Transendent

A. PENDAHULUAN

1.      Gambaran Materi yang dibahas

            Pokok bahasan dalam materi ini dibagi 4 bahagian :
Pertama, tentang akal dan wahyu dengan mengemukakan pandangan aliran-aliran dalam ilmu kalam tentang peran akal di samping wahyu dalam kehidupan manusia, sehingga tampak ada yang rasional dan ada yang tradisional.
Kedua, adalah masalah iman dan kufur dengan mengemukakan pandangan aliran-aliran tentang penentuan iman dan kufurnya seseorang. Ada yang menekankan pada perbuatan dan sebaliknya ada yang melihat iman itu adalah urusan hati, sehingga perbuatan tidak berpengaruh terhadap iman.
Ketiga, tentang perbuatan manusia. Masalahnya adalah siapa yang menentukan perbuatan manusia; Tuhan atau manusia. Tampaknya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam berbeda, ada yang menitikberatkan pada manusia dan sebaliknya ada yang sangat tergantung pada Tuhan.
Keempat, adalah masalah kehendak mutlak dan Keadilan Tuhan. Sepakat aliran-aliran dalam Ilmu Kalam mengetahui Tuhan Maha Adil, akan tetapi berbeda pendapat dalam hal hubungan Keadilan Tuhan dengan Kehendak Mutlak Tuhan, sehingga ada yang mengatakan Kehendak Mutlak Tuhan dibatasi oleh KeadilanNya.

2.      Pedoman Mempelajari Materi

            Dalam mempelajari materi ini, perlu diingat kembali sistem pemikiran aliran-aliran yang ada dalam Ilmu Kalam, kemudian memahami dengan baik peran akal di samping wahyu oleh masing-masing aliran, baru dilanjutkan dengan iman dan kufur. Setelah hal tersebut dipahami dengan baik baru beralih ke persoalan perbuatan manusia dengan memperhatikan dasar dan argumen pegangan setiap aliran. Begitu pula dalam pembahasan Kehendak Tuhan dan hubungannya dengan Keadilan perlu dicermati dengan baik dasar argumen mereka.

3.      Tujuan Pembelajaran

            Setelah materi bahasan ini selesai, maka diharapkan mahasiswa dapat :
1.      Menjelaskan perbedaan fungsi akal dan wahyu oleh aliran-aliran dalam Ilmu Kalam
2.      Menjelaskan hal-hal yang menentukan iman dan kufur menurut aliran-aliran dalam Ilmu Kalam
3.      Membedakan pandangan aliran dalam Ilmu Kalam tentang penentuan perbuatan manusia
4.      Menjelaskan argumen masing-masing aliran baik secara aqli maupun naqli
5.      Menghubungkan antara Kekuasaan Mutlak Tuhan dan KeadilanNya menurut aliran-aliran yang ada dalam Ilmu Kalam

B. KEGIATAN BELAJAR

1.       Materi Perkuliahan

I. Akal dan Wahyu

a. Pengertian akal dan wahyu

            Dari segi bahasa akal berarti : mengikat.[1] Dalam Munjid dikatakan bahwa : عقل  jamaknya  عقول  berarti : cahaya rohaniah yang dengannya lah dapat dijangkau sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.[2]
            Dari segi istilah terdapat beberapa pandangan, di antaranya Muhammad al Bahl mengemukakan bahwa : Akal merupakan daya pikir yang memberikan manusia kekuatan merancang dan mengoreksi serta mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.[3]
            Dengan demikian, akal yang ada dalam diri manusia merupakan suatu daya yang dengannya manusia hidup bermutu dan dinamis, karena tingkah laku perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian dan motivasi yang melahirkan niat dan tujuan.
            Wahyu berarti : isyarat, kitab dan risalah atas segala apa yang disampaikan kepada orang lain sehingga orang itu mengetahuinya.[4] Dari sini dapat dipahami bahwa : wahyu adalah segala pemberitaan yang berasal dari Tuhan kemudian disampaikan kepada NabiNya dan Nabi dapat mengetahuinya. Pemberitaan itu berisi ajaran yang tertulis sehingga dinamai kitab dan risalah.
            Sehubungan dengan itu Muhammad Abduh menjelaskan bahwa : Wahyu adalah pengetahuan yang di dapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt.[5] Maka dari itu akal dan wahyu merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Perbedaannya terletak pada sumbernya yakni wahyu bersumber dari Tuhan dan akal bersumber dari manusia.

b. Fungsi Akal dan Wahyu

            Kalau di selidiki permasalahan yang dibicarakan oleh ahli pikir Islam, khususnya Mutakallimin tentang fungsi akal dan wahyu, maka pada umumnya mereka menghubungkan kepada empat masalah yaitu :
1.      Mengetahui Tuhan
2.      Mengetahui baik dan buruk
3.      Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan
4.      Mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, mana yang diketahui lewat akal dan mana yang diketahui melalui wahyu.[6]
Dalam hal ini mendapat jawaban yang berbeda dari beberapa aliran yang ada dalam teologi.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa : Sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajiban-kewajiban.[7] Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui akal.
Kemampuan mengetahui keempat masalah di atas diperuntukkan bagi yang sudah mencapai tingkat mukallaf, karena pada tingkat ini akal manusia sudah mencapai kesempurnaan.[8] Akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan, bahkan dapat mengetahui apa yang mendatangkan manfaat dan pahala bila dikerjakan serta mengetahui perbuatan yang mendatangkan malapetaka dan dosa.[9]
Namun demikian, pengetahuan akal manusia terbatas, tidak dapat mengetahui perincian apa yang baik dan buruk termasuk perincian terhadap kewajiban manusia.[10] Justru itu wahyu sangat dibutuhkan memberi informasi apa yang belum dapat  diketahui oleh akal, demi tercapainya kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Al Jabbar salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa : Akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk , sebahagian kewajiban manusia wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal termasuk cara yang ditempuh dalam berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat dan lain-lain.[11] Akal dapat mengetahui apa yang mendatangkan pahala dan dosa, akan tetapi perincian balasan yang akan diterima di hari kemudian di jelaskan oleh wahyu.[12] Maka dari itu, ada pengetahuan yang baik dan buruk diketahui oleh akal dan ada yang diketahui melalui wahyu. Ada kewajiban yang diketahui dengan perantaraan wahyu dan ada dengan pemikiran yang mendalam.
Fungsi lain dari wahyu bagi aliran Mu’tazilah dijelaskan oleh al Syahrastani bahwa : untuk mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya.[13] Jika melalui akal memerlukan waktu lama, karena penalaran yang mendalam harus melalui proses, dimana proses itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Harun Nasution mengatakan bahwa : Fungsi wahyu terhadap akal bagi aliran Mu’tazilah adalah sebagai alat informasi dan konfirmasi.[14] Meskipun aliran Mu’tazilah termasuk rasional, akan tetapi tetap tidak meninggalkan wahyu, bahkan wahyu sangat diperlukan untuk melengkapi pengetahuan yang diperoleh akal. Maka dari itu Tuhan wajib mengutus Rasul untuk memberi bimbingan kepada manusia agar apa yang di cita-citakan oleh manusia bisa tercapai.
Aliran Asy’ariyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Mu’tazilah. Dari empat persoalan di atas, hanya satu yang dapat diketahui oleh akal yaitu mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban manusia hanya diketahui dengan wahyu.[15] Jadi fungsi wahyu sangat besar sekali bagi aliran Asy’ariyah bila dibandingkan dengan aliran Mu’tazilah, karena tiga persoalan diketahui dengan pemberian wahyu, tanpa wahyu manusia tidak bisa berbuat banyak, sebab pengetahuan akal sangat terbatas.
Asy’ari menjelaskan bahwa : Wahyu lah yang menentukan baik dan buruk , menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang menetapkannya.[16] Begitu pula dengan pandangan al Ghazali bahwa : Akal dan wahyu berfungsi sebagai petunjuk, akal memberi petunjuk untuk dapat mengetahui Tuhan, sedang wahyu memberi petunjuk mengetahui apa yang baik dan buruk, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[17] Kewajiban yang di tetapkan oleh wahyu hanya berlaku bagi yang sudah Mukallaf.[18]
Aliran Maturidiyah, antara Abu Mansur dengan al Bazdawi berbeda. Abu Mansur menjelaskan bahwa : Akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyulah yang menetapkannya.[19] Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Adapun pendapat al Bazdawi seperti yang dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa : semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.[20] Nampaknya Maturidi Bukhara lebih mendekati paham Asy’ariyah yang kurang memberi fungsi  terhadap akal. Akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta baik dan buruk, sehingga wahyu sangat dibutuhkan untuk menjelaskan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Maturidi Samarkand lebih dekat dengan paham Mu’tazilah yang memberi fungsi terhadap akal lebih besar di banding dengan Maturidi Bukhara. Namun keduanya melihat betapa pentingnya wahyu untuk menjelaskan apa yang tidak diketahui oleh akal, karena kemampuan akal terbatas.
Berdasarkan pandangan beberapa aliran tersebut di atas, maka dapat di pahami bahwa : manusia pandangan aliran Mu’tazilah adalah manusia yang kuat (dewasa), mampu memecahkan masalah sendiri, sementara bagi aliran Maturidiyah manusia sudah menempati tingkat menengah (remaja), hanya sebahagian masalah yang mampu di selesaikannya. Adapun dalam pandangan aliran Asy’ariyah manusia itu adalah makhluk yang lemah, masih banyak memerlukan bimbingan. Namun demikian ketiga aliran tersebut sama-sama membutuhkan wahyu dan memakai akal, perbedaannya adalah terletak pada kemampuan yang diberikan akal.


II. Iman dan Kufur

a. Pengertian Iman dan Kufur

Iman berarti mempercayai dan membenarkan.[21] Dari segi istilah dapat dikatakan bahwa : Iman adalah menyatakan penerimaan dan kepatuhan terhadap apa yang terdapat dalam sya’riat yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Sedang kufur dari segi bahasa berarti menutupi. Maksudnya adalah menutupi kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Dari segi istilah terdapat beberapa pendapat di antaranya adalah di kemukakan oleh Harifuddin Cawidu bahwa : Kufr adalah pengingkaran terhadap Tuhan, rasul-rasulNya, khususnya Nabi Muhammad saw dan ajaran-ajaran yang dibawanya.[22]
Dengan demikian iman dan kufr merupakan dua istilah yang bertolak belakang. Iman adalah pengakuan terhadap kebenaran Nabi Muhammad saw dan risalahnya, sedang kufr adalah pengingkaran terhadap kebenaran Nabi Muhammad saw dan risalah yang dibawanya.


b. Beberapa Pandangan Tentang Iman dan Kufr

            Jika diperhatikan pandangan yang berkembang dikalangan mutakallimin mengenai iman dan kufr, mereka mempermasalahkan apakah iman sebatas pengakuan dan pembenaran atau pengamalan? Batasan ini sangat penting karena erat kaitannya dengan kufr.[23]
            Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran Khawarij memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir.[24] Bagi aliran Khawarij, Iman adalah ‘Ketaatan’.[25] Maksudnya iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
            Aliran Murji’ah yang ada pada saat itu mempunyai pandangan yang berbeda. Iman adalah ma’rifah sama dengan ikrar dan tashdiq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang kufr adalah mengingkari.[26] Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa.
            Aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa: Iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan.[27] Ini berarti bahwa unsur iman bagi Mu’tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki, yaitu : pengakuan atau ikrar dan tashdiq.
            Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak.[28] sedang kufr adalah ; menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya, menolak hukum-hukumNya dan mendustakanNya serta mengingkari atau menolak kebenaran Rasulullah saw dan ajaran-ajarannya.[29] Dikatakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.
            Sedang aliran Asy’ariyah membedakan antara Iman dan Islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan tashdiq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari’at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar.[30] Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan Iman atau Islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena secara hakiki Iman dan Islam tidak dapat dipisahkan. Sekalipun pengamalan tidak termasuk unsur iman, tetapi tidak bisa bebas berbuat dosa sebab bila melanggar, akan tetap dihitung sebagai orang yang berdosa.
            Al Baghdadi mengemukakan istilah yang dipakai oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam kasus tersebut adalah : pelakunya mukmin, perbuatannya fasiq.[31] Asy’ari menjelaskan bahwa : perbuatan itu dapat menjadikan iman itu kuat dan lemah.[32] Sejalan dengan itu al Juwaini menambahkan bahwa : Iman adalah tashdiq yang merupakan kalam nafs bagi manusia, sifatnya tidak kekal dan tidak kuat kecuali dengan ilmu dan keyakinan. Untuk memperkokoh iman itu harus dengan unsur yang berkaitan dengannya , itu ketaatan.[33] Iman yang kuat menjadi penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk melakukan pelanggaran.
            Adapun kufr adalah mengingkari atau menolak.[34] Mengingkari kebenaran Tuhan dan NabiNya serta ajaran yang dibawanya. Al Baghdadi menjelaskan konsep bagi aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah : Ma’rifah dan Tashdiq.[35] Begitu pula pendapat Jarallah bahwa : Hakikat iman bagi aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah : ‘Tashdiq’.[36] Aliran Maturudiyah termasuk dalam kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, maka prinsip keimanannya tidak terlepas dari ketentuan tersebut yakni ma’rifah dan tashdiq.
            Namun dalam hal ini Harun Nasution membedakan antara Maturidi Bukhara dengan Maturidi Samarkand. Maturidi Bukhara mempunyai pandangan yang sama dengan aliran Asy’ariyah dengan pertimbangan bahwa : akal bagi mereka tidak dapat megetahui kewajiban manusia.[37] Sedang Abu Mansur menjelaskan bahwa : Iman adalah Ma’rifah dan Tashdiq. Ma’rifah merupakan sebab adanya tashdiq, yakni dengan hati mengakui dan membenarkan Tuhan  dan RasulNya serta ajarannya,. Kufr adalah mengingkari dan mendustakan.[38]

III. Perbuatan Manusia

a.       Aliran Jabariyah

Aliran Jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dari mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Aliran ini dalam istilah Inggris disebut Fatalism atau perdistination. Ia memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah Majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Tuhan, sebagaimana benda-benda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh Tuhan.[39]
Manusia tidak ubahnya bulu burung yang ditiup angin. Bulu itu bergerak atau diam ditentukan oleh ada tidaknya angin. Oleh karena itu, manusia dalam perbuatannya bukanlah timbul dari kemauannya, tetapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seorang mencuri, pekerjaan mencuri itu bukanlah kemauannya, tetapi qada dan qadar atau taqdir Tuhan. Jadi gerak gerik yang ada pada manusia bukanlah gerak gerik manusia itu sendiri, tetapi gerak gerik dari Tuhan termasuk mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan menerima siksa[40] adalah paksaan Tuhan.
Tetapi di samping paham Jabariyah ekstrim yang dibawa oleh Jahm, al Syahrastani menyebutkan paham Jabariyah yang bersifat moderat. Menurut paham ini bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bahagian dari perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya dan inilah yang disebut dengan kasb atau acquisition.[41] Menurut paham ini, manusia dan Tuhan bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak dipaksakan mewujudkan perbuatannya.
Paham ini bukanlah suatu paham yang baru dalam Islam melainkan mempunyai sejarah panjang sejak beberapa abad sebelumnya. Paham ini telah menjadi anutan aliran filasafat. Staik dan Zeno (324-262 SM) dan juga menjadi suatu anutan dalam dunia Kristen berdasarkan ajaran St. Augustinus (354-430 M). Kemudian paham ini terus hidup di Khurasan (Persia) sampai datangnya al Maturudiyah di abad IX M.
Di samping paham ini mengemukakan dalil aqli dalam memperkuat pendapatnya, juga mengemukakan dalil-dalil naqli dari Al Qur’an. Di antaranya: QS. Al Anfal (18) : 17; QS. Al Insan (76) : 30 ; QS. Al Hadid (57) : 22.
 
b.       Aliran Mu’tazilah

Paham Free Will atau Qadariyah kemudian juga dianut oleh Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad ibn al Juwaeni dan Ghailan al Dimasyqi. Al Juwaeni menyebarkan paham ini di Iraq, sedangkan Ghailan menyebarkannya di Syiria. Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi dapat memilih.[42]
Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaaan dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif.[43] Jadi nampaknya bahwa manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.
Paham Qadariyah larut ke dalam paham Mu’tazilah (kaum rasionalis) Mu’tazilah sering disebut Qadariyah karena persesuaian pendapat keduanya. Pendapatnya adalah bahwa manusia mempunyai kekuasaan atau daya (qudrah) untuk menciptakan perbuatannya secara mandiri dan mereka tanpa keterlibatan Tuhan. Para penganutnya meniadakan (nafyu) anggapan bahwa segala sesuatunya terjadi sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan (qada dan qadar) Allah.[44]
Dalam paham ini, perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihan manusia sendiri sepenuhnya, bukan ciptaan atau pilihan Allah. Hal ini didasarkan pada kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik atau jelek dangan orang yang baik atau yang jelek wajahnya.
Perbuatan manusia itu haruslah terjadi menurut maksud dan motivasi,القصود والرواعى  manusia. Kalau hal itu tidak demikian, maka hal itu dikarenakan keengganan dan penolakannya. Kalau sekiranya perbuatan itu bukan kepadanya atau bergantung padanya, maka perbuatan itu tidak bergantung pada kedua hal itu.[45]
Argumen lain yang dikemukakan oleh Qadariyah Mu’tazilah adalah bahwa perbuatan jelek dan aniaya, kalau sekiranya Allah menciptakannya, maka mestilah Dia zalim dan aniaya, sedangkan Allah Maha Suci dari hal tersebut.[46] Kalau Tuhan menciptakan perbuatan aniaya berarti Dia juga Zalim. Di sisi lain, Dia menciptakan perbuatan jelek manusia dan manusia sendiri yang harus mempertanggung jawabkan apa yang diciptakan padanya. Yang demikian itu merupakan tindak kezaliman padahal Tuhan menegaskan bahwa Dia tidak pernah berlaku zalim kepada hambaNya.[47]
Aliran Qadariyah Mu’tazilah bukan berarti bahwa kebebasan manusia tidak terbatas. Akan tetapi memandang kebebasan itu terbatas, kebebasan itu terkait dengan keadilan Tuhan atau balasan bagi manusia yang merupakan haknya. Manusia merdeka untuk memilih untuk berbuat baik itu mendapat balasan yang baik dan pahala. Berbuat kejelekkan mendapat siksaan dan kehinaan.[48] Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan hidupnya dan menghimbau untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejelekkan. Seorang yang berakal sehat, sudah pasti berbuat baik. Dengan demikian, kemerdekaan manusia sangat terpengaruh oleh faktor rasional dan himbauanNya. Kalau dalam masalah filsafat, kontrol masalah etika berpengaruh, maka dalam Mu’tazilah yang berpengaruh adalah kontrol teologi.
Selain alasan-alasan rasional, Mu’tazilah juga mengajukan beberapa dalil naqli (ayat-ayat al Quran) untuk memperkuat alasan-alasan rasional tersebut yaitu :
       QS. Al Fusshilat (41) : 40
 (#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt/  

       QS. Al Kahfi (18) : 29
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù

Dari  keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa menurut Qadariyah Mu’tazilah, kehendak dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah di tentukan oleh manusia sendiri, tidak ada campur tangan Allah.

c.        Aliran Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah adalah aliran versus Mu’tazilah yang ingin mempertemukan antara paham Qadariyah dan Jabariyah dalam penentuan perbuatan manusia, namun kelihatannya tetap condong ke Jabariyah daripada ke Qadariyah.
Paham Asy’ariyah ini nampaknya kelanjutan dari paham Jabariyah. Paham ini memandang manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan)
Menurut al Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Tuhan ( إنّ الشيء وقع من المكتسب له بقوّة محدث ).[49]
            Asy’ari dalam penciptaan perbuatan manusia dengan analogi (qiyas). Disebutkan bahwa kekafiran adalah suatu yang jelek meskipun dikehendaki oleh orang kafir baik dan benar. Keimanan adalah sesuatu yang baik, melelahkan dan menyiksa meskipun di kehendaki oleh orang mukmin agar tidak melelahkan dan menyiksa. Kekafiran dan keimanan terjadi tidak sesuai dengan kehendak pelakunya. Jadi perbuatan itu tidak terjadi dengan sendirinya (لا يحدث على حقيقته)  melainkan karena pencipta menciptakannya (بل من محدث أحد ثه عليه) . Pencipta keimanan dan kekafiran yang sesungguhnya bukanlah manusia, melainkan haruslah Allah yang menghendaki kekafiran itu salah dan keimanan itu melelahkan.[50]
            Perbuatan-perbuatan manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan involunter (حركة الاضطرار) atau gerakan refleks dan perbuatan-perbuatan (الكسب) manusia. Dalam bentuk pertama, menurut Asy’ari terdapat dua unsur, yakni penggerak, yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak (pembuat gerak yang sebenarnya) adalah Tuhan dan yang bergerak adalah manusia. Yang bergerak tidak mungkin Tuhan karena gerak menghendaki dimensi tempat dan bersifat jasmani. Tuhan tidak mungkin mempunyai bentuk jasmani. Al Kasb seperti bentuk pertama mempunyai dua unsur yakni pembuat sebenarnya dan yang memperoleh perbuatan. Pembuat yang sebenarnya dalam kasb manusia adalah Tuhan dan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan karena kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan. Tuhan tidak mempunyai daya yang diciptakan.[51]
            Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia dan timbulnya perbuatan-perbuatan manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan, sebenarnya manusia hanya sebagai alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan. Jadi dalam teori kasb al Asy’ari dengan perbuatan involunter tidak ada perbedaan keduanya. Pembuat kedua hal tersebut adalah Tuhan, manusia terpaksa melakukan apa yang dikehendaki Tuhan.
            Mengenai daya yang dimiliki oleh manusia dalam perwujudan perbuatannya, al Asy’ari menegaskan bahwa daya itu lain dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa terkadang manusia berkuasa dan terkadang pula tidak berkuasa. Kalau sekiranya ia berdaya dengan dirinya sendiri, berarti daya tidak akan pernah berpisah dengan dirinya. Ternyata, ia terkadang berdaya dan terkadang tidak.[52]
            Tampaklah dari uraian di atas, bahwa dalam perwujudan perbuatan manusia terdapat daya di luar daya manusia yang diciptakan, daya itu tidak lain adalah daya Tuhan. Dengan kata lain terdapat dua daya dalam perwujudan setiap perbuatan manusia yakni daya Tuhan dan daya manusia. Namun pada hakikatnya daya itu adalah daya Tuhan. Karena manusia tidak mungkin mewujudkan perbuatannya tanpa dengan daya Tuhan. Jadi al Asy’ari memandang manusia dalam posisi yang sangat lemah.
            Adapun argumen-argumen naqli yang dikemukakan al Asy’ari tentang perbuatan manusia antara lain : QS. Al Insan (76) : 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
Artinya :
Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki
           
            Al Asy’ari mengartikan ayat ini bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.[53] Jadi orang tidak bisa menghendaki ke Jakarta, kecuali jika Tuhan  menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Jakarta. Ini jelas bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan.

d. Aliran Maturidiyah

            Aliran Maturidiyah adalah salah satu aliran yang mempersoalkan tentang perbuatan manusia. Aliran ini dalam perkembangan selanjutnya terbagi kepada dua golongan yaitu golongan Maturidi Bukhara dan golongan Maturidi Samarkand.
            Maturidiyah Samarkand dipimpin oleh Imam Abu Mansur al Maturidi, sedangkan Maturidiyah Bukhara di pimpin oleh al Bazdawi.
            Golongan Maturidi Samarkand agak dekat dengan paham Mu’tazilah seperti dinyatakan bahwa perbuatan itu ada dua macam, yaitu perbuatan manusia dan Tuhan. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersamaan dengan perbuatan, bukan sebelum perbuatan sebagaimana dikemukakan oleh Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia secara hakiki dan bukan majazi. Pemberian upah dan hukuman didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan.[54] Jadi dalam pemberian hukuman dan upah itu tergantung dari pemakaian daya itu. Jika pemakaian daya itu baik maka mendapat upah dan kalau pemakaian daya manusia tidak baik, maka mendapat hukuman.
            Nampaknya Muhammad Abduh juga mengemukakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan absolut. Ia menjelaskan bahwa manusia sungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, tidaklah sempurna daya, kemampuan dan pengetahuannya. Kebebasan manusia mempunyai batas-batas.[55]
            Seseorang umpamanya ingin menyenangkan hati temannya, tetapi yang terjadi ialah sebaliknya, ia malah membuat temannya marah; atau seseorang ingin melepaskan dirinya dari bahaya, tetapi ia malah jatuh ke dalamnya. Sebab kegagalannya menurut Muhammad Abduh terletak dalam diri manusia sendiri karena ia tidak memperhitungkan dengan baik.[56] Jadi kebebasan manusia dalam kemauannya dibatasi oleh perhitungannya sendiri.
            Jadi kebebasan manusia menurut paham Maturidi tidak sebesar dengan paham kebebasan manusia menurut paham Mu’tazilah karena menurut Mu’tazilah daya manusia diciptakan oleh Tuhan sekaligus untuk bermacam-macam perbuatan. Sedangkan menurut Maturidi daya manusia itu selalu baru untuk setiap perbuatannya. Pendapat Maturidi ini menurut A. Hanafi hanyalah karena alasan etis untuk mengembangkan sikap manusia yang selalu merasa butuh kepada Tuhannya.[57]
            Adapun golongan Maturidi Bukhara, menurut apa yang dikemukakan oleh al Bazdawi, bahwa kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham Maturidiyah Samarkand. Mereka mengikuti paham kehendak dan kerelaan hati menurut paham Abu Hanifah. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan Tuhan. Daya juga sama yaitu daya diciptakan bersamaan dengan perbuatan.[58] Jadi salah besar menurut al Bazdawi jika daya diciptakan sebelum perbuatan karena akan membawa suatu pengertian bahwa manusia yang menciptakan perbuatannya, hal ini mustahil.
            Berbeda dengan Maturidi Samarkand yang dekat dengan Mu’tazilah golongan Maturidi Bukhara yang dipelopori oleh al Bazdawi berpendapat bahwa dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan menurut al Bazdawi adalah penciptaan perbuatan manusia, bukan penciptaan daya, perbuatan ini disebut maf’ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan fa’il. Dengan demikian, jelas bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan karena perbuatan Tuhan adalah Pencipta perbuatan, sehingga dapat dikatakan al Bazdawi sama dengan Asy’ari yang berpendapat daya manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatan.




IV. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

a.       Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan itu tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Tuhan dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri.
Dari kerangka berpikir kaum Mu’tazilah dapat dipahami bahwa hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan sehingga tidak lagi menjadi mutlak adalah kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan terhadap manusia dan natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Dalam hal ini kebebasan manusia menentukan kemauan dan perbuatannya, kaum Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk.[59]
Amr bin ‘Ubaid (tokoh Mu’tazilah) berkata bahwa sesungguhnya Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud.[60] Hal yang sama dikemukakan pula oleh al Jubba’i dan anaknya Abu Hasan ibn Salam (keduanya dari tokoh Mu’tazilah Basrah). Keduanya menyetujui bahwa manusialah yang berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh. Kepatuhan adalah atas kemauan dan kehendak itu telah ada dalam diri manusia sebelum terwujudnya perbuatan.[61]
Paham kaum Mu’tazilah mengenai kebebasan manusia nampaknya didasari oleh paham mereka tentang keadilan Tuhan. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Dan atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
Agar yang baik dan yang terbaik bagi kemaslahatan dan terlaksana, maka Huzail dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan wajib memberi perlindungan (lutf) kepada manusia, sehingga manusia menjadi taat kepada Tuhan dan menjauhi maksiat. Dengan demikian para Nabi yang diutus oleh Tuhan untuk memberikan petunjuk bagi kepada jalan kebaikan dan menjauhkannya dari jalan kemaksiatan, adalah wajib bagi Tuhan. Selain itu wajib pula bagi Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat untuk mewujudkan keadilannya, agar orang yang tidak baik tidak setaraf dengan orang yang baik, orang durhaka dengan orang taat. Atas dasar itulah maka Tuhan bagi paham al Huzail wajib memasukkan orang baik ke syurga dan orang jahat di neraka. Kalau tidak, maka Tuhan berbuat zalim dan hal ini mustahil bagiNya.[62]
Sebagai konsekuensi logis dari adanya kewajiban Tuhan menurut paham Mu’tazilah, maka dapat dipahami bahwa bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan membatasi kekuasanNya dengan kewajiban-kewajiban yang ia wajibkan kepada diriNya sendiri.
Selanjutnya tentang sunnah Allah, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri.[63] Hukum alam itulah yang mengatur perjalanan kosmos. Ia tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri.[64] Apa yang dimaksud dengan sunnah Allah, Mu’ammar (salah seorang tokoh Mu’tazilah) mengemukakan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan sesuatu kecuali ajsam (benda materi). Apakah dalam bentuk natur seperti pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari, ataukah dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti gerak dan diam, berkumpul dan berpisah yang dilakukan oleh binatang. Dalam hal ini, al Jahiz mengemukakan bahwa tiap-tiap benda materi mempunyai naturnya masing-masing.[65]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa menurut kaum Mu’tazilah, setiap benda (materi) mutlak melahirkan naturnya yang sudah merupakan hukum alam atau sunnah Allah. Jadi Tuhan mustahil merubah api menjadi tidak membakar sebab sudah menjadi sunnah Allah api itu membakar, dan matahari tidak menjadi tidak memanasi sebab sunnah Allah-nya matahari itu memanasi. Atas dasar inilah dapat dipahami bahwa Tuhan menurut paham kaum Mu’tazilah tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibatasi oleh hukum alam atau sunnah Allah yang Tuhan sendiri menetapkannya.
Persoalan ‘Keadilan Tuhan’ oleh kaum Mu’tazilah telah dijadikannya sebagai term khusus dalam paham teologi mereka. Term ini menjadi suatu ajaran yang merupakan salah satu dari lima prinsip terpenting dalam paham teologi mereka. Mereka membahasnya secara mendetail, sehingga mereka lebih suka dinamai dengan ‘Ahl al Adl Wa al Tauhid’.[66] Kalau dengan al Tauhid, kaum Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dengan persamaan dengan makhluk, maka dengan al Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan makhluk.[67]
Dikarenakan kaum Mu’tazilah percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, sehingga mereka mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Berdasarkan atas tendensi inilah, maka soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, Abd al Jabbar sebagaimana dikutip Harun Nasution menyatakan bahwa keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata ‘Tuhan Adil’ mengandung arti bahwa segala perbuatanNya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.[68] Dan untuk memahami bahwa Tuhan itu adil, maka golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan mempunyai suatu tujuan dalam ciptaanNya. Dia menghendaki kebaikan bagi yang diciptakanNya ; Dia tidak menghendaki kejahatan dan memerintahkannya ; Dia tidak menciptakan perbuatan manusia, tidak perbuatan baik dan tidak pula perbuatan jahatnya.[69] Tuhan tidak mungkin menyalahi hal tersebut. Kalau Dia menyalahi, berarti Dia berbuat tidak sesuai dengan kepentingan kebaikan manusia yang merupakan tujuan diciptakannya manusia itu. Ia tidak melaksanakan kewajibanNya, dan kalau demikian halnya berarti Ia berlaku aniaya, tidak adil, sedangkan ketidakadilan adalah mustahil bagi Tuhan.

b.       Aliran Asy’ariyah
Persoalan kekuasaan mutlak, oleh kaum Asy’ariyah dipahaminya bahwa Tuhan itu mempunyai kekuasaan mutlak. Dan tidak tunduk kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan; Dia bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasanNya. Kaum Asy’ariyah tidak sependapat dangan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan dibatasi oleh kebebasan manusia berbuat dan berkehendak ; Keadilan Tuhan ; Keadilan Tuhan ; Kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukanNya serta Natur atau hukum alam.
Kekuasaan mutlak Tuhan oleh Asy’ariyah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan kaum Asy’ariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Tuhan, atau sekiranya dalam kekuasaanNya terjadi apa yang tidak dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti bahwa Tuhan itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Tuhan. Dengan demikian, Tuhanlah yang menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.[70] Jelasnya Tuhanlah yang berkuasa mutlak terhadap perbuatan manusia dan manusia tidak mempunyai kebebasan sedikit pun dalam memilih dan menentukan perbuatan-perbuatannya.
Demikian pula tentang keadilan Tuhan yang bagi kaum Mu’tazilah, membatasi kuasa mutlak Tuhan, oleh kaum Asy’ariyah tidak disetujuinya. Hal ini dapat dipahami dari konsep pemikiran mereka yang menyatakan bahwa Tuhan itu berkuasa mutlak, seperti di uraikan di atas. Konsekuensi logis konsep kuasa mutlak Tuhan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak sesuatu pun yang wajib bagi Tuhan; dapat saja Tuhan berbuat sekehendakNya, menyiksa orang jahat atau memberi nikmat orang baik atau sebaliknya. Karena itu memasukkan orang baik ke dalam syurga dan orang jahat di neraka yang bagi kaum Mu’tazilah adalah wajib bagi Tuhan karena keadilanNya, maka bagi kaum Asy’ari, tidak wajib bagi Tuhan. Sebab keadilan Tuhan bagi kaum Asy’ari tidak diukur dari hak manusia tetapi diukur dari kuasa mutlak Tuhan. Olehnya itu walaupun Tuhan memasukkan seluruh manusia di syurga Dia tetap adil dan kalaupun Tuhan memasukkan seluruh manusia di neraka, Dia tidak zalim, karena kezaliman terjadi kalau seseorang melakukan perbuatan bukan hanya atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[71]
Persoalan kewajiban-kewajiban Tuhan yang oleh kaum Mu’tazilah dinyatakan ada dan membatasi kuasa mutlak Tuhan, maka oleh Asy’ari ditolaknya, karena menurut mereka Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Perbedaan pandangan ini disebabkan karena berbedanya pandangan mereka terhadap tujuan Tuhan dalam perbuatanNya, yang di satu pihak kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatanNya, dan di lain pihak kaum Asy’ari memandang bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dalam perbuatanNya, tujuan dalam arti sebab yang mendorongNya untuk berbuat sesuatu.[72] Karena itu mereka menolak pendirian kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan wajib memberikan perlindungan (al lutf) kepada manusia.[73] Dengan demikian, maka tertolaklah pemikiran adanya kewajiban bagi Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hamba-hambaNya.
Persoalan lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan  pandangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah dalam melihat kuasa Tuhan adalah konsep janji dan ancaman Tuhan (al wa’d wa al wa’id). Berdasarkan konsep janji dan ancaman inilah, maka kaum Mu’tazilah memandang bahwa dimasukkannya manusia ke dalam syurga atau ke neraka adalah berdasarkan amal perbuatannya. Bagi kaum Asy’ariyah pandangan seperti ini ditolak. Mereka memandang bahwa dimasukkannya manusia di surga dan di neraka bukan karena akibat perbuatan baik dan jahatnya, tetapi karena rahmat Tuhan semata.[74] Tuhan dapat memberi atau tidak memberi rahmat kepada siapa saja yang diinginkannya. Jelasnya janji dan ancaman Tuhan bagi kaum Asy’ariyah sama sekali tidak membatasi kuasa Tuhan.

c.        Aliran Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara
Golongan Maturidiyah terbagi atas Maturudiyah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan paham kaum Mu’tazilah, sedangkan Maturidiyah Bukhara lebih dekat dengan paham Asy’ariah.[75] Walaupun demikian, dalam beberapa hal  terdapat pula perbedaan pemahaman tentang kekuasaan Tuhan antara kaum Mu’tazilah dengan golongan Maturidiyah Samarkand, demikian pula antara Asy’ariyah dengan golongan Maturidiyah Bukhara.
Pada uraian di muka telah diutarakan adanya beberapa hal yang bagi kaum Mu’tazilah membatasi kekuasaan Tuhan sehingga tidak mutlak. Paham adanya batasan kekuasaan Tuhan bagi Mu’tazilah tersebut, kelihatannya disetujui pula oleh Maturidiyah Samarkand. Meskipun batasan-batasan itu tidak sebanyak batasan yang dipahami Mu’tazilah.
Titik perbedaan pemahaman mereka antara lain terletak pada persoalan perbuatan manusia yang oleh Mu’tazilah sepenuhnya terjadi karena kehendak dan kemampuan manusia itu sendiri, akan tetapi bagi Maturidiyah Samarkand, tidak sepenuhnya terjadi karena kehendak dan kemauan manusia semata. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Maturidiyah bahwa pada perbuatan manusia ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan adalah khalq al istitha’ah dan perbuatan manusia adalah isti’mal al istitha’ah. Istitha’ah manusia bagi Mu’tazilah ada sebelum perbuatan dilaksanakan sedangkan bagi golongan Samarkand ada pada saat perbuatan dilaksanakan.
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia berbuat lebih besar bagi Mu’tazilah ketimbang Maturidiyah Samarkand. Ini berarti bahwa bagi golongan Samarkand, Tuhan masih mempunyai kekuasaan dalam menentukan perbuatan manusia, dan dari sini dapat dipahami bahwa hal yang membatasi kekuasaan Tuhan bagi Maturidiyah Samarkand lebih kecil dibanding dengan paham Mu’tazilah, atau dengan kata lain kekuasaan Tuhan bagi Maturidiyah Samarkand lebih besar dibanding dengan paham Mu’tazilah.
Persoalan lain yang menyebabkan Maturidiyah Samarkand dan kaum Mu’tazilah berbeda dalam memahami kekuasaan Tuhan adalah adanya paham kewajiban bagi Tuhan kepada manusia. Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib melakukan al shalah wa al aslah kepada manusia. Konsepsi al shalah wa al aslah Mu’tazilah tersebut, ditolak oleh Maturidiyah Samarkand, meskipun mereka mengakui bahwa  Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.[76] Hal ini dapat dipahami bahwa kewajiban Tuhan kepada manusia bagi golongan Samarkand lebih kecil ketimbang Mu’tazilah.
Demikian pula Maturidiyah Bukhara dikatakan lebih dekat dengan paham Asy’ariyah dibalik kesamaan pandangan mereka dalam banyak hal, terdapat pula perbedaan, khususnya yang menyangkut persoalan kekuasaan Tuhan. Kalau paham kaum Asy’ariyah menganggap  Tuhan memiliki kekuasaan mutlak yang tidak dibatasi oleh sesuatu, maka kelihatannya golongan Bukhara tidak memahami semutlak itu. Nampaknya terdapat batasan-batasan kekuasaan Tuhan bagi Maturidiyah Bukhara. Perbedaan pandangan dua aliran ini dapat dipahami dari pemahaman mereka tentang perbuatan manusia.
Hal perbuatan manusia, meskipun al Bazdawi (tokoh aliran Maturidiyah Bukhara) menyatakan bahwa Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakaiNya. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan dengan paham Asy’ariyah. Titik perbedaannya terletak pada perbuatan manusia yang bagi al Asy’ari bahwa pembuat sebenarnya dari perbuatan manusia adalah Tuhan. Manusia hanya merupakan alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan.[77] Bagi al Bazdawi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan , bukan ciptaan manusia dan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan, manusialah yang memperbuatnya, bukan Tuhan.[78]
Bazdawi sebagai tokoh Maturidiyah Bukhara tentang perbuatan manusia di atas, dapat dipahami bahwa bagi kaum Asy’ariyah, manusia lebih fatalis dalam perbuatannya dibanding bagi Maturidiyah Bukhara. Ini berarti kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia lebih mutlak menurut paham Asy’ariah dibanding dengan paham Maturidiyah Bukhara.
            Dalam persoalan keadilan Tuhan, Harun Nasution mengemukakan bahwa kaum Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada posisi lebih dekat kepada Mu’tazilah. Perbedaan mereka dalam mengartikan keadilan Tuhan disebabkan karena mereka berbeda dalam memahami kekuasaan Tuhan.

2.      Latihan-latihan

            Jawablah pertanyaan di bawah ini
1)      Kemukakan pengertian Akal, Wahyu , Iman dan Kufur
2)      Kemukakan dengan hal yang menjadi dasar dalam menilai peran akal di samping wahyu
3)      Kemukakan pandangan Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand dan Matuidiyah Bukhara tentang 4 hal di atas.
4)      Dari 4 aliran di atas, aliran manakah yang lebih besar peran akal diberikan kepadanya dan aliran manakah yang sangat membatasi akal
5)      Apa saja yang menentukan iman seseorang menurut aliran-aliran dalam ilmu Kalam
6)      Kapan seseorang dikatakan kufur menurut aliran-aliran dalam ilmu Kalam
7)      Siapa yang menentukan perbuatan manusia menurut aliran dalam ilmu Kalam
8)      Kemukakan argumen aqli dan naqli mereka
9)      Apakah kekuasaan  mutlak Tuhan masih berlaku sepenuhnya, kemukakan pandangan aliran-aliran dalam ilmu Kalam
10)  Kemukakan pandangan aliran-aliran tentang keadilan Tuhan
11)  Bagaimana hubungan antar kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan.

3.      Rangkuman

1)      Pada dasarnya semua aliran dalam teologi menggunakan akal dan wahyu. Perbedaannya terletak pada besar dan kecilnya fungsi yang diberikan kepada akal dan wahyu.
2)      Aliran Mu’tazilah memberi fungsi akal lebih besar dibanding dengan aliran yang lain, sedang Maturidi Samarkand lebih kurang dari aliran Mu’tazilah. Begitu pula dengan Maturidiyah Bukhara memberi fungsi seimbang antara wahyu dan akal. Sementara aliran  Asy’ariyah lebih tinggi memberi fungsi terhadap wahyu dibanding akal.
3)      Iman dan Kufur merupakan dua istilah yang bertolak belakang. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa : iman adalah pengakuan dan pengalaman. Sedang kufur adalah mengingkari apa yang di imani. Aliran Asy’ariyah menilai iman itu adalah tashdiq dan kufr adalah penginkaran. Aliran Maturidiyah yang terdiri dari Matudiyah Samarkand yang menempatkan iman tidak hanya tashdiq, akan tetapi juga ma’rifah sedang Maturidiyah Bukhara mempunyai pandangan yang sama dengan aliran Asy’ariyah.
4)      Perbuatan manusia dan paham kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan sangat bergantung kepada besarnya peran akal. Semakin besar peran diberikan kepada akal, maka kebebasan dan penentuan dalam perbuatan di berikan kepada manusia seperti dalam paham Mu’tazilah. Begitu pula ada batasan dalam kehendak dan kekuasaan Tuhan dan paham keadilan dekat memihak kepada manusia, sebaliknya Samarkand, peran akal yang diberikan kecil, maka kebebasan manusia dan menentukan perbuatannya sangat terbatas dan kemutlakan kekuasaan Tuhan berlaku sepenuhnya seperti dalam paham Asy’ariyah dan Maturidiyah.

4.      Tes Formatif

1)      Jelaskan perbedaan fungsi akal dan wahyu dalam pandangan aliran-aliran dalam ilmu Kalam
2)      Jelaskan pandangan aliran-aliran dalam Ilmu Kalam tentang penentuan Iman dan Kufur
3)      Jelaskan perbedaan pandangan aliran dalam ilmu Kalam tentang penentuan perbuatan manusia
4)      Jelaskan argumen mereka baik secara aqli maupun naqli
5)      Bagaimana hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan

5.      Kunci Jawaban

1)      Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand peran akal lebih besar, sedang Maturidiyah Bukhara sebanding. Adapun paham Asy’ariyah peran wahyu lebih besar
2)      Khawarij, Mu’tazilah ; Iman = Tashdiq –
Kufr = mengingkari
Ahlu Sunnah Wal Jamaah ; Iman = ma’rifah –
Kufr = mengingkari
3)      Mu’tazilah = manusia
Maturidiyah Samarkand = Tuhan dan manusia
Asy’ariyah dan Maturudiyah Bukhara = Tuhan
4)      QS. al Anfal ayat 17 – QS. Fusshilat ayat 40
5)      Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand; kekuasaan Tuhan dibatasi keadilan
Maturudiyah Bukhara dan Asy’ariyah; kekuasaan Tuhan tidak dibatasi keadilanNya.



  

  


[1] Dairat al Ma’arif., h. 521.
[2] Munjid Fi Lughah., h. 520.
[3] Al Fikr al Islam wa Mujtama’ah al Mu’ashir., h. 359-360.
[4] Maqayis al Lughah., h. 93.
[5] Risalah al Tauhid., h. 96-97.

[6] Teologi Islam., h. 80.
[7] Al Mugni., Juz XII h. 416-417.
[8] Ibid., h. 496-497.
[9] Ibid., Juz XV., h. 25.
[10] Ibid., h. 424-425.
[11] Ibid., h. 27-28.
[12] Ibid., h. 42-43.
[13] Al Milal Wa Al Nihal., h. 20.
[14] Teologi Islam., h. 99.
[15] Al Ibanah ‘An Ushul al Diyanah., h. 7.
[16] Al Luma’ Fi al Radd ‘Ala Ahl al Zaygh Wa Al Bida’., h.56-57.
[17] Al Iqtishad Fi al I’tiqad., h. 102.
[18] Maqallat al Islamiyyin wa Ikhtilaf al Musallin., h. 155.
[19] Kitab al Tauhid., h. 4-9.
[20] Tarikh al Mazahib al Islamiyah., h. 296-297.

[21] Lisan al ‘Arab., h. 162-163.
[22] Konsep Kufr dalam al Qur’an., h. 8.
[23] Ibid., h. 14.
[24] Al Farq Baina al Firaq., h. 55.
[25] Kitab al Irshad Ila Qawati al Adillah Fi Ushul al I’tiqad., h. 396.
[26] Maqalat., h.213.
[27] Ibid., h. 329.
[28] Al Mu’tazilah., h. 54.
[29] Maqalat., h. 213. 
[30] Al Ibanah., h. 10.
[31] Al Farq Baina al Firaq., h. 343.
[32] Al Ibanah., h. 10.
[33] Kitab al Irshad…, h. 296-299.
[34] Al Syamil Fi Ushul al Din., h. 28.
[35] Al Farq Baina Al Firaq., h. 343.
[36] Mu’tazilah., h. 15.
[37] Teologi Islam., h. 147-148.
[38] Kitab al Tauhid., h. 380-381.
[39] Al Milal Wa Al Nihal., h. 87.
[40] Ibid., h. 87.
[41] Lihat Al Milal…, ibid., h. 88-84.

[42] Al Milal…., h. 284-286.
[43] Konsep perbuatan…, h, 88.
[44] Al Milal…, h. 287.

[45] Syrah Ushul al Khamsah., h. 336.
[46] Ibid., h. 345.
[47] QS. Ali Imran (3) : 182 ; QS. Al Anfal (8) : 51.
[48] QS. Al Zalzalah (99) : 8 .
[49] Kitab al Luma’…, h. 69.

[50] Ibid., h. 71-72.
[51] Ibid., h. 72-73.

[52] Ibid., h. 74-76.
[53] Ibid., h. 57.
[54] Teologi Islam., h. 112.
[55] Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah., h. 66.
[56] Ibid.

[57] Rangkuman Teologi Islam., h. 174.
[58] Kitab Ushul al Din., h. 42 ; 115.

[59] Al Milal Wa Al Nihal., h. 45.
[60] Tarikh al Firaq al Islamiyyat wa Nasya’a ‘Ilm al Kalam ‘Inda al Muslimin., h. 120-121.
[61] Fajr Islam., h. 81.
[62] Tarikh al Firaq., h.121; 173.
[63] Teologi Islam., h. 120.
[64] Tarikh al Firaq., loc cit.

[65] Al Milal…, h. 66 ; 75.
[66] Dhuha al Islam., h. 44.
[67] Teologi Islam., h. 53.
[68] Teologi Islam., h. 123-124.
[69] Dhuha Islam., h. 45.
[70] Teologi Islam., h. 61.
[71] Ibid., h. 64.
[72] Ibid., h. 66 ;78
[73] Nasy’at al Asy’ariyat Wa Tathawwuruha., h. 230.
[74] Teologi Islam., h. 123 ; 128.
[75] Dialog Pemikiran Islam., h. 124.
[76] Teologi Islam., h. 128.
[77] Ibid.
[78] Al Milal Wa Al Nihal., h. 101.
0 Responses

Post a Comment