Transendent

1.Prolog

Pengalaman manusia yang dipahami dalam kaiatannya tentang yang suci, ilahi, kudus dan sakral melahirkan tingkatan dan nilai yang berbeda secara evolutif. Jenis pengalaman ini adalah klaim kepercayaan yang biasanya melembaga dan tentu saja hal ini menjadi fakta evolusi, bagi sebagian ahli agama yang hingga sekarang tidak mudah dibantah, bahwa kepercayaan manusia tentang yang sakral telah berjalan melalui proses perkembangan ide-ide ketuhanan dengan sangat sistemis.
 Tetapi apakah tesis mengenai perkembangan ide–ide manusia tentang tuhan berjalan secarah evolusi-sistemis, seperti yang umum diketahui? Menurut Hans Khun, agama (ide-ide tentang paham ketuhanan), telah tumbuh dalam keseluruhan format yang tidak sistemis.[1] Mungkin apa yang dimaksudkan oleh Hans Khun, mengenai tesis ini adalah teori-teori fase kepercayaan manusia yang terlanjur sistemis dengan urutan sejarah yang bermula dari dinamisme lalu memuncak ke monoteisme. Bagaimanapun skema ini adalah sejarah evolusi-sistemis, ide-ide ketuhanan yang populer dan mainstream hingga abad ke-20 di Eropa.
Keterlanjuran analisis sejarah Tuhan yang bergerak dari akar dinamisme primitif telah mengabaikan konsensus-konsensus agama-agama tunggal yang sangat mempercayai monoteisme absolut sebagai hal yang primordial. Seorang antropolog, Wilhelm Schmidt mengemukakan perkembangan ide ketuhanan yang dia tuangkan dalam dua belas volume tentang asal-usul agama. Wilhelm meyakini bahwa,  kepercayaan yang paling tua (pertama), bukanlah animisme, pra-animisme atau totenisme, melainkan monoteisme primitif (yang sederhana).[2] 
Dengan demikian perkembangan ide dan paham ketuhanan dapat didiskusikan dalam dua pendekatan yang berbeda. Pendekatakan pertama adalah postulat agama sebagai sejarah evolusi kepercayaan manusia yang memilih tingkatan-tingkatan sistemis yang bermula dari dinamisme, animisme, hingga memuncak pada monoteisme obsolut. Pendekatan kedua adalah anilisis  perkembangan ide ketuhanan (agama) yang dipahami tidak sebagai sebuah postulat yang bergerak tersusun berdasarkan tingkatan dari hal yang primitif menuju pada situasi yang positif (posistivisme). Kedua cara ini memiliki implikasi yang berbeda. Cara pandang pertama, diniscayakan akan mengacaukan konsensus monoteisme agama-agama primordial. Cara pandang kedua menghadirkan kemungkinan luas pada analisis perkembangan ide-ide tentang tuhan, keluar dari analisis populer tentang monoteisme yang hegeomoni terhadap yang selainnya.

2.Perkembangan Ide-Ide dan Paham Ketuhanan dalam Paradigma  Evolutif

Paradigma evolutif perkembangan ide dan paham ketuhanan manusia, pada awalnya termuat dalam perbincangan filsafat sosial yang sangat populer dari abad 17 hingga abad 20 di Eropa. Pertama kali paradigma ini dikembangkan oleh para sosialog abad pencerahan (modern), seperti misalnya Aguste Comte, Durkheim dll. Para sosiolog ini menyakini perkembangan manusia berdasarkan tahapan-tahapan tertentu yang memiliki dampak perubahan-perubahan pada kondisi sosial dan individual manusia. Perubahan ini digambarkan akan memuncak pada situasi positifisme ketika manusia berhasil menyingkap tirai-tirai metafisik menuju dunia fisik (ilmu pengetahuan) yang pasti.
Menurut Comte manusia telah mengalami tiga tahap perkembangan sejarah. Pertama, tahap teologis saat gejala alam dipahami sebagai kejadian langsung kekuatan Tuhan. Kedua, tahap metafisis. Pada tahap ini kekuatan ilahi yang personal telah tergantikan berbagai fenomena yang dikaitkan pada subtansi tidak nampak atau prinsip-prinsip metafisika seperti kodrat, kuasa absolut yang tersembunyi dibalik segala sesuatu sebagai watak-watak maujud. Dan sebagai metodologinya adalah argumentasi rasional, bukan khayalan, sedangkan observasi memiliki kedudukan kedua. Ketiga, adalah tahap positivis ilmiah. Pada tahap ini manusia memusatkan perhatiannya untuk mengetahui fenomena-fenomena alam luar, dan mulai berkonsentrasi pada observasi, pengukuran dan kalkulasi untuk menemukan hukum-hukum dasar jagat raya, sehingga dalam dalam tahap positif-ilmiah pertanyaan dasarnya adalah bagaimana sesuatu dapat terjadi, bukan pertanyaan mengapa.[3]  
Hukum Comte ini kemudian sangat populer dan banyak dipakai sebagai pisau analisis sosial dan tahapan perkembangan masyarakat agama. Harun nasution misalnya, melihat perkembangan ide paham ketuhanan manusia bermula dari tahapan fase dinamisme,[4] animisme,[5]  dan polyteisme, henoisme hingga monoteisme sebagai fase puncak yang dalam teori Comte dia meyebutnya fase metafisika. Analisis yang sama dikumukakan oleh Nurchalis Madjid bahwa proses demitologi agama dimulai dari pengkudusan simbol-simbol tertentu dikalangan masyarakat primitif dengan mitos tertentu, sebelum pesan langit datang meluruskan mitos tersebut (demitologi). Agama dalam hal ini telah melakukan desakralisasi fundamen, terhadap kekuatan alam yang dominan, terhadap kekuatan alam yang dinamis, terhadap kekuatan banyak dewa, terhadap kuasa dewa atas dewa lainnya.
Tesis demikian membuktikan dirinya benar adanya, kemudian kian menjadi jelas bahwa tidak ada teori degenarasi dari permulaan monoteisme yang lebih tinggi  yang bisa disubtansikan dalam kerangka definitif. Kebanyakan teori landasan permulaan ide dan paham ketuhanan disandarkan pada paradigma salah menjadi benar atau dari yang primitif menuju yang modern. Secara saintifik situasi kesulitan membuktikan ide paham ketuhanan monoteistik, menjadikan orang seperti Sigmund, kian meyakini bahwa sumber-sumber dasar ketuhanan sebagai manifestasi historis agama, secara rasional tidak mungkin tercapai. Masyarakat kontemporer bukanlah masyarakat primitif dan sejauh mana ide ketuhanan diamati, tidak akan mampu melampaui konsensus dasar historis manusia yang bermula dari kejahilan.
Fakta ide dan paham ketuhanan kontemporer sering tidak memuat bagian penting dari  gagasan primordialisme agama-agama. Meskipun pembahasannya juga sering menyinggung bagian penting tentang kepercayaan agama-agama primitif yang menjangkau kamunitas-komunitas politeisme awal, misalnya kaum kepercayaan orang-orang Polinesia.[6] Pendekatan normatif mengenai fundamen ide ketuhanan dan tahapan perkembangannya dapat dimengerti berdasarkan manuskrip-manuskrip kitab suci. Meskipun cara ini sangat skripturalis tetap penting dijadikan sebagai analisis dasar, misalnya sejak kapan manusia percaya adanya Tuhan? Tentang dunia metafisik? Tentang kekuatan-kekuatan gaib? Dan pertanyaan metafisika lainnya. Pendekatan ini, dianggap kurang ilmiah karena faktanya adalah fakta kitab suci yang dapat dianggap sebagai fakta mitos yang sangat fides.
Perkembangan ide dan paham ketuhanan tidak hanya berhenti dari hukum Comte saja, tetapi implikasinya terus berlanjut dan secara keseluruhan hal yang sangat penting dalam melihat masalah ini adalah perkembangan ide dan paham ketuhanan kaitannya dengan perkembangan dunia Eropa masa modern.  Ide dan paham tentang Tuhan mengalami dinamisasi yang luar biasa di masa transisi Eropa menuju babak modern dan yang menjadi fokus kajiannya adalah problem antara fides dan dunia fisika (ilmu pengetahuan).
A.           Masa transisi hingga posmodernisme
Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima gejala transisi Eropa gelap menuju Eropa Modern.  Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja. Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science). Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.[7] Hal yang paling dicermati pada masa itu adalah situasi reinterpretasi terhadap doktrin agama, khususnya agama Kristen yang bergesekan langsung dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Situasi ini penjadi penting sebagai babakan baru perkembangan ide dan paham ketuhanan yang kelak melahirkan ilmu pengetahuan vis a vis agama dengan ragam paradigma di mana kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.[8]
1.        Ide dan paham tuhan dalam Rasionalisme
            Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung Descartes muncul untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Descartes melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti. Dalam hal ini, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dan Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis Universal.[9] Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.           
Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekuensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.[10]   
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan padang pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri.
            Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia, dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Tuhan yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif.[11] Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
             Epistemologi rasionalitas-cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.[12] Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu menjadikan tuhan sebagai transendent murni. Hingga demikian konsepsi ide dan paham ketuhanan dalam pandangan ini terbatas pada ranah innatea, tuhan sebagai kesemestian metafisika berhenti pada ranah tak pasti, apakah manusia wajib meyembah tuhan, itu bukan masalah, sebab yang menjadi daya dobrak rasionalisme adalah ilmu pengetahuan fisik.
2.        Ide dan paham Tuhan dalan Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud  meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak memberi hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini didesain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding (1690 M)”. John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi.[13] Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain.[14] ide  yang  timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam karakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset  sehingga tidak terjamin kebenarannya.[15] Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang meta fisik (Tuhan) dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang alam metafisik dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut metawujud. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dan kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meski pun metode Locke mengakui ide tentang alam metafisik (Tuhan) namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meski pun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.  
3.       Ide dan Paham Tuhan dalam Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804).[16] Dalam sebuah pengakuannya Kant menyatakan bahwa Hume telah membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya.[17] Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.[18]  
Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandamngan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakikat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.[19] Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada di luar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari  noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.[20]
Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan keputusan sintesis.[21] Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori.[22] Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.  
Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan perasaan.
4.       Ide dan Paham Tuhan dalam Positivisme
Positivisme lahir sebagai bagian penting epistemologi modern. Cara berpikir ini dimulai di Prancis oleh seorang yang bernama Aguste Comte (1798-1857).[23] Epistemologi ini adalah bentuk evolutif dari epistemologi yang sebelumnya berkembang di Inggris yaitu empirisme. Positivisme adalah empirisme yang membatasi dirinya pada panca indera.
Positivisme mengembangkan klaim empirisme tentang pengetahuan secara ekstrim dengan menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif. Menurut positivisme, filsafat bertugas menemukan prinsip ilmu pengetahuan sebagai pemandu prilaku umat manusia sekaligus mengatur kehidupan sosial masyarakat.[24] Hal ini berarti masyarakat dipandang layaknya alam yang terpisah dari subyek peneliti dan bekerja dengan hukum-hukum determinisme.
Positivisme yang dipopulerkan oleh Aguste Comte akhirnya mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an yang kemudian menjadi filsafat ilmu pengetahuan yang benar, yaitu; pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spiritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.[25]  
Positivisme dapat juga dianggap sebagai realisme naif, yaitu dunia yang  ketahui berada terlepas dari pengetahuan manusia terhadapnya. Manusia mengetahui, sama sekali tidak dianggap sebagai aktor, tetapi seperti robot yang tidak berhasrat sedikitpin, sehingga apapun yang dilaporkannya adalah relaitas tanpa ada pengaruh dari kondisi subyektif, oleh karena itu apapun yang bersikap subyektif, seperti pengalaman spiritual, ide tentang tuhan, etika, keindahan akan ditolak oleh positivisme.
Dominasi positivisme sebagai epistemologi pengetahuan terus melancarkan pengaruhnya hingga menjadi filsafat ilmu pengetahuan yang dominan. Sekitar tahun 20-an tepatnya di Wina, Austria, epistemologi ini berkembang mejadi positivisme logis dengan tokoh-tokoh pemikirnya yaitu, M Schlick, Rudolph Caranap, Ph. Frank, V. Kraft, H. Feigl, F. Waisman, H. Reichenback, dan lain-lain. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok ligkar Wina.[26] Aliran ini terus berkembang dan menjalar secara sangat pervasive di Ingris hingga meluas dalam  konteks masyarakat Eropa.  
5.        Ide dan Paham Tuhan dalam Postmodernisme
Pada tataran tertentu positivisme sebagai epistemologi yang  memperkuat kehadiran modernisme Eropa, menuai kritik akibat metodenya yang terlalu kaku sehingga menimbulkan krisis metafisik di dunia Barat. Kritik  tersebut melahirkan era postmodernisme dengan tawaran-tawaran epistemologi yang lebih variatif. Menurut Armahedi Mahzar, kelahiran postmodernisme yang lair dari krisis dunia Barat, mempunyai dua sayap, yaitu postrukturalisme Pluralistik, sebagai sayap kanan dan holisme holistik sebagai sayap kiri.[27] Munculnya kedua sayap ini adalah dampak dari meluasnya posistivisme yang menawarkan ketunggalan wacana sebagai keharusan paradigma obyektifitas pada semua dimensi kehidupan termasuk di dalamnya dimensi sosial budaya. Prancis yang dihuni oleh budayawan humaniora  lebih banyak berkecimpung di bidang seni, cenderung menganut sayap kiri. Sementara filosof Anglo-Saxson yang lebih terpengaruh oleh ilmu kealaman, cenderung menganut sayap kanan.[28] Postmodernisme sayap kiri mengusung semangat relativisme mutlak yang bersikap dekonstruktif, mendapat reaksi dari sayap kanan postmodernisme konstruktif Amerika yang menganut holisme saintifik.[29]  Seluruh pemikir sayap kanan menentang reduksionisme materialistik, bahkan di tangan mereka holisme mendapat warna tradisi keagamaan timur. Dengan demikian pergeseran epistemologi ilmu pengetahuan pada era pascamodern menyebabkan adanya dialog yang mengarah pada terjadinya kontak antara agama dengan ilmu pengetahuan.   
 Secara umum perkembangan ide dan konsep ketuhanan pada periode ini mengalami banyak kemajuan, terutama hubungan antara sains dan dunia spritual lambat laun berdekatan dan bisa saling memahami secara paradigmatik. Sekalipun capain ideal era ini belum dirasakan dominan namun masyarakat Eropa telah mulai memasuki dimensi humanistiknya yang primordial. sekalipun kemajuan ini nampaknya bersifat elitis, dan pengkhususan paradigma ini nyatanya berlaku dalam bidang fisika atau natural sains, sehingga tidak mampu memberikan dampak yang meluas pada wilayah yang lain. Seharusnya kemajuan ini memberikan efek terhadap kebijakan-kebijakan pengetahuan yang dihasilkan negara besar seperti Amerika, tempat postmodernisme berkembang dalam bentuknya yang holistik. Nyatanya, dunia Barat tetap saja berlaku tidak adil terhadap unsur-unsur spiritual manusia dan tetap memelihara ruang pemisah antara kebenaran fisik dan kebenaran metafisik.
  1. Penutup.
Perkembangan ide dan paham ketuhanan boleh jadi berdasarkan evolusi pengetahuan manusia yang bermula dari tahapan teologis (dinamisme, animisme, polyteisme, hingga monoteisme) tahapan tersebut adalah perkembangan evolutif.
Perkembangan ide dan paham ketuhanan mengalami dinamika luar biasa pada masa renaisan, yaitu sebuah masa transisi pergesekan antara ilmu pengetahuan dan agama. Masa transisi melahirkan beberapa konsep epistemologi yang melahirkan paradigma metafisika yang bercorak dikotomis, antara ilmu pengetahuan dan Agama. Corak epitemologi ini melahirkan ide dan konsep ketuhanan kontemporer hingga masa sekarang.  







Daftar Pustaka
 Hans Khun, Freud and The Problem of God, (Sigmund Freud Vis as Vis Tuhan), Yogyakarta: Ircisod, 2001
   Donny Gahral Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas Khun, (Cet. II; Jakarta: Teraju, 2002
  Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, 
   Jalaluddin Rahmat. Bandung Rosda Karya. 1995
  Nurckholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadinah, 2005
  Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Rafika Aditama, 2007  Kamus Ilmiah Populer (Cet. I; Surabaya: Arkola   
 Johan F. Haugh, Pejumpaan Sains dan Agama; Dari Konplik ke Dialog. (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004
  Kenneth T. Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi, Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002
  Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum,  (cet I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003
 Muh Taqi Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002
  Aleks howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara, et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern, (cet I; Bandung: Terauh, 2000).
   Paul Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta:: Erlangga, 2001
 .   Ben Agger, Teori-Teori Sosial Kritis, (Cet. I;Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
 Armahedi Mahzar, Revolusi Integral Sains, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004




[1] Hans Khun, Freud and The Problem of God, (Sigmund Freud Vis as Vis Tuhan), Yogyakarta: Ircisod, 2001. H. 90
[2] Dikutip dalam Hans khun, ibid. H. 92
[3] Di kutip oleh Donny Gahral Adian, Menyoal Abyektivitas Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume Hingga Thomas Khun, (Cet. II; Jakarta: Teraju, 2002)
[4] Dinamisme dari bahasa Yunani, dynamis-kekuatan, orang Melanesia meyebutnya mana’ yang berarti tuah’, mempunyai kakuatan, tidak dapat dilihat, tidak memunyai tempat yang tetap, tidak mesti baik dan tidak mesti buruk, terkadang tidak dapat dikontrol, kadang tapat di kontrol, dia adalah kekuatan misterius. Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, h. 23
[5] Animos, sesuatu yang mempunyai jiwa. Kepercayaan bahwa segala sesuatu bernyawa, realitas jiwa yang immanen, meliputi segala sesuatu, manusia, pohon, batu, binatang dll. Lihat kamus filsafat, (ed) Jalaluddin Rahmat. Bandung Rosda Karya. 1995
[6] Nurckholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadinah, 2005, h. xxix
[7]Bertrand Russel dalam Rodliyah Khuzai, Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Rafika Aditama, 2007), h. 23.
[8]Kontras-paradigmatik dapat diartikan sebagai perbedaan yang tajam dalam sistem pemikiran. Lihat A. Hius Hurwanto dan Dahlan Albary, Kamus Ilmiah Populer (Cet. I; Surabaya: Arkola), h. 369 .  Istilah ini juga dipakai oleh John, F. Haught untuk menunjukkan salah satu model perjalanan interaksi agama dengan ilmu pengetahuan. Johan F. Haugh, Pejumpaan Sains dan Agama; Dari Konplik ke Dialog. (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004), h. xx-17.
[9]Lihat, Kenneth T. Gallagher, The Fhilosofhy of Knowledge, alih bahasa, Hardono Hadi, Epistemologi, (cet v; Jogyakarta: Kanisius, 2002), h. 28-29.
[10]Ibid, h. 39.
[11]Ibid, h. 320.
[12]Lihat, Hadi, op. cit, h. 40.
[13]Bambang Q. Anees, Banbang Q. Anees dan Radea Julia Hambali, Filsafat Untuk Umum,  (cet I; Jakarta: Prenada Media kencana, 2003), h. 334.
[14]abid    
[15]Ibid,   
[16]Hadi, op. cit. h. 135.
[17]Muh Taqi Mishbah Yazdi, Fhilosophycal Introduktion, alih bahasa, Musa Kazim dan Saleh Bagir, Buku Daras Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 16.
[18]Rodliayah Khuzai, op. cit. h. 25.  
[19]  Aleks howard, Fhilosopy For Conselling And Psycotherapy, alih bahasa Benny Baskara, et.al, Konseling Dan Psikoterapi Cara Filsafat Dari Phitahoras Ingga Posmodern, (cet I; Bandung: Terauh, 2000). h. 275.
[20]Paul Stathern, alih bahasa, Frans Kowa, 90 Menit Bersama Khant, (Cet. I; Jakarta:: Erlangga, 2001). h.11.
[21]Dony Gahral, op, cit.,  h. 56-57.
[22]Ibid, h. 55.
[23]Muh Taqi Mizbah Yazdi, op. cit. h.19.
[24]Lihat, Donny Gahrial, op. cit. h. 65-66.
[25]Ibid, h. 72.
[26]Ben Agger, Teori-Teori Sosial Kritis, (Cet. I;Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 27.
[27]Armahedi Mahzar, Revolusi Integral Sains, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004) h. 23-24.
[28]Ibid, h. 24.
[29]Ibid, h. 207.
0 Responses

Post a Comment