Transendent

A. PENDAHULUAN

1. Gambaran Materi yang dibahas.

    Dalam pembahasan materi ini dibagi menjadi 3 bahagian:
Bagian pertama, akan dikemukakan beberapa pengertian dan nama-nama lain yang digunakan untuk Ilmu Kalam seperti: Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan lain-lain termasuk argumen penamaan tersebut.
Bagian kedua, akan dijelaskan perbedaan Ilmu Kalam dengan ilmu-ilmu lain seperti Tasawuf, Filsafat dan Fiqhi. Walaupun kajiannya terdapat perbedaan, akan tetapi dari sisi lain terdapat persamaan.
Bagian ketiga, akan dijelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya Ilmu Kalam. Secara umum ada dua yaitu: faktor intern umat Islam, seperti persoalan politik yang akhirnya mengarah ke persoalan teologi. Faktor kedua adalah pengaruh dari luar Islam, khususnya penganut agama lain yang masuk Islam.

2. Pedoman mempelajari Materi.

            Setiap bagian dalam pembahasan materi tersebut dipelajari dengan baik, kemudian beralih ke materi yang lain. Tulis poin-poin inti pembahasan dari setiap bagian, kemudian hubungkan antara yang satu dengan yang lainnya.

3. Tujuan Pembelajaran

     Setelah materi tersebut selesai di bahas, maka mahasiswa diharapkan:
a.       Mampu menjelaskan nama-nama Ilmu Kalam.
b.      Dapat menjelaskan alasan dinamakan Ilmu Kalam.
c.       Dapat menjelaskan perbedaan antara Ilmu Kalam dengan ilmu-ilmu lain.
d.      Mampu menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya Ilmu Kalam.

B. KEGIATAN BELAJAR

1. Materi Perkuliahan

a)      Pengertian Ilmu Kalam

            Dari segi bahasa Ilmu Kalam terdiri dari dua kata:
Ilmu berarti mengetahui, berkata-kata, dan Kalam berarti bercakap-cakap.[1] Jadi Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang perkataan Allah (Kalamullah).[2]
Ash Shanhaji menjelaskan asal usul Ilmu Kalam yaitu: Kalam ialah kata-kata yang di susun dengan sengaja dan mengandung pengertian.
Menurut Ilmu Khaldun bahwa: Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan Ahli Sunnah.[3]
Kata al Kalam tersebut dipakai untuk menyebutkan salah satu sifat Tuhan, seperti yang ditemukan dalam al Qur’an, kata Kalamullah pada QS. Al Baqarah (2)  : 75 dan QS. An Nisa (4) :164.

v Adapun sebab ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam adalah :
Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriyah ialah apakah Kalam Allah (al Qur’an) itu Qadim atau hadits. Karena itu keseluruhan Ilmu Kalam ini dinamai salah satu bagiannya terpenting.
Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran, dan pengaruh dalil fikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin. Mereka jarang menggunakan dalil naqli (al Qur’an dan Hadis), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok permasalahan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil fikiran.[4]

v Nama-nama lain dari Ilmu Kalam:
Ilmu Tauhid, karena salah satu pembahasan yang terpenting dalam ilmu ini adalah Keesaan Tuhan.
Ilmu Ushuluddin, sebab ilmu ini membahas tentang prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang Qoth’i (al Qur’an dan Hadis mutawatir) dan dalil-dalil pikiran.
Ilmu Aqidah /Aqa’id, karena ilmu ini membicarakan tentang kepercayaan.[5]
   
b)      Perbedaan Metode Ilmu Kalam dengan Ilmu-ilmu keislaman lainnya.

            Yang akan dibicarakan di sini ialah perbedaan metode ilmu Kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu Filsafat Islam, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.

Ø  Ilmu Filsafat
            Filsafat Yunani telah menarik sekali perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada terjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab sejak khalifah Al Mansur (754-775 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al Makmun (813-833 M) dari khalifah Bani Abbasiyyah. Ilmu Retorika, ilmu tentang cara berdebat atau adabul bahtsi wal munadharah sebagai bagian dari filsafat Yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum muslimin, sebagai suatu yang membicarakan tentang tata cara berdebat.
            Filsafat Yunani ternyata bukan hanya kalangan mutakallimin saja yang mengambil manfaat sebagai alat untuk memperkuat dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi lawan-lawannya, tetapi juga dari kalangan ahli-ahli filsafat Islam seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lain-lainnya.
            Mutakallimin mengambil filsafat Yunani dan mempertemukannya dengan ajaran-ajaran Islam yang lahirnya seperti bertentangan. Dibuangnya yang nyata-nyata bertentangan tidak bisa di tauqifkan dan diambilnya hal-hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Mutakallimin sebenarnya lebih dahulu lahir daripada ahli-ahli filsafat Islam, sebagaimana diterangkan Ahmad Amin:

Sebenarnya para mutakallimin, yaitu golongan-golongan Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, Khawarij dan lain-lainnya, lebih dahulu lahirnya dari filosof-filosof  Islam yang pertama dikenal ialah Al Kindi (wafat kira-kira 260 H). Berpuluh-puluh tahun sebelum itu, terdapat mutakallimin-mutakallimin seperti Wasil Bin Atho’, Amr Bin ‘Ubaid, Abdul Hudzail Al ‘Allaf, An Naddham. Mereka ini membahas persoalan-persoalan ilmu Kalam dan telah meletakkan dasar-dasarnya dan meletakkan prinsip-prinsipnya. Sebelum itu terdapat Hassan Al Bashri (642-728 M) pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Ghilan Ad Damasqi, Jahm Bin Sofwan mengemukakan masalah ilmu Kalam”.[6]

            Filsafat Yunani sampai di kalangan umat Islam melalui orang-orang Kristen Nestorius dan Yacobus sebelum Al Kindi. Al Kindi (wafat 873 M) adalah orang yang berhak diberi gelar sebagai filosuf Islam pertama, karena dialah yang pertama-tama mempelajari filsafat Islam, terutama filsafat metafisika, telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi kaum muslimin pada waktu itu. Apalagi terdapat perbedaan metode berfikir antara golongan filsafat dan golongan ilmu kalam dalam masalah metafisika.

Sebenarnya mutakallimin itu lebih dahulu percaya pada pokok permasalahan iman dan menetapkan kebenarannya dan mempercayainya. Kemudian mempergunakan dalil-dalil fikiran untuk membuktikannya, sebagaimana Al Qur’an membuktikannya dengan wujdan. Adapun ahli-ahli filsafat membahas persoalan-persoalannya itu secara bebas, dan fikiran mereka bebas dari pengaruh-pengaruh dan kepercayaan-kepercayaan. Kemudian mereka mulai penyelidikannya sambil menyusun dalil-dalil sampai kepada pembuktiannya, berjalan setapak demi setapak, sehingga sampai pada kesimpulan bagaimana adanya hasil ini mereka pegangi (mempercayai)nya. Inilah tujuan filsafat dan landasannya. Memang lepas sama sekali dari kecenderungan, adat istiadat dan lingkungan hidup adalah tidak mungkin berhasil secara sempurna. Hal ini telah terjadi dimana filosuf-filosuf Yunani telah terpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan terhadap berhala-berhala, filosuf-filosuf  Kristen dan Yahudi terpengaruh ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi, dan filosuf-filosuf Islam terpengaruh dengan ajaran Islam. Sistem Mutakallimin ialah mencari pembuktian sesudah beriman pada prinsip-prinsip kepercayaan Islam. Maka kedudukan Mutakallimin seperti kedudukan seorang pembela yang ikhlas, yakin akan kebenaran suatu perkara dan berusaha membelanya. Sedangkan kedudukan ahli-ahli filsafat itu seperti kedudukannya seorang hakim yang adil yang diperhadapkan perkara kepadanya, dia tidak akan memvonisnya kecuali setelah mendengar alasan-alasan yang bersangkutan, menimbangnya dengan timbangan yang teliti tanpa memihak (berat sebelah, pen). Kemudian menyusun pendapatnya, setelah itu baru menjatuhkan keputusannya”. [7]

Ibnu Khaldun menerangkan demikian :

Sesungguhnya pemikiran seorang filosuf tentang ke-Tuhanan adalah pemikiran tentang adanya wujud mutlak dan hal-hal yang bertalian dengan wujud itu sendiri. Dan pemikiran seorang ahli ilmu Kalam tentang wujud ini dari segi karena wujud ini bisa menunjukkan kepada Dzat yang mewujudkannya. Kesimpulannya bahwa objek ilmu Kalam bagi Mutakallimin ialah kepercayaan-kepercayaan keimanan sesudah di anggapnya benar dari syari’at dan mungkin dibuktikan dengan dalil-dalil fikiran”.[8]

            Namun demikian, banyak masalah-masalah metafisika yang tidak bisa diterangkan benar dan salahnya oleh akal fikiran, seperti :

“Tentang kebangkitan jasmani di akhirat nanti dan hal-hal yang berhubungan dengan itu (seperti nikmat kubur dan siksanya, pertanyaan-pertanyaannya, pen) tidak mungkin dicapai dengan pembuktian. Hal ini telah dibentangkan oleh syari’at Nabi Muhammad yang benar. Maka perhatikanlah dan kembalilah kepadanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan itu”.

            Karena adanya perbedaan sistem itulah, maka tidak ayal lagi kalau sering terjadi perbedaan pendapat antara filosuf dan Mutakallimin, dalam persoalan-persoalan yang sama,

“Sebenarnya Mutakallimin mencurahkan perhatiannya untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan agamanya dan mematahkan alasan-alasan lawannya, baik lawan-lawan itu dari kalangan kaum muslimin sendiri, maupun bukan. Maka mereka banyak mengutip pendapat-pendapat dan menolaknya. Ahli-ahli filsafat Islam, terutama pada fase-fase pertama, kebanyakan mereka menetapkan hakikatnya sesuatu atau paling tidak apa yang mereka mempercayainya sebagai kebenaran hakikatnya sesuatu dan membuktikannya tanpa banyak mengutip pendapat-pendapat yang berlainan serta menolaknya. Oleh karena inilah, maka para ahli-ahli filsafat itu menuduh Mutakallimin merupakan golongan skeptisme dan ahli jadal”.

            Antara ilmu Kalam dan filsafat Islam ada perbedaan cara pembinaanya. Ilmu Kalam timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya merupakan hal-hal yang terpisah-pisah. Tetapi filsafat Islam ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari Yunani dan sebagainya dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahli-ahli filsafat itu tinggal mempertemukan dengan ajaran-ajaran agama. Filsafat Islam memasuki seluruh ilmu-ilmu keIslaman dimana ilmu Kalam adalah merupakan puncak dari padanya.

Ø  Ilmu Fiqih
Obyek pembahasan ilmu Kalam dengan ilmu Fiqih memang berbeda. Kalau ilmu Kalam itu membicarakan tentang aqidah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang muslim, maka ilmu Fiqih ini membahas tentang hal-hal yang bertautan dengan hukum-hukum perbuatan lahir, meliputi ibadah, mu’amalah, perkawinan, pidana, waris dan lain-lain.

Fiqih ialah ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang sistemnya dengan ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat dalam wudlu itu wajib dan sebagainya dari masalah-masalah ijtihadiyah, karena sabda nabi Muhammad saw. : Bahwa sesungguhnya amal itu harus dengan niat. Sedangkan wudhu itu termasuk daripada amal”.[9] 

Ilmu Kalam membahas tentang prinsip-prinsip keyakinan Islam, sedangkan fiqih membahas tentang masalah furu’iyah yang bertalian dengan amal lahiriyah.
Membahas masalah ke-Esaan Allah adalah merupakan salah satu dasar kepercayaan agama. Sedangkan Fiqih itu mengatur tentang praktis amaliyah pengabdian seorang muslim kepada Khaliknya.


Ø  Ilmu Tasawuf
Ilmu Kalam itu berlandaskan nash-nash agama, dipertemukan dengan dalil-dalil fikiran dalam membahas aqidah dan ibadah ke dalam hati nurani, berusaha membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan jalan memperbanyak amal ibadah.
Imam al Ghazali (1059-1111 M) mengatakan :[10]

Kemudian sesudah aku menyelesaikan pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu ini, aku menghadapkan keinginanku menurut jalannya orang-orang tasawuf. Aku mengetahui bahwa jalan mereka itu bisa sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Dan hasil amal itu memotong segala gangguan atau penghalang hawa nafsu, membersihkan dari akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang kotor, sehingga berhasil mengosongkan hati selain Allah, menghiasinya dengan menyebut Asma (dzikir) Allah

c)       Latar belakang Lahirnya Ilmu Kalam ada 2:

I.       Faktor Intern
a.       Ayat-ayat al Quran itu sendiri memang mengajak manusia bertauhid dan mempercayai kenabian  dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, akan tetapi al Qur’an juga menyebutkan bermacam-macam faham yang seharusnya dijauhi oleh orang Islam, antara lain: Faham kaum yang mengingkari Allah dan agamanya, kaum musyrikin yang mempertuhankan berhala, binatang, bulan, matahari dan kaum munafik yang tak percaya kepada kerasulan Nabi-Nabi. Lihat QS. Al An’am ayat 76-78, QS. Al Maidah ayat 116, QS. Al Anbiya ayat 104.
b.      Kaum muslimin sudah terpengaruh dengan sistem filsafat yang menggunakan segala macam alasan untuk mempertahankan pendapat, terutama alasan berdasarkan akal.[11]
c.       Faktor politik.[12] 
Ketika Rasulullah saw. wafat, ia tidak meninggalkan wasiat siapa penggantinya, sehingga menimbulkan perdebatan antar golongan Anshar dan Muhajirin, akan tetapi perdebatan tersebut berakhir dengan kesepakatan membai’at Abu Bakar As Shiddiq sebagai khalifah I. Sesudah Abu Bakar meninggal digantikan dengan Umar Bin Khattab, kemudian Usman Bin Affan. Dimasa Usman inilah muncul masalah walaupun beliau dikenal jujur dan baik tetapi sistemnya yang menggantikan beberapa pejabat dengan keluarganya seperti Amr Bin Ash digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Gubernur Mesir.
Tindakan Usman tersebut menimbulkan kritikan dari sahabat-sahbat dan dijadikan kesempatan bagi orang-orang munafik. Salah seorang Yahudi yang masuk Islam menuntut Usman agar pejabat yang telah diangkat dipecat dan menghasut kaum muslimin untuk benci kepada Usman dan anti Bani Umayyah. Secara resmi ia mengirim surat ajakan dan kampanye dimana-mana. Maka berdatanganlah rombongan dari Basrah, Kufah dan dari Mesir sebanyak 500 orang yang menuntut sikap Usman, sehingga di Madinah terjadi kekacauan yang puncaknya terjadi pembunuhan Khalifah Usman akhir tahun 35 H.
Setelah Usman wafat, maka naiklah Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-empat. Tetapi ia segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah seperti, Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam pertempuran yang terjadi di Iraq pada tahun 656 M dengan nama perang Jamal. Thalhah dan Zubeir  terbunuh, dan Aisyah dikembalikan ke Mekkah. Tantangan yang lain dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman. Mereka menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman bahkan menuduh Ali ikut terlibat dimana salah seorang pemberontak dari Mesir adalah anak angkat Ali (Muhammad ibnu Abi Bakar), dan Ali juga tidak memberi tindakan keras kepadanya, bahkan mengangkat Muhammad Ibnu Abi Bakar menjadi Gubernur Mesir.
Tantangan Mu’awiyah tersebut menyebabkan terjadinya perang Shiffin pada 658 M. Dalam pertempuran tersebut sudah dipastikan pihak Ali yang menang, akan tetapi Amru bin Ash pembantu utama Mu’awiyah berhasil menipu Ali. Ia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengacungkan al Quran diujung tombak, sebagai tanda perdamaian, karena Ali suka damai dan desakan dari sebagian pasukannya yang tak tahan melihat korban berjatuhan, maka Ali menerima perdamaian (arbitrase).
            Di Daumatul Jandal, perundingan dilaksanakan. Wakil Ali ialah Abu Musa Al ‘Asyari, dan Mu’awiyah diwakili oleh Amru Bin Ash. Dalam perundingan tersebut Amru bin Ash berhasil menipu Abu Musa Al ‘Asyari dengan mempersilahkan ia berbicara terlebih dahulu. Abu Musa naik ke mimbar dengan mengatakan kesepakatan lebih awal yaitu: “ Mulai saat ini aku turunkan Ali dari jabatannya sebagai khalifah, setelah itu, giliran Amru naik ke mimbar dan mengatakan saya setuju Ali diturunkan dari jabatannya, dan sekarang aku mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Pernyataan Amru tersebut ditolak oleh pihak Ali dan tak mau meletakkan jabatan sampai ia terbunuh oleh Ibnu Muljam tahun 661 M.
            Sikap Ali yang menerima arbitrase (tahkim) tak disetujui oleh sebahagian pengikutnya dengan alasan arbitrase adalah keputusan manusia. Keputusan hanya datang dari Allah dengan dasar QS. Al Maidah ayat 44.
Mereka memandang Ali telah bersalah, sehingga mereka keluar dari barisan Ali, dalam sejarah di sebut dengan golongan Khawarij.
            Ali tak hanya dianggap salah, tapi juga berdosa bahkan semua yang menyetujui arbitrase dianggap berdosa dan harus diperangi, karena dianggap kafir berdasar atas apa yang mereka perpegangi.
Jadi persoalan politik yang terjadi di kalangan kaum muslimin seperti yang tersebut di atas, akhirnya membawa kepada permasalahan teologi, karena selanjutnya yang muncul adalah siapa yang kafir dan siapa yang mu’min

II.    Faktor Ekstern
Banyaknya tokoh-tokoh agama lain yang memeluk Islam. Mereka sudah mempunyai pengetahuan dan peradaban yang sudah tinggi. Setelah dalam Islam, kebiasan mereka membahas ajaran agama sebelumnya secara bebas dengan menggunakan akal dipraktekkan pula dalam membahas ajaran Islam, sehingga banyak masalah-masalah yang muncul seperti hubungan antara Tuhan dengan perbuatan manusia.[13]   

2. Latihan-latihan

   Jawablah pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut:
a.       Sebutkan nama-nama lain dari ilmu Kalam
b.      Mengapa dinamakan ilmu Kalam
c.       Apa obyek kajian ilmu Kalam
d.      Apa perbedaan antar ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf dan Fiqih
e.       Tulislah ayat-ayat yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat
f.       Faktor-faktor yang menjadi latar belakang munculnya ilmu Kalam
g.      Sebutkan peperangan yang dihadapi oleh khalifah ke-empat.

3. Rangkuman

            Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang Kalamullah, khususnya apakah Kalamullah baharu atau qadim. Ilmu ini lahir di latarbelakangi oleh dua faktor, yaitu :  faktor dari dalam itu sendiri , yang paling utama adalah masalah politik yang awalnya tentang siapa pengganti Rasulullah, kemudian berakhir dengan siapa yang masih mukmin dan siapa yang sudah kafir, karena dalam kesejarahan kekhalifahan sesudah Rasulullah wafat terjadi pembunuhan, sekarang ada yang mengkafirkan pembunuh karena perbuatannya melakukan dosa besar. Dengan demikian ilmu Kalam berbeda dengan ilmu lain seperti Filsafat, Tasawuf dan Fiqhi.

4. Tes Formatif

a.       Jelaskan ilmu-ilmu lain dari ilmu Kalam
b.      Jelaskan alasan sehingga dinamakan ilmu Kalam
c.       Jelaskan perbedaan Ilmu Kalam dengan Filsafat, Tasawuf dan Fiqih
d.      Jelaskan latar belakang lahirnya ilmu Kalam

5. Kunci Jawaban

a.       Ushuluddin – Aqaid – Tauhid
b.      --------------
c.       Yakin - Ragu – Perasaan – Hukum
d.      Intern : ayat al Qur’an dan politik
            Ekstern : Masuknya berbagai suku bangsa kedalam       Islam





[1] Kamus Arab., h, 277-287. 
[2] Ilmu Kalam., h. 9.
[3] Mukaddimah Ibnu Khaldun., h. 458.
[4] Ilmu Kalam., h. 12.
[5] Ibid., h. 12-13.
[6] Dhuha Islam., h. 10.
[7] Ibid., h. 18.
[8] Ibid.
[9] Ilmu. Kalam., h. 50.
[10] Majalah Ihya Ulumuddin. No.2/ 1970, h. 22.
[11] Apakah anda termasuk golongan Ahlu Sunnah ., h.82.
[12] Teologi Islam., h.5-8.
[13] Ahmad Amin, Dhuha al Islam, jilid III (Kairo: Nahdatul Mishriyah., t.th)., h.7-8.
0 Responses

Post a Comment