Yunani dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak ? Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.

[10] Husain Herianto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat Sains Dan Kehidupan Menurut Sadra Dan White Head, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 37

[11] Ibid, h. 36

[12] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar; sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12

[13] Ibid, h. 11

[14] Ibid

[15] Pranarka, Epistemologi Dasar, (cet II; Jakarta: CSIS, 1987), h. 21

[16] Ibid, h. 12

[17] Rodhlia Khuzoi, op. cit, h. 23

[18] Ibid, h. 21

[19] Ibid, h. 24

[20] Kenneth T. Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi, Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002), h. 21

[21] Kontras-paradigmatik dapat diartikan sebagai perbedaan yang tajam dalam sistem pemikiran. Lihat A. Hius Hurwanto dan Dahlan Albary, Kamus Ilmiah Populer (cet I; Surabaya: Arkola), h. 369 dan 566, bandingkan dengan depertemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.458-459 dan 648. istilah ini juga dihakai oleh John, F. Haught untuk menunjukkan salah satu model perjalanan interaksi agama dengan ilmu pengetahuan. Johan F. Haugh, Pejumpaan Sains Dan Agama; Dari Konplik Ke Dialog. (cet. I; Bandung: Mizan, 2004), h. xx-17

[22] Hardono Hadi, op. cit,., h. 28

[23] Insklopedia Filsafat, op. cit,. h.

[24] Aleks howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara, et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern, (cet I; Bandung: Terauh, 2000). 175

[25] Lihat, Hardono Hadi, op. cit.h. 28-29

[26] Ibid h. 30. lihat juga, Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum, (cet I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003), h. 313-318

[27] Ibid, h39

[28] Ibid h. 320

[29] Aleks Howard,op. cit. h.172

[30] op. cit,, h. 321

[31] Husaen Herianto, h. 34-35. lihat juga, Peres Hodbhoy, Islam And Science; Religious Artodoxy Islam, alih bahasa, Sari Mutia, Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme, Antara Sains Dan Ortodoksi Islam, (cet. I; Bandung: Mizan, 1996), h. 43-44

[32] Husaen herianto, Loc cit

[33] Lihat, Hadi, op. cit, h. 40

[34] Ibid

[35] Filsafat Barat Sezaman, op. cit,, h. 45

[36] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, (cet. I; Yogyakarta: UGM Press, 2007), h. 107-108

[37] Jujun, Suriasumantri, Ilmu Dalam Pesfektif, (cet v: Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 84

[38] Bambang Q. Anees, loc cit , h. 334

[39] Alex Howard, op. cit,, h. 209

[40] Ibid, lihat jua, Hadi, loc cit .

[41] Miswar Abdullah, Paradigma Natural Dalam Konstruksi Sains, Skripsi, 2007, h. 60

[42] Aleks howard, op. cit,,, h. 210

[43] Hadi, op. cit,, h. 135

[44] Muh Taqi Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (cet. I; Bandung: Mizan, 2002) h. 16

[45] Rodliayah Khuzai, op. cit,,, h. 25. lihat juga, Husaen herianto, op. cit,, 59-60. ismail aayarafah, ensklopedia filsafat, (cet I; Jakarta: Khilafah, 2005), h158-159. Henri J. op. cit,,, h.4, 9

[46] Alex Howard, op. cit. h. 275

[47] Paul Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta:: Erlangga, 2001). 11

[48] Dony Gahral, op, h. 56-57

[49] Ibid

[50] Dony Gahrial op. cit,, h. 56-57

[51] Dari kempat kategori tersebut, oleh Kant, didalamya terkandung tiga sub-sub kategori, yaitu kwantitas; universal, partikular, singular. Kulaitas; afirmatif, negatif, negatif, infinitif. Relasi; hipotekal, disjungtif, kategorial. Modalitas; problematikal, asertorikal, apodiktikal, op. cit, h. 61

[52] Henri, J. Schmantd, op. cit,,., h 481

[53] Donny, Ibid, h. 72

0 Responses

Post a Comment