Transendent


A. PENDAHULUAN

1.      Gambaran Materi yang di bahas

Syi’ah merupakan salah satu golongan dalam Ilmu Kalam yang di kenal pro terhadap Ahlu Kitab dan memandang bahwa jabatan kekhalifahan sesudah Rasulullah wafat seharusnya ialah Ali bin Abi Thalib, sekaligus sebagai Imam yang kedua. Namun dalam perkembangannya, Syi’ah terbagi dalam beberapa kelompok karena perbedaan masalah Imamah. Untuk itu, dalam pembahasan materi ini, terdiri atas:
Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah atau Imamiyah yang menganggap imam mereka ada 12 orang, Syi’ah Ismailliyyah atau Sab’iyah karena mereka hanya  7 orang dan Ismail adalah Imam mereka yang muntazhar, Syi’ah Zaidiyah karena imam kelima mereka adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali bin Thalib, dan yang paling ekstrim adalah Syi’ah Ghulat karena memandang Ali lebih berhak mendapatkan wahyu di bandingkan dengan Rasulullah saw, itulah sebabnya golongan ini dianggap sesat.
Pada dasarnya Syia’ah ada sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi sebagai suatu kekuatan politik dikenal sejak peristiwa Ali bin Ali Thalib dengan kelompok Umayyah dalam peristiwa tahkim.

2.   Pedoman Mempelajari Materi

Tahap pertama yang harus dipelajari adalah latar belakang munculnya atau sejarahnya karena atas dasar itulah yang digunakan untuk lebih memahami ajaran masing-masing golongan, khususnya yang terkait dengan persoalan imamah dan penolakannya terhadap khalifah Abu Bakar Ra, Umar Ra, dan Usman Ra.

3.   Tujuan Pembelajaran 

Setelah materi bahasan selesai diharapkan mahasiswa dapat :
a.      Menjelaskan asal usul Syi’ah
b.      Menjelaskan perbedaan masing-masing pandangan Syi’ah tentang Imamah
c.      Menjelaskan ajaran-ajaran Syi’ah yang lainnya.

B. KEGIATAN BELAJAR

1.      Materi Perkuliahan

I. Asal Usul Syi’ah
Syi’ah berarti “Kelompok yang mempunyai ikatan kebersamaan mendukung ide, prinsip atau tokoh”.[1]
Ada beberapa pendapat mengenai munculnya istilah Syi’ah :
1)     Sebagian orang menganggap bahwa sejak Rasulullah saw. wafat, Ali bin Abi Thalib memang mempunyai pendukung yang memperjuangkan kursi kekhalifahan buat Ali yang disebut dengan Syi’ah Ali.[2]
2)     Sebagian yang yang lain menganggap bahwa pada peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan, kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan, sebagian besar menjadi Syi’ah Ali dan sebagian kecil menjadi Syi’ah Mu’awiyah.[3]
3)     Sebagian lain mengatakan bahwa munculnya Syi’ah akibat gagalnya perundingan antara pihak Khalifah Ali dengan Pemberontak Mu’awiyah yang disebut dengan peristiwa tahkim. Akibat kegagalan itu, maka sejumlah pasukan Ali berontak terhadap pimpinannya atau keluar dari barisan Ali yang disebut Khawarij. Dan sebagian besar tetap setia kepada Khalifah Ali, mereka inilah yang disebut Syi’ah Ali.[4]
Sedangkan seiring dengan perkembangan zaman, istilah Syi’ah lebih dinisbatkan kepada kelompok pengikut Ali dan pemihakan kepada Ali berubah menjadi mengutamakan Ali dan anak cucunya, sehingga lambat laun tumbuh keyakinan bahwa khalifah dan kepemimpinan umat adalah hak mutlak bagi keturunan Ali.
Secara historis, awal mula lahirnya Syi’ah adalah pada peristiwa Saqifah, segera setelah terbetik berita kematian Rasulullah sekelompok sekelompok Muhajirin memaksakan kehendak mereka kepada kaum Anshar untuk menerima Abu Bakar sebagai pemimpin tunggal umat. Pada saat itu ada sebagian suara diajukan dalam menuntut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sebab bagi mereka Ali lebih berhak menjadi Khalifah dengan berbagai pertimbangan; Ali masuk Islam dalam keadaan bersih karena tidak pernah menyembah berhala, dan Ali diangkat Nabi SAW sebagai saudaranya bahkan punya hubungan nasab yang kuat dengan Rasulullah SAW.[5] Tapi kenyataannya dalam peristiwa Saqifah tersebut, Abu Bakarlah yang dipilih sebagai Khalifah.
Sehabis penguburan jenazah Rasulullah SAW. Ali dan para sahabat seperti, Abbas, Salman, Abu Dzar, Mihdad, dan Ammar mengetahui tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah sehingga muncullah protes dari mereka. Protes ini merupakan manifestasi dari kenyataan yang mereka tidak terima terhadap cara musyawarah pengangkatan Khalifah tanpa melibatkan Ali bin Abi Thalib.
Peristiwa ini merupakan awal perpecahan kelompok minoritas pendukung Ali bin Abi Thalib dari kelompok mayoritas pendukung Khalifah yang terpilih. Dari peristiwa ini, pendukung Ali dikenal sebagai kaum partisan, atau Syi’ah Ali.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa Abu Bakar, istilah Syi’ah telah ada, tetapi belum menampakkan diri sebagai suatu kekuatan politik yang dapat diperhitungkan sebab baru sebagai satu tahapan perasaan simpatik kelompok kecil para sahabat. Demikian pula pada masa Umar. Akan tetapi keadaan ini berubah setelah pemerintahan Usman bin Affan, lebih- lebih pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya, ia membuat tindakan-tindakan keliru yang tidak pernah diperbuat oleh Khalifah-khalifah sebelumnya. Tindakan ini telah menyulut rasa ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan rakyat.
Dalam situasi seperti ini, dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan mempropogandakan gagasannya yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan “Mazhab Wishaya” teori ini menyatakan bahwa ada wasiat dari Nabi SAW. Untuk menjadikan Ali sebagai Khalifah sesudah beliau wafat. Sebab sudah menjadi kelaziman bagi setiap Nabi mengadakan wasiat serupa itu. Ali adalah penerima wasiat terakhir. Di samping “Wishaya”, Abdullah bin Saba’ juga melontarkan paham “Hak Ilahi” menurut teori ini, bahwa Ali lah yang berhak menjadi Khalifah, karena hal itu sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Selanjutnya Ibnu Saba’ mengatakan bahwa Usman telah merampas hak Khalifah dari Ali. Dari gagasan- gagasan Ibnu Saba’ tersebut, akhinya ia mendapat banyak pengikut, terutama di kalangan pecinta Ali bin Abi Thalib.[6]
Kebencian terhadap Usman dan pendukung Ali tumbuh berdampingan, sehingga klimaks ketidakpuasan yng membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan dan penyerbuan Madinah yang menewaskan Usman. Kematian Usman memberikan peluang bagi Ali untuk naik di atas kursi kekhalifahan. Ali adalah satu- satunya kandidat yang diterima oleh Anshar, Muhajirin dan para pemberontak.
Akan tetapi, dalam kondisi peralihan kekhalifahan ini, Mu’awiyah-Gubernur Damaskus yang diangkat masa khalifah Usman mempunyai ambisi menjadi khalifah kaum muslimin, maka dengan semboyan ‘menuntut balas atas kematian Usman’ dijadikan alasan untuk menolak kekhalifahan Ali. Mu’awiyah menuntut Ali supaya mengadili dan menghukum para pembunuh Usman bahkan Mu’awiyah menuduh Ali turut campur dalam usaha pembunuhan tersebut.[7]
Dalam kondisi seperti itu tentu sulit bagi Ali untuk menghukum pembunuh Usman yang sekaligus sebagai pendukungnya. Karena itu, terjadilah konflik antara Ali dan Mu’awiyah, dimana Shiffin adalah arena pertempuran kedua golongan ini sampai akhirnya konflik ini menghasilkan abitrase (tahkim), akibatnya terjadi kemelut antara sesama pasukan Ali yaitu antara pasukan yang keluar dari barisan Ali karena tidak setuju adanya arbitrase dan pasukan Ali yang tetap setia pada Ali, karena berpendapat bahwa tak seorangpun yang berhak menjadi khalifah dibanding Ali.
Dari sini nyata bagi kita, bahwa telah terjadi segitiga pertentangan yaitu : antara Golongan Mu’awiyah, Pasukan Ali yang membangkang (keluar dari barisan Ali) yang disebut dengan Khawarij dan yang tetap Setia pada Ali. Golongan yang terakhir inilah yang disebut dengan Syi’ah.
Konflik yang terjadi antara umat Islam ini menewaskan Ali, sehingga terjadi perebutan kekuasaan politik antar pendukung Ali dan Mu’awiyyah. Pendukung Ali (Syi’ah) menuntut agar jabatan kekhalifahan tetap dipegang keluarga ahl al bait, mereka merealisasikan tuntutan ini dengan menobatkan Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Dari uraian di atas tampaknya istilah Syi’ah sebagai suatu kekuatan politik tampil pada akhir masa pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin Abi Thalib. Sehingga Abu Zahrah mengungkapkan bahwa Syi’ah adalah mazhab politik yang pertama lahir di dalam Islam.
Walaupun pada asalnya Syi’ah lebih di dominasi dengan paham politik, akan tetapi mazhab-mazhab politik itu sendiri pada orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama dan memasuki bidang furu’.

II. Sekte-sekte Syi’ah
            Dalam perjalanan sejarahnya, Syi’ah tidak hanya satu, mereka pecah menjadi beberapa aliran. Hal ini bukanlah mustahil bagi Syi’ah, sebab mereka merupakan percampuran dari berbagai macam bangsa yang memiliki berbagai macam kecenderungan dan dorongan. Ini disebabkan oleh peristiwa-peristiwa politik dan hubungan mereka dengan pemimpin-pemimpin tertentu yang merupakan sebab mengapa terpecah-terpecah ke dalam firqah-firqah atau sekte-sekte.
            Di antara sekte-sekte Syi’ah ada kelompok ekstrim yang menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah suci bahkan sampai menganggap bahwa Ali mempunyai sifat kenabian atau Ke-Tuhanan. Seperti yang dilakukan oleh golongan Saba’iyah dan adapula sekte yang bersikap terbatas pada tuntutan kekhalifahan dengan mengatakan Ali lebih berhak daripada yang lain, Sekte-sekte tersebut adalah :



a). Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘ Asyariyah)

Syi’ah Imamiyah adalah nama yang dititik beratkan pada pandangannya tentang Imamah. Nama Itsna ‘ Asyariyah di berikan atas dasar bilangan imamnya 12. Kedua belas imam yang dimaksud adalah :
1.      Abu Hasan Ali bin Abi Thalib (Al Murtadha)
2.      Abu Muhammad Hasan bin Ali ( Al Zakiy)
3.      Abu Abdillah Husain bin Ali (Sayyid Syuhada)
4.      Abu Muhammad Ali bin Husain (Zain al Abiddin)
5.      Abu Ja’far bin Ali (Al Baqir)
6.      Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad (Al Shadiq)
7.      Abu Ibrahim Musa bin Ja’far ( Al Kazhim)
8.      Abu al Hasan Ali bin Musa (Al Ridha)
9.      Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Juwwad)
10. Abu Hasan Ali bin Muhammad (Al Hadi)
11. Abu Muhammad Hasan bin Ali (Al Askari)
12. Abu al Qasim Muhammad bin Hasan (Al Mahdi)[8]

Imam terakhir inilah yang terkenal dengan sebutan Imam Mahdi yang diyakini menghilang pada 260 H dan dinanti-nantikan kehadirannya kembali dalam waktu yang tidak diketahui dengan pasti. Meskipun imam terakhir ini dalam keadaan tersembunyi (ghaib/mastur), namun tetap diyakini sebagai imam yang sah sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman.[9]

1. Konsep Imamah
            Menurut keyakinan Syi’ah, Imam yang menggantikan kedudukan nabi itu merupakan kelanjutan dari kenabian. Alasan yang dikemukakan sebagai dasar keharusan adalah adanya rasul-rasul yang diutus oleh Allah guna memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk mencapai kebahagian dunia akhirat. Jika para nabi dan rasul yang ditunjuk oleh Allah, bukan dipilih oleh manusia , demikian pula imam-imam itu, dalam menduduki imamah atas pesan nabi dan imam berikutnya pun ditunjuk oleh imam sebelumnya. Dengan demikian, imamah itu merupakan hal yang mutlak ada atas ketentuan Allah juga.[10]
            Kedudukan Imam menurut Syi’ah Imamiyah sama dengan nabi setelah berakhir masa kenabian, karena itu syarat-syarat imam harus ma’shum, terpelihara dari sifat-sifat rendah dan buruk, baik yang tampak dalam perbuatan-perbuatan maupun yang tersembunyi dalam hati, sejak kanak-kanak hingga meninggalnya, baik disengaja ataupun tidak disengaja, sebagaimana juga ma’shum dari kesalahan dan lupa. Syarat-syarat yang demikian ini penting, karena imam-imam adalah penegak-penegak syara’ yang memelihara keselamatannya dari berbagai macam gangguan dan rongrongan.[11]
            Syi’ah Imamiyah berkeyakinan pula bahwa sebagaimana halnya nabi, imam harus mencerminkan tingkat tertinggi dalam sifat-sifat kesempurnaan, kemanusiaannya, seperti memiliki sifat berani, murah hati, jujur, adil, pandai mengatur, dan bijaksana.[12]
            Sebagaimana halnya Nabi memperoleh pengetahuan yang benar dari Allah dengan jalan wahyu, maka imam pun memperoleh pengetahuan yang benar dengan jalan ilham atas kekuasaan Ilahi. Imam memperoleh pengetahuan dengan perantaraan Nabi maupun imam yang mendahuluinya. Jika menghadapi hal-hal yang baru, imam akan memperoleh cara pemecahannya dengan jalan kekuatan Ilahi pula. Dengan demikian, pengetahuan imam tidak diperoleh dengan jalan argumentasi rasional, tetapi pengetahuan itu menampakkan kepada imam, ibarat bayangan yang menampakkan diri dalam cermin yang amat bersih.
            Konsep Imam menurut Syi’ah Imamiyah ini sejalan dengan konsep beberapa filosof Islam dan para sufi yang mengatakan bahwa di balik akal dan argumentasi-argumentasi masih ada lagi jalan memperoleh pengetahuan atas dasar intuisi atau kasyaf, terbukanya tabir rahasia pengetahuan yang hakiki langsung dari Tuhan.[13]
            Sesuai kedudukan imam-imam yang tak ubahnya seperti nabi, maka umat wajib taat mutlak kepada para imam. Perintah para imam adalah perintah Allah dan larangan mereka adalah larangan Allah juga. Taat kepada imam berarti taat kepada Allah dan durhaka kepada imam adalah durhaka kepada Allah, musuh-musuh para imam adalah musuh-musuh Allah. Oleh karena itu, tidak boleh orang menolak imam, sebab menolak imam berarti menolak Allah. Untuk itu orang wajib tunduk kepada imam dan mematuhi perintah-perintahnya, serta jangan mengambil hukum-hukum syara’ kecuali dari imam, karena segala urusan agama ada pada imam.[14]
            Syi’ah Imamiyah berkeyakinan bahwa imam terakhir adalah Muhammad al Mahdi dalam keadaan tidak hadir (gaib/mastur), dan ditunggu kehadirannya kembali pada umat yang hanya diketahui oleh Allah, untuk mengisi kekosongan, maka umat Islam wajib berijtihad bagi yang memenuhi syarat-syarat, karena dialah yang berkedudukan sebagai wakil imam yang gaib. Dialah yang bertindak sebagai penguasa dan kepala negara yang mutlak. Sebagai pengganti imam, mujtahid yang memenuhi syarat berwenang untuk bertindak sebagai hakim dan memegang tampuk pemerintahan. Orang yang menentangnya sama dengan menentang imam. Orang yang menentang imam sama dengan menentang Allah, dan dikatagorikan sebagai musyrik. Jelas sekali di sini bahwa mujtahid mempunyai kewenangan sebagai ‘Wakil Imam’ selama Imam mastur.[15]
            Satu hal lagi yang perlu ditambahkan di sini bahwa Syi’ah Imamiyah memandang para imam secara moderat, tidak seperti pandangannya kaum Syi’ah yang ekstrim yang memandang para imam mempunyai unsur-unsur Ketuhanan. Para imam bagi para Syi’ah Imamiyah adalah manusia biasa yang mempunyai hak seperti manusia lainnya. Hanya saja mereka termasuk hamba Allah yang dimuliakanNya dan amat dekat dengan Allah sebagai kekasihNya. Karena sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki para imam di banding dengan manusia biasa lainnya, maka mereka berhak ditunjuk sebagai imam dan pembawa petunjuk serta menjadi tempat kembali umat Islam setelah nabi, baik menyangkut penjelasan hukum syara’ maupun yang menyangkut penafsiran al Quran.[16]

2. Kitman dan Taqiyyah
            Yang dimaksud dengan Kitman ialah suatu tindakan seorang Syi’ah untuk menyembunyikan hakikat akidah yang ia percayai atau pendapat yang dijadikan pegangan maupun amal perbuatan yang dilakukan. Sehingga dengan demikian ia tidak menampakkan segala apapun kepada orang lain yang berbeda pandangan, sekalipun di dalam hatinya yang dilakukan itu tidak diyakininya, sehingga ia sama dengan orang lain menurut keadaan lahiriah semata. Orang Syi’ah berbuat demikian karena tidak ingin menampakkan diri mereka  dalam bentuk yang berlainan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang mungkin memata-matai dan mengintainya. Perilaku seperti itu di sebut dengan Taqiyyah yang boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu batas mereka.[17]
            Taqiyyah artinya takut.[18] Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 28

žw ÉÏ­Gtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ }§øŠn=sù šÆÏB «!$# Îû >äóÓx« HwÎ) br& (#qà)­Gs? óOßg÷ZÏB Zp9s)è? 3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 n<Î)ur «!$# çŽÅÁyJø9$#

Artinya :
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat membela diri dari sesuatu yang ditakuti mereka”.

Menurut riwayat qira’at yang lain di baca “illa an tattaqu minhum taqiyyatan”  tidak tuqatan.[19]

            Menurut Syi’ah, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi strategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencananya. Mereka menafsirkan perbuatan imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnya Ali atas kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan perjanjian damai antara Hasan dengan Mu’awiyyah.[20]       

3. Al Raj’ah
            Al Raj’ah adalah suatu aqidah Syi’ah: yang dimaksud ialah, bahwa manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali bersama makhluk lain seluruhnya.[21] Syi’ah melihat bahwa kembalinya beberapa orang setelah mati nanti, setelah imam Mahdi turun adalah merupakan salah satu daftar yang esensial. Mereka percaya adanya al Raj’ah berdasarkan al Qur’an  dan al Hadis. Firman Allah swt dalam QS. Ghafir ayat 11. menurut al Thust ayat ini membuktikan kebenaran al raj’ah dan kematian dua kali (At-Tibyan).[22]
            Mereka mengatakan bahwa Imam Mahdi yang hilang nanti akan kembali ke dunia untuk menciptakan keadilan di atas bumi ini dan akan memperhitungkan orang-orang yang tidak memihak dan membela Ali Ra.[23]
           
b). Syi’ah Isma’iliyah

Isma’iliyah merupakan cabang dari Syi’ah yang tergolong banyak menyimpang, terutama setelah berkembang dan menyebar pada sejumlah wilayah, seperti Yaman, Afrika Utara, India, Suriah dan lain-lain.
Kemunculannya berawal dari adanya sekelompok pengikut mazhab Syi’ah memberikan bai’at kepada Isma’il bin Ja’far setelah ayahnya (Ja’far al Shadiq) meninggal dunia pada tahun 148 H/ 765 M.[24]
Kenyataannya setelah melihat beberapa riwayat, peristiwa inilah yang kemudian menjadikannya berbeda dengan golongan Itsna ’Asyariyah dari segi imamahnya.
Menurut salah satu riwayat, bahwa Ja’far al Shadiq mengalihkan imamah dari tangan Isma’il kepada Musa al Kazim karena Isma’il terbukti sebagai pemabuk berat. Oleh karena itu tidak masuk akal kalau Ja’far al Shadiq yang dikenal ketakwaannya dan kewara’annya memberikan wasiat kepada Isma’il sekalipun anaknya sendiri.[25]
Sekalipun ada riwayat yang menjelaskan keadaan pribadi Isma’il, yang bertentangan dengan ajaran agama, bagi pengikut Ismail tetap berkeras menentang peralihan imamah tersebut ke tangan Musa al Kazim, bahkan menurutnya dikatakan bahwa Isma’il adalah orang yang ma’sum kendatipun ia dituduh punya kesenangan meminum minuman keras.[26]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa jika Isma’il telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup, dengan demikian maka imamah berpindah kepada puteranya yang bernama Muhammad bin Isma’il, bukan kepada Musa al Kazim, karena menurut mereka imamah tidak bisa berpindah kecuali secara turun temurun. Akan tetapi sebaliknya dalam riwayat yang berbeda diceritakan bahwa kematian Isma’il sesungguhnya terjadi setelah lima tahun ayahnya meninggal dunia. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Isma’il meninggal ketika ayahnya masih hidup, sesungguhnya itu adalah isu kematian sekaligus merupakan sikap taqiyyah yang dilakukan Ja’far, karena pada masa itu para khulafa sering melakukan penindasan terhadap imam-imam ahl bait.
Riwayat lain menguatkan bahwa Isma’il terlihat di kota Basrah menyembuhkan seorang yang lumpuh dengan izin Allah.[27]
Demikian beberapa riwayat yang menceritakan perihal Isma’il, imam ke tujuh menurut pandangan Isma’iliyah, namun menurut riwayat yang lebih dapat dipercaya menyebutkan bahwa Isma’il telah meninggal dunia pada 143 H di Madinah lima tahun sebelum kematian ayahnya.[28]
Berdasarkan riwayat terakhir ini, maka dapat dianalisis bahwa Isma’il memang telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Adapun tidak diterimanya Isma’il wafat oleh pengikutnya adalah karena memang dalam Syi’ah kadangkala enggan menerima kenyataan atas kematian pemimpinnya dan selalu mengatakan bahwa pemimpinnya tidak mati tetapi tinggal di suatu tempat.[29] Kalaupun Isma’il pada waktu itu benar-benar mati maka menurut pengikut Isma’iliyah, ke-Imaman dialihkan kepada puteranya yang bernama Muhammad bin Isma’il karena kepemimpinan baru dinyatakan sah kalau diteruskan oleh keturunan imam sebelumnya.
Dalam sejarah Isma’iliyah, Muhammad bin al Maktum (al Maktum berarti yang menyembunyikan diri). Menurut golongan ini, selama seorang imam belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendirikan kekuasaan maka imam tersebut perlu menyembunyikan diri, baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari persembunyiannya. Dalam persembunyiannya sang Imam memerintahkan utusan-utusannya untuk menggalang kekuatan. Oleh karena itu, beberapa imam sesudah Muhammad al Maktum selalu menyembunyikan diri sampai pada masa Ubaidillah al Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan menjadi penguasa pertama Dinasti Fatimiyah di Mesir.[30]
Golongan Isma’iliyah sering juga disebut dengan Sab’iyah atau Sab’iyyun, karena mempercayai tujuh imam. Adapun imam terakhir adalah setelah Isma’il bin Ja’far demikian pendapat yang lebih umum.[31]
Untuk lebih jelasnya, digambarkan ilustrasi semacam silsilah keturunan imam berikut ini.[32]
                                1. Ali bin Abi Thalib

2. Hasan +50 H     3. Husayn +61 H   Muhammad putera Hanafiyya

Muhammad                            Hasan     Abu Hasyim+98 H

                                                Abdullah
 

M. Ibrahim Yahya Idris

                                4. Ali Zayn al Abidin +98 H

                                5. Muhammad al Baqir +113 H            Zayd + 122H

                                6. Ja’far al Shadiq+148 H
 

7. Isma’il                                                 7. Musa al Kazim

    Muhammad                                        8. Ali Ridha + 202 H

                                                                9.Muhammad al Jawad + 220 H

                                                                10. Ali al Hadi + 254 H

                                                                11. Hasan al ‘Askari + 260 H

                                                                12. Muhammad al Muntazhar
                                                                 (yang diharapkan)

Said Ubaydillah                                      lenyap pada tahun 260 H

Al Mahdi + 322 H





Konsep Imamah dan ajarannya

            Imamah atau kepemimpinan adalah suatu tonggak keimanan Syi’ah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila konsep kepemimpinan Islam memperoleh lebih banyak perhatian pada kelompok Syi’ah dibandingkan dengan kelompok Sunni.
            Imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau ideologi politik atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan.[33]
            Dalam Syi’ah termasuk Isma’iliyah kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Bagi Isma’iliyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukkan  imam sebelumnya dan turun temurun.[34]
            Menurut mereka, imam itu adalah ma’sum, rakyat wajib mengetahuinya, membai’at dan ta’at kepadanya, taat pada imam itu bukan hanya kepada imam yang tampak saja tetapi juga kepada imam yang gaib yang pada suatu saat nanti akan kembali.[35]           
Sehubungan dengan itu pula, mereka berkeyakinan bahwa imam ketujuh akan diteruskan oleh imam-imam yang terlindungi sepanjang abad (gaib). Dalam perkembangannya pula, mereka dipengaruhi oleh Filsafat Neo Platonisme, oleh karenanya mereka percaya kepada teori emanasi. Menurutnya Nabi saw. menduduki tempat sebagai akal pertama bersama para imam dan jiwa semesta. Dengan demikian, menurutnya pula para imam mampu mena’wilkan al Qur’an meskipun jauh menyimpang dari ajaran yang sebenarnya.[36]
Kembali kepada penentuan imam, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa imam itu ditentukan dengan cara wasiat dan turun-temurun, ternyata pada perkembangan selanjutnya ketentuan tersebut mulai pudar. Hal ini dapat ditelusuri ketika Isma’iliyah tampil di masa Dinasti Fatimiyah, ini dapat dibuktikan dengan melihat kasus yang di alami Muiz Li Dinillah.
Pada awalnya Muiz Li Dinillah memberikan wasiat kepada puteranya yang berhak meneruskan tampuk kepemimpinan, yaitu Abdullah. Namun karena Abdullah meninggal dunia, wasiat itu akhirnya dialihkan kepada puteranya yang lain, yaitu al Aziz, dengan demikian jelas menyalahi dan menyimpang dari aqidah Isma’iliyah.[37]
Adapun ajaran-ajarannya adalah Isma’iliyah meyakini bahwa setiap yang zahir pasti ada yang batin atau tersembunyi, setiap ayat yang diturunkan pasti dapat dita’wilkan secara lahir dan batin. Karena itu, kelompok ini juga dinamakan Bathiniyyah.[38]
Menurut Isma’iliyah, akal manusia tidak dapat menjangkau sifat-sifat Allah. Tentang hal ini, mereka pernah mengatakan “Kami tidak mengatakan bahwa ia ada, dan tidak pula kami katakan bahwa ia tidak ada, ia tidak alim dan tidak pula jahil, tidak qadir dan tidak pula ajiz atau mampu,” Menurutnya juga, Allah adalah Tuhan yang menciptakan dua hal yang berlawanan dan hakim terhadap yang bermusuhan. Ia tidak qadim dan bukan muhdis. [39]  
Untuk mencapai kebahagiaan, menurut mereka setiap manusia harus mendapatkan ilmu, dan tidak mungkin seseorang akan mencapai ilmu yang hakiki kecuali dengan pemahaman akal secara menyeluruh. Yang dimaksud dengan pemahaman akal hanyalah Nabi dan para imam.[40]
Pada perkembangannya, para ulama Isma’illiyah senantiasa mendakwahkan keyakinan-keyakinan mereka atau ajaran-ajarannya secara sembunyi-sembunyi hingga pada masa Musta’liyah (Musta’liyah adalah sebutan lain dari Isma’illiyah yang berkembang di Mesir).[41]
Dalam menyebarkan dakwahnya, mereka senantiasa menakwilkan al Qur’an, bahkan lebih jauh lagi mereka menakwilkan bahwa al Qur’an itu sendiri yang dimaksud dengan imam. Kata Syamsun juga berarti imam, demikian juga kata Qamarun. Adapun al Thagut, al Ashnam dan al Syayathin, diartikan sebagai musuh-musuh imam.[42]
Memperhatikan ajaran-ajaran Isma’illiyah di atas, penulis dapat mengklaimnya sebagai golongan yang telah menyimpang dari akidah Islam yang sebenarnya. Konsep imamah yang mereka yakini amat diagung-agungkan sehingga tidak sedikit konsep ajarannya tergambar atau terkesan spekulatif semata. Lebih lanjut penulis mengatakan dengan mengikuti pernyataan al Thabthaba’i, bahwa Isma’illyah telah memperkenalkan adanya perubahan dan peralihan dalam ketentuan syari’at, bahkan sampai penolakan terhadap kewajiban.[43]
Sehubungan dengan pernyataan di atas, amat jelas bahwa Isma’illiyah sebagai salah satu golongan atau sempalan Syi’ah yang banyak kontroversial dengan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya.

c). Syi’ah Zaidiyah

1. Sejarah Timbul dan Perkembangannya

Syi’ah tidak mengalami perpecahan selama masa tiga imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali dan Husain. Akan tetapi, setelah terjadinya Karbala dengan menewaskan Husain tanggal 10 Muharram 68 H/687 M. Maka mulailah timbul perpecahan. Kelompok pertama berpendirian bahwa imam ke-empat adalah putera Husain yaitu Zainal Abidin al Sajjadah. Kendatipun ia belum dewasa, karena keadaan darurat sebab Ali tidak meninggalkan keturunan dari garis Nabi saw. melalui Fatimah al Zahra.
Sementara kelompok kedua percaya bahwa imam ke-empat adalah putera Ali bin Abi Thalib yang dilahirkan dari seorang perempuan dari Bani Hanafiyah. Jadi secara hereditis ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi saw. golongan ini disebut Kaisaniyah.[44]
Setelah kematian imam al Sajjadah terjadi lagi kemelut dalam tubuh Syi’ah. Kelompok pertama memilih putera al Sajjadah yang bernama Muhammad al Baqir sebagai imam ke-lima. Sementara kelompok yang kedua memilih Zaid al Syahid putera al Sajjadah yang lain yang dikenal dengan Syi’ah Zaidiyah.[45]
Dengan demikian, Syi’ah Zaidiyah adalah penisbahan kepada pendirinya Zaid ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali bin Abi Thalib. Ia lahir di Madinah tahun 80 H dan syahid tahun 132 H. Zaid di bai’at di Kufah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abd. Malik.
Dalam perjalanan sejarahnya kelompok Syi’ah ini mengalami berbagai tekanan dan provokasi dari pihak penguasa (Dinasti Umayyah). Akibat pendirian mereka yang mengharuskan berjuang untuk merebut kekuasaan. Hal ini dapat di lihat pada perjuangan demi perjuangan yang mereka lakukan seperti pada pertempuran melawan pasukan Yusuf bin Umar. Di mana pertempuran diakhiri dengan wafatnya imam Zaid oleh ganasnya pasukan pemerintah di Kudasat. Putera Zaid bernama Yahya menggantikan kedudukan ayahnya. Di Balk, ia menyusun kekuatan kemudian mengumumkan pemberontakan tapi akhirnya ia pun menemui nasib yang sama dengan ayahnya. Ia tewas dan di bakar pada tahun 125 H (masa pemerintahan Malik bin Yazid). Penggantinya Muhammad ibn Abdullah ibn Hassan ibn al Hasan (cucu Nabi saw) yang tewas di ujung pedang Isa ibn Mahan (pasukan al Mansur). Penggantinya yaitu saudaranya yang bernama Ibrahim yang juga tewas dalam sebuah pemberontakan terhadap khalifah al Mansur pada 145 H.[46]
Kekosongan pemimpin dalam aliran Zaidiyah ini sempat menimbulkan kekacauan hingga munculnya Nasir al Utrusi seorang keturunan saudara laki-laki Zaid dari Khurasan, karena dikejar-kejar oleh penguasa, maka ia lari ke Mazandaran di Tabaristan di mana penduduknya masih belum beragama Islam dan berkat usahanya, ia berhasil menarik sebagian besar penduduknya masuk Islam dan mereka menganut paham Zaidiyah. Ia dijadikan Imam Zaidiyah sampai beberapa keturunan.[47]  
 Menurut Dr. Abd. Wahid Wafi, mazhab Zaidiyah adalah mazhab terbesar di Yaman Utara. Imam-imam yang mengikuti mazhab Zaidiyah berketurunan sampai pada Yahya Hamid al Din di Yaman. Ia adalah seorang khalifah umat Islam dan diyakini sebagai keturunan Zaid. Sampai zaman ini mayoritas penduduk Yaman Utara pengikut mazhab Zaidiyah khususnya golongan terkemuka.[48]
Untuk melengkapi makalah ini, penulis merasa perlu memberikan keterangan tentang keturunan Ali bin Abi Thalib dengan menekankan para pimpinan golongan Zaidiyah sebagaimana yang tertera dalam diagram berikut :


        1.Ali bin Abi Thalib
 

2.Al Hasan                    3.Al Husain           Muhammad ibnuHanafiyah


Al Hasan       4.Ali Zainal Abidin Al Sajjadah       Ali               Ali Abu
                                                                                                            Hasyim

Abdullah al Mahdh    5.Zayd            Muhammad al Baqir           Al Hasan

7.Muhammad   8.Ibrahim    Isa     6.Yahya     Ja’far ash Shadiq      Ali

2. Konsep Imamah dan Ajaran Lainnya

            Zaidiyah  menetapkan bahwa imamah berasal dari keturunan Fatimah al Zahra dan tidak mengakui selain dari keturunan puteri Rasulullah saw. tersebut. Sehingga menimbulkan implikasi penolakan terhadap keimaman Muhammad ibn al Hanafiah.[49]
            Di samping itu menurut Zaidiyah seorang yang ingin menduduki jabatan imam harus berjuang untuk mendapatkan jabatan tersebut. Karena itu golongan ini mengecam keras imam yang pasif tanpa ada perjuangan. Menanti dukungan bukanlah suatu sikap yang pantas bagi seseorang yang menyatakan dirinya berhak menduduki jabatan imam. Itulah sebabnya Zaid menolak hak Muhammad al Baqir dan hak ayahnya sebagai imam. Zaidiyah memperbolehkan semua keturunan Fatimah baik dari Hasan maupun Husain dengan syarat berilmu, bertaqwa, ringan tangan, berani dan berkampanye serta berjuang untuk mendapatkan ke-imamannya itu.[50]
            Mengenai kedudukan Ali bin Abi Thalib dan para khalifah sebelumnya, Zaid berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Rasulullah saw yang terbaik, akan tetapi khalifah diserahkan kepada Abu Bakar demi kemaslahatan umat.
            Di dukung oleh pemikiran yang rasional dan moderat sebagaimana dalam ungkapan di atas, maka wajar golongan ini tidak mengklaim kafir terhadap khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman yang sering disebut perampas hak Ali sebagaimana paham sekte-sekte Syi’ah lainnya. Menurut Zaidiyah kekhalifahan mereka itu sah. Karena mereka di angkat oleh kesepakatan umat dalam waktu dan kondisi yang memerlukan kepemimpinan mereka. Hal ini sesuai dengan konsep imamah Zaidiyah yang mengakui adanya khalifah yang utama sekalipun ada yang lebih utama.
            Pengakuan Zaidiyah tentang sahnya khalifah selain Ali bin Abi Thalib mendapat reaksi keras dari Kufah karena mereka tetap tidak mengakui khalifah selain Ali bin Abi Thalib, golongan ini sangat menentang pendapat Zaid tersebut dan menolaknya. Golongan ini dinamai Rafidhah (golongan yang menolak).[51]
            Sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Zaid untuk jadi imam, maka ia sendiri memenuhi persyaratan tersebut. Ia berusaha untuk menjadi orang alim, berpengetahuan luas, memiliki kepribadian. Zaid sama sekali menolak adanya yang ma’sum dan menurutnya tidak ada imam dalam kegelapan dan tersembunyi yang diliputi oleh misteri. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Zaid tidak mengaku imam Mahdi yang misteri dan jauh dari logika Zaid, sebagaimana pendapat sekte Kaisaniyah.
            Ada kemungkinan pemikiran rasional Zaid tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Washil bin ‘Atho salah seorang gurunya dalam memahami obsesinya untuk mendalami dan menuntut ilmu pengetahuan. Dari sinilah Zaid dapat menyerap beberapa konsep dalam ilmu Kalam dan Zaid sendiri memberi keleluasaan berijtihad kepada pengikutnya. Karenanya tidak heran dari golongan ini lahir pada mujtahid di bidang al Fiqh seperti Hasan bin Zaid bin Muhammad Ibnu Isma’il A. Qasim bin Ibrahim al ‘Alaqi.[52]
            Di samping paham-paham di atas. Zaidiyah juga menolak konsep taqiyah yaitu sikap kehati-hatian atau menyembunyikan identitas dan tidak terus terang di depan lawan. Juga menolak paham ismah yaitu keyakinan bahwa para imam dijamin oleh Allah swt dari bentuk salah, lupa dan dosa. Juga tentang paham istitar atau ikhtifa’ yaitu imam ketika dalam keadaan lemah mesti merahasiakan identitas diri.[53]
            Mencermati paham-paham Zaidiyah tersebut di atas maka nampak semua doktrin Syi’ah Zaidiyah bertolak belakang dari Syi’ah lainnya kecuali dalam hal Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang mulia dan juga memiliki hak setelah Rasulullah saw.
           
d). Syi’ah Ghulat 

1.      Sejarah Syi’ah Ghulat
Di penghujung pemerintahan khalifah Usman (644-656 H), gerakan-gerakan Syi’ah mulai tampil ke permukaan dan menjadi suatu gerakan yang kuat. Dalam situasi yang tidak menentu, ditambah lagi tersebarnya fitnah ke khalifah Usman, tiba-tiba muncul sosok pria masuk Islam bernama Abdullah bin Saba.[54] Dengan mencermati kondisi seperti itu, memicu Abdullah bin Saba’ untuk melahirkan gagasan-gagasannya yang bisa dijadikan dasar dalam rangka menarik perhatian masyarakat Islam saat itu.
Abdullah bin Saba’ menindak lanjuti gagasan-gagasannya dengan berlindung di balik kebesaran Islam, kemudian mengambil dua langkah penting dengan dua sasaran pokok :
1)     Mengorganisir kaum oposisi dengan slogan mencintai serta mendukung ahl al bait dengan tujuan terciptanya simpati dari kaum muslimin
2)     Mengadakan asimilasi pendapat dan filsafat dalam alam pikiran Syi’ah, membuat riwayat-riwayat, hadis-hadis serta menaburkan benih-benih pikiran sesat kemudian di anggap sebagai pandangan Syi’ah.[55]
Keuletan Abdullah bin Saba’ di dalam mengaktualkan langkah-langkahnya membawa hasil, pengaruhnya meluas di kalangan kaum muslimin. Pada perkembangan sejarahnya beliau tercatat sebagai peletak batu pertama paham Saba’iyah yang dikenal dengan mazhab Syi’ah ekstrim (Ghulat). Keekstrimannya dapat dipahami ketika dialog Ali dengan Abdullah bin Saba’. Abdullah bin Saba’ berkata kepada Ali : anta-anta yaitu anta Allah. Maksudnya kata-kata ini ; engkaulah (sayyidina Ali sesungguhnya bersifat Tuhan). Mendengar kata-kata tersebut Ali tersentak dan marah, kemudian Abdullah bin Saba’ diasingkan ke Madain.[56]
            Agaknya Syi’ah Ghulat ekstrim terlalu berlebihan menempatkan seseorang pada posisi yang tidak semestinya. Hal ini dapat dipahami ketika mengangkat Ali ke derajat kenabian dan ke derajat ketuhanan, bahkan menjadikan Ali lebih tinggi dari Nabi Muhammad saw.[57]
            Terlepas dari golongan, apakah ia penganut Sunni atau Syi’ah sekalipun, maka pernyataan tersebut telah menyimpang dari akidah yang sebenarnya. Sebab bagaimana ekstrimnya seseorang dalam mengungkapkan rasa cinta atau dukungannya terhadap seseorang tidak mungkin menempatkannya di atas kenabian, terlebih lagi menempatkannya ke derajat ketuhanan. Sebab, di satu sisi bertentangan dengan kaidah kalamiyah. Pada sisi lain telah meruntuhkan akidah yang tersusun rapi.
            Senada dengan hal di atas, Sayyidina Ali berkata : “Akan binasa siapa yang melampaui batas dalam mencintaiku”.[58] Kalimat ini memberikan isyarat larangan pemujaan terhadap diri Sayyidina Ali Ra.
            Selanjutnya, Syi’ah Ghulat sebetulnya tidak layak disebut sebagai Syi’ah atau dengan kata lain mereka tidak punya kewenangan untuk memakai kata Syi’ah bahkan lebih tegas lagi, mereka dinilai telah keluar dari Islam itu sendiri.[59]
            Pada perkembangan selanjutnya, Syi’ah Ghulat terpecah beberapa golongan. Al Syahrastani membagi Syi’ah Ghulat ke dalam 11 golongan  yaitu : 1. al Saba’iyah, 2. al Kamiliyah, 3. al Ba’iah, 4. al             Mughiriyah, 5. al Mansuriyah, 6. al Khatatabiyah, 7. al Kayaliyah, 8. al Hisyamiyah. 9. al Nu’miyah, 10. al Yunisiyah dan 11. al Nusairiyah.[60]
            Syi’ah Ghulat dalam perkembangannya termasuk golongan kecil. Dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa, setelah kaum muslimin memahami berbagai macam kesesatan Syi’ah Ghulat secara terpaksa atau tidak mereka tinggalkan sekte ini dan akhirnya banyak yang berakhir riwayat hidupnya dan hanya mempunyai pengikut sedikit sekali.[61]

2.      Konsep Imamah
Konsep imamah adalah merupakan salah satu ajaran yang paling banyak dibicarakan pada golongan Syi’ah.[62] Dalam ajaran Syi’ah dikemukakan bahwa keberadaan imam itu adalah wajib dan merupakan keharusan agama bahkan dipertegas bahwa dunia akan hancur tanpa adanya imam.[63]
Penganut Syi’ah berpaham bahwa konsep imamah melalui tiga aspek: 1. Pemberi petunjuk., 2. Pemimpin Umat dan 3. Pengganti kedudukan Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam.[64] Tampaknya bagi penganut Syi’ah berkeyakinan bahwa masyarakat Islam sangat membutuhkan ketiga aspek tersebut. Karenanya kehadiran seorang imam di tengah-tengah mereka merupakan suatu hal yang sangat penting. Dan persoalan ini tidak hanya bermakna dunia, melainkan juga spiritual.
Dengan berpijak pada tiga aspek tersebut ditambah dengan makna spiritual, maka yang berhak menjadi imam setelah Nabi Muhammad wafat adalah Ali. Ali adalah penerima wasiat dari Nabi yang diberikan berdasarkan nash. Oleh sebab itu tidak dapat diganggu gugat. Ketaatan terhadapnya dan anak keturunannya dituntut mutlak sebab sama dengan taat kepada Nabi dan perintah Tuhan.[65]
Syi’ah Ghulat dikenal terlalu berlebihan terhadap hak-hak keimamahan sehingga mengantarkannya ke luar batas-batas makhluk dan menghukumkan hukum-hukum ketuhanan dan terkadang menyerupakan imam dengan Tuhan atau Tuhan dengan makhluk.[66]
Akibat dari konsep-konsep ketuhanan tersebut, al Mansuriyah juga tergiring untuk berpendapat bahwa Ali adalah potongan yang turun dari langit dan yang turun dari langit adalah Tuhan.[67] Dalam pemahaman mereka bahwa ruhnya Ali terus menerus menjelma dari imam ke imam sampai ke imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. Menurut Q.S. Hudgson bahwa penjelmaan atau metempsikosis adalah sama dengan yang dianut oleh orang-orang Tibet terhadap Dalai lamanya.[68]
Dalam konteks imamah, Abdullah bin Saba’ (tokoh al Saba’iyah) menyatakan bahwa jabatan kekhalifahan sebenarnya adalah milik Ali. Oleh karena itu, orang-orang yang menduduki jabatan kekhalifahan sebelum Ali telah bertindak merampas jabatan dengan nyata. Dan barang siapa yang memberikan bai’atnya atas dasar itu, maka ia zalim dan sesat. Dan sekaligus tindakan itu telah menghalangi atau mencegah imam yang benar (Sayyidina Ali) memperoleh haknya.[69] 
Menurut al Kamiliyah (kelompok Ali Kamal) bahwa imamah yaitu cahaya yang berpindah-pindah dari seseorang kepada orang lain. Apabila cahaya tersebut pada diri seseorang maka ada kalangan berbentuk kenabian dan pada orang lain hanya berbentuk imamah. Dan imamah itu sendiri dapat berganti kenabian. [70] Kepercayaan seperti ini di dasarkan atas tanasub, yaitu bahwa ruh dapat berganti badan. Mereka yakin bahwa ruh Tuhan pada awalnya berada pada tubuh Adam kemudian berpindah ke tubuh anaknya dan seterusnya.[71]
Menurut al Khattabiyah (menurut Abi al Khattab, Muhammad bin Ali al As‘adi al Ajdar) bahwa imam-imam adalah nabi-nabi kemudian Tuhan. Ketuhanan itu adalah cahaya yang ada pada kenabian dan cahaya kenabian ada pada imamah. Konsep ini memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam hal imamah terkandung unsur-unsur ketuhanan.
Dalam pandangan Ba’iyah (kelompok al Ba’ bin Dira’i al Dausi) bahwa Ali sesungguhnya lebih utama dari Nabi Muhammad saw. Dan mereka mendakwahkan yang diutus sebenarnya Ali bukan Nabi Muhammad saw. demikian juga Ali dipersamakan dengan Tuhan. Bahkan golongan ini mencaci  Nabi Muhammad dan mengatakan bahwa Muhammad di utus untuk menyampaikan kepada Ali tetapi dia menyeru untuk dirinya sendiri.[72] 
Apabila konsep Al Ba’iyah didekati dengan barometer akidah maka dapat dinyatakan hal itu terlalu jauh menyimpang. Bahkan telah meruntuhkan akidah yang tertanam kokoh di hati setiap muslim, terlebih lagi pada konsepnya yang memuliakan Ali daripada Nabi Muhammad dan mempersamakan Ali dengan Tuhan. Sekali lagi, konsep ini terlalu jauh penyimpangannya dari akidah yang sesungguhnya.
Berpijak pada uraian tersebut dapat dipahami bahwa imamah mengandung unsur ketuhanan. Dan unsur-unsur ketuhanan itu dapat berpindah-pindah baik kepada Nabi bahkan imam-imam lainnya. Dengan demikian dalam pandangan mereka Ali adalah Tuhan  yang selalu mejelma dalam diri setiap imam sampai ke imam Mahdi.

3.      Ajaran-ajaran Lainnya
Syi’ah Ghulat menyerupakan Tuhan dengan makhluknya. Kepercayaan seperti ini dipengaruhi oleh ajaran inkarnasi, reinkarnasi, penjelmaan Tuhan serta ruh Tuhan bertempat pada seseorang. Kepercayaan tersebut adalah warisan dari ajaran orang-orang Yahudi, Nashrani, Brahma dan Majusi sebelum Islam. Dengan konsepnya, kenabian dan kerasulan tidak terputus selama-lamanya. Dan juga mengatakan bahwa unsur ketuhanan dan kemanusiaan telah bersatu dalam pribadi imam.[73]
Al Mughiriyah berpandangan bahwa Tuhan mempunyai bentuk dan anggota badan seperti seorang laki-laki yang di atas kepalanya ada mahkota cahaya. Di samping itu, al Mughirah berkata ia adalah Nabi dan juga menghalalkan yang haram. Adapun al Mansuriyat (pengikut al Mansur) meyakini bahwa imam setelah Abu Ja’far Muhammad bin Ali al Baqir ialah Abu Mansur itu sendiri. Ia berpendapat bahwa keluarga Nabi Muhammad saw. berada di langit dan pengikut-pengikutnya (Syi’ah) berada di bumi dan ia adalah bagian dari al Kisf dari Bani Hasyim yang jatuh ke bumi.[74]
Dikatakan juga Ali adalah sekeping (al kisf) yang jatuh dari langit dan ada kalanya al kisf yang jatuh dari langit itu adalah Allah.[75]
Dalam ajaran yang lain, Abu al Manshur menyatakan bahwa rasul-rasul Allah tidak terputus selama-lamanya dan orang yang pertama diciptakan ialah Isa kemudian Ali. Di samping itu, ia juga menghalalkan perempuan-perempuan dan orang-orang yang haram dikawini (al Muharim) dan perempuan-perempuan tersebut halal untuk sahabatnya. Demikian juga, ia menghalalkan darah, daging babi, khamr, judi dan yang lainnya yang termasuk katagori haram.[76]
            Adapun al Khattabiyah beranggapan bahwa dunia ini tidak akan fana’. Sesungguhnya surga adalah keadaan manusia mendapatkan kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Sedangkan neraka adalah keadaan manusia mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka juga menghalalkan khamr, zina, dan yang lainnya.[77]
            Demikian juga dengan kematian, al Khattabiyah menjelaskan bahwa manusia telah sempurna tidaklah dia dikatakan mati, tetapi apabila telah sampai akhir hidupnya dikatakan kepadanya untuk kembali ke malaikat dan mereka.... bagi orang yang telah jelas kematiannya.[78]   
               Inilah ajaran-ajaran yang terdapat di dalam kelompok Syi’ah Ghulat. Pada dasarnya ajaran-ajaran tersebut berbeda dan sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Syi’ah itu sendiri.



KESIMPULAN

1.      Di dalam penjelasan sejarahnya Syi’ah terpecah menjadi : al Kaisaniyah, al Zaidiyah, al Imamiyah dan al Ghaliyah (Ghulat)
2.      Perkembangan Syi’ah Ghulat bertolak dari ajaran yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan konsep ajarannya telah menyimpang dari aqidah Islam. Ali misalnya; bukan hanya dianggap sebagai imam, tetapi Ali diyakini sebagai Tuhan.
3.      Ajaran-ajaran dan imam-imam mereka memiliki unsur ketuhanan. Pernyataan Tuhan dengan makhluk banyak dipengaruhi oleh kepercayaan inkarnasi.


2.      Latihan-latihan

      Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1)     Jelaskan asal usul Syi’ah
2)     Jelaskan pandangan Syi’ah Imamiyah tentang imam
3)     Jelaskan pandangan Syi’ah Imamiyah tentang taqiyah
4)     Jelaskan pandangan Syi’ah Isma’iliyah tentang imam
5)     Jelaskan ajaran-ajaran Syi’ah Isma’iliyah
6)     Jelaskan sejarah munculnya Syi’ah Zaidiyah
7)     Jelaskan pandangannya tentang Imamah
8)     Jelaskan sejarah munculnya Syi’ah Ghulat
9)     Jelaskan tentang ajaran-ajarannya.

3.      Rangkuman

            Syi’ah adalah suatu kelompok pendukung Ahl al Bait atau keluarga Rasulullah saw. Secara resmi keberadaannya setelah perang Shiffin, mereka terpecah dalam berbagai golongan karena perbedaan pandangan dalam masalah imam. Meskipun demikian, sepakat menyatakan bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah sesudah Rasulullah saw wafat adalah Ali bin Abi Thalib, sehingga mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, bahkan ada yang sangat ekstrim yang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan memandang Ali lebih berhak mendapatkan wahyu daripada Muhammad Rasulullah saw.
            Imam harus ma’shum terpelihara dari dosa sejak dari kecil dan harus ditaati Secara mutlak, karena kedudukannya sama dengan Nabi setelah berakhir masa kenabian. Ia juga mendapatkan ilmu secara Ilham, sehingga dapat dijadikan sumber hukum.

4.      Tes Sumatif

1)     Jelaskan asal usul Syi’ah
2)     Jelaskan perbedaan pandangan masing-masing golongan Syi’ah tentang Imam
3)     Jelaskan ajaran-ajaran Syi’ah

5.      Kunci Jawaban

1)     Perang Shiffin
2)     Itsna ‘ Asyariyah, Saba’iyah, Zaidiyah dan Ghulat
3)     Taqiyah



[1] Abd. Mun’am, Sejarah dan dokumen-dokumen Syi’ah, h. 35.
[2] Abdul Amal ML, al Taurah ‘Ala Al Islam, diterjemahkan oleh Shaleh Mahfuz dengan judul Gerakan Mengguncang Islam., h. 66. Selanjutnya bandingkan dengan Allamah M.H Thaba Thaba’i ., op cit.., h. 40.
[3] Mustafa Mahmud, al Syak’ah Islam bi laa Mazhab diterjemahkan oleh Am Basalamah dengan judul Islam tidak bermazhab., h. 133. Bandingkan dengan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam., h. 5.
[4] Fuad Muhammad Fahruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam., h. 30. Bandingkan dengan Dewan Redaksi Islam., Ibid.
[5] Ibrahim Madkoer, Fi Al Falsafah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyuni Asmon dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam., h. 88. Selanjutnya bandingkan Abd Halim Mahmud, al Tafkir al Falsafi Fi al Islam,., h. 166-169.
[6] Sejarah dan Kebudayaan., h. 377.
[7] Gerakan Yang Mengguncang Dunia Islam., h. 66. Selanjutnya bandingkan dengan Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan., h. 4-5.
[8] Ihsan Ilahi Zakir.., op. cit., h. 269. Lihat Haduson, The Candidates of Primitive Shi’ah., h.261.
[9] Dokumen Syi’ah ., h. 71. Baca Ahmad Amin, Dhuha Islam, III, h. 218.
[10] Mustafa al Sya’keh, Islam bi laa Mazahib, , h. 170. lihat juga Salihum A. Nasir, Pengantar Ilmu Qalam., h. 78-80. Bandingkan dengan Ali Sya’riati, Al Umamah Wa al Imamah; terj. Afif Muhammah Ummah dan Imamah., h. 83. 
[11] Lihat Fajru al Islam., h.271, baca Dhuha al Islam III., h. 220.
[12] Dhuha al Islam, III., h. 220-221. Baca Husein Nashr, Shi’ite Islam., h. 185-186.

[13] Thaba thaba’i, Tafsir al Mizan, Juz I , Mengupas ayat-ayat Kepemimpinan, Bag. I terj Syamsuri Rifa’I , h. 19 dan 21.
[14] Dhuha al Islam, III. H. 214-215, Baca Ibid., h. 87, Tafsir al Baqarah ayat 124 tentang Imamah : Al Nisaa ayat 59 tentang Ulil Amri.
[15] Dokumen Syi’ah ., h. 71.
[16] Ihsan Ilahi Zakir, op. cit., h. 380. Lihat Thabathaba’i., op cit., h. 77-78.

[17] Dokumen Syi’ah, op cit., h. 132.
[18] Sahilan A. Nasir., op cit., h. 84.
[19] Ibid., h. 85.
[20] Ibid., Baca Dokumen Syi’ah, op cit., h.142-143. 

[21] Dokumen Syi’ah., op cit., h. 146.
[22] Ibid., h. 147. 
[23] Ibid., h. 149.     
[24] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam., h. 323.

[25] Djohan Effendi, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, h. 83.
[26] Mustafa al Sya’keh, Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh AM. Basalamah dengan judul, Islam Tidak Bermazhab., h. 196. 
[27] Al Milal Wa al Nihal., h.197.
[28] Islam Tidak Bermazhab. op cit., h.197.
[29] Ibid., h.153.
[30] Islam Syiah Asal usul…,op cit., h. 9.
[31] AR Gibb dan J.H Kramera, Shorter Encyclopedia of Islam., h. 179.

[32] Islam Tak Bermazhab ., h. 155.
[33] Islam Syi’ah Asal…, op cit., h. 199.
[34] Ahmad Amin, Dhuha Islam, h. 212.
[35] Al Milal…, op cit.,h. 192.
[36] Islam Tak Bermazhab., op cit., h. 203.

[37] Pemikiran Kalam dalam Islam., h. 80. 
[38] Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsir wa al Mufassirun, Juz II., h. 9.
[39] Al Milal.., op cit., h. 192-193.
[40] Islam Tak Bermazhab., op cit., h. 211.
[41] Ibid., h. 215.
[42] Ibid.
[43] Islam Syi’ah Asal…, op cit., h. 89

[44] Mac Donald, Development of Muslim Teologi., h. 3.
[45] Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara, Sejarah dan Pemikiran., h. 212.

[46] Al Milal wa Al Nihal., h. 156.
[47] Nuruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dan Perspektif Sejarah., h. 10.
[48] Perkembangan Mazhab dalam Islam., h. 29.
[49] Ensiklopedia Islam., h. 8.
[50] Al Milal wa Al Nihal., h. 154-155.

[51] Ibid. 
[52] Fajr al Islam., h. 276.

[53] Ibid.
[54] Abdullah bin Saba’ diduga keras berasal dari kelompok pendeta Yahudi yang sengaja masuk Islam untuk memasukkan pikiran-pikiran Yahudinya, dengan tujuan menghancurkan umat Islam dari dalam. Lihat Abdul Mun’im al Namr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah, h. 50.

[55] Ilmu Kalam., h. 90.
[56] Al Milal Wa Al Nihal., h. 174.
[57] Tarikh al Mazahib., h. 41. 
[58] Isu-isu penting Ikhtilaf Sunni Syi’ah., h. 58.

[59] Sejarah dan Kebudayaan Islam., h. 129.
[60] Al Milal Wa Al Nihal., h. 66-86.
[61] Sejarah dan Kebudayaan.., h. 129.
[62] Dhuha al Islam., h. 212.
[63] Syi’ah dan Khawarij., h. 5.
[64] Shi’te Islam., h. 173.
[65] Syi’ah dan Khawarij., h. 8.
[66] Al Milal wa Al Nihal., h. 123.
[67] Fajr al Islam., h. 271.
[68] Lihat Marshal Q.S Hudgson, The Order of Assasin., h. 8.
[69] Khilafah dan Kerajaan., h. 274.
[70] Al Milal wa Al Nihal., h. 174-175.
[71] Hakikat Aqidah Syi’ah., h. 6.
[72] Al Milal Wa Al Nihal., loc cit.

[73] Lihat Ahmad Amin., op cit., h. 227.
[74] Lihat Abu Hasan al ‘Asyari. op cit., h. 75.  
[75] Lihat Al Syahrastani., op cit., h. 179.
[76] Lihat Al ‘Asyari., op cit., h. 75. 
[77] Lihat Al Syahrastani., loc cit. Lihat juga Al ‘Asy’ari., op cit., h. 77
[78] Lihat Al Syahrastani., Ibid., h. 9.
0 Responses

Post a Comment