Transendent

A. Pendahuluan

1.      Gambaran Materi yang di bahas

            Aliran Ahmadiyah adalah aliran yang muncul di Qadiyan India (Pakistan) oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang telah mendakwahkan dirinya sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. yaitu nabi yang paling terakhir, bukan saja Nabi, tetapi juga sebagai Imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan Juru selamat. Pahamnya tentang kenabian ini yang mendasari ajarannya  bahwa semua Nabi yang di utus sebelum Nabi Muhammad saw. di akui kebenarannya dan kesuciannya, namun di anggap masih kurang sempurna. Olehnya itu paham Ahmadiyah oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri Ahmadiyah datang untuk menyempurnakan agama  Islam. Hal inilah yang akan menjadi bahan pembahasan materi ini yang diawali dengan sejarahnya dilanjutkan dengan uraian tentang paham-pahamnya.
           
2.      Pedoman Mempelajari Materi

            Materi ini sangat menarik untuk dipelajari, untuk itulah maka sebaiknya dibaca secara runtut, kemudian di mengerti dan dipahami dari awal mulai dari sejarah perkembangannya sampai pada tokoh-tokohnya, kemudian membandingkan  dangan aliran-aliran lain, agar mudah diketahui pokok-pokok ajarannya yang menyimpang dari Islam. Untuk mengetahui sejauh mana memahami materi ini, maka sebaiknya mengerjakan latihan :






3.      Tujuan Pembelajaran

            Setelah materi ini selesai, diharapkan mahasiswa dapat :
1)      Menjelaskan sejarah perkembangan aliran Ahmadiyah
2)      Menjelaskan faham-faham ajaran Ahmadiyah
3)      Menjelaskan perbedaannya dengan aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

B.    KEGIATAN PEMBELAJARAN

1.       Materi Perkuliahan

1) Sejarah Ringkas Paham Ahmadiyah
            Pendiri dari golongan ini bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, lahir di Qadariyah sebuah desa dekat daerah Punjab 1836 M, sekarang Pakistan tahun 1950 M. Ghulam Ahmad mendakwahkan bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad saw.
            Sudah terang bahwa Mirza Ahmad bin Ghulam ini termakan ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi yang adil yang akan mambawa keadilan untuk seluruh dunia, yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan.
Memang kaum Syi’ah berpaham bahwa ke-Nabian dan ke-Rasulan belum putus, imam-imam mereka dianggapnya masih menerima wahyu langsung dari Tuhan.[1]
Mirza Ghulam Ahmad bertindak lebih jauh, ia bukan lagi Imam, bukan saja Imam Mahdi, tetapi Nabi benar-benar mendapat wahyu dari Tuhan. Tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi Muhammad, bertentangan pula dengan kaum Syi’ah. Bagi mereka yang ada ialah Imam, bukan Nabi yang baru, sedang Imam itu harus dari keturunan Saidina Ali kw. Karena itu Mirza Ghulam Ahmad bukan saja ditentang oleh kaum Sunnah Wal Jama’ah diseluruh dunia, tetapi juga oleh ulama-ulama Syi’ah yang berada di Pakistan, di Iran dan Yaman. Maka Mirza Ghulam Ahmad akhirnya melawan dan menghantam pula kepada kaum Syi’ah. Dalam buku-bukunya Mirza Ghulam Ahmad mengejek kaum Syi’ah dan mengejek Hasan dan Husein radiyallahu ‘anhuma.
Ulama-ulama di seluruh India pada saat itu mengeluarkan fatwa bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak lagi dalam lingkungan umat Islam karena mendakwahkan dirinya menjadi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. hal ini jelas bertentangan dengan sebuah ayat dalam al Qur’an suci yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah Nabi paling akhir.
Di antara ulama-ulama yang menolak paham Ahmadiyah itu di India adalah :
1)      Maulana Muhammad Anwarullah Khan, Pejabat Urusan Agama kerajaan Hydarabad, yang mengarang sebuah buku untuk menolak paham Ahmadiyah, yang diberi nama ‘Ifadatul afham bijawabi ‘Izalatul Auham’. Dalam buku ini diterangkan bahwa paham Ahmadiyah Qadiyani sudah di luar lingkungan Agama Islam.
2)      Maulana Abul Hasan Ghulam Mustafa, ulama besar wilayah Amitsar yang mengatakan bahwa Ghulam Ahmad itu sudah menjadi kafir dengan dakwahnya bahwa ia adalah Nabi.
3)      Maulana Azizurrahman, mufti Universitas Darul Ulum Deoband yang mengatakan bahwa Ahmadiyah itu adalah sesat lagi menyesatkan.
4)      Dan banyak lagi ulama-ulama India ketika itu yang menolak paham Ahmadiyah itu.[2]
Akan tetapi, Kerajaan Inggeris yang ketika itu menguasai India, menyokong gerakan Ahmadiyah ini, karena di antara fatwanya ada yang sangat disukai oleh penjajah ketika itu yaitu : “Jihad dalam Islam itu bukan dengan senjata, tetapi hanya dengan lisan saja”.
Sebagai dimaklumi, bahwa fatwa ini sama dengan fatwa kaum Bahaiyah yang mengatakan juga bahwa jihad itu bukan dengan senjata, tapi hanya dengan lisan saja. Fatwa ini juga sama dengan seorang pemodernisasi agama bernama Sir Sayyid Ahmad Khan, Rektor Universitas Aligarh di India (wafat 24 Maret 1898 M), yang memfatwakan bahwa jihad harus dengan lisan dan tulisan saja.
Pada ketika itu, sama halnya dengan umat Islam di luar India, di mana umat Islam di India sedang berjuang melawan Inggeris dengan senjata. Maka fatwa Bahai dan Ahmad Khan ini sangat disukai oleh Inggeris.
Ke-Indonesia, paham Ahmadiyah itu masuk juga sesudah peperangan dunia pertama, sehingga ada cabang-cabang gerakan Ahmadiyah di Jakarta, di Medan, di Padang dan lain-lain tempat.
Tetapi paham Ahmadiyah di Indonesia tidak begitu maju, karena terus menerus di tentang oleh ulama-ulama Islam, khususnya ulama-ulama kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.  
Almarhum Maulana Syeikh Mohammad Jamil Jaho Padang Panjang (Sumatera Barat), seorang ulama Islam yang terkenal mengarang sebuah buku bernama ‘Nujumul Hidayah Fi Raddi ‘Ala Ahlil Ghiwayah’ (Bintang Hidayat untuk menolak kaum yang sesat). Di dalamnya dikupas paham Ahmadiyah ini dan ditolak sekuat-kuatnya.
Paham Ahmadiyah menjadi muram di seluruh dunia, khususnya di Indonesia tidak mendapat pasaran, walaupun propagandisnya berkeliaran ke pelosok-pelosok tanah air Indonesia.

2) Paham dan Ajaran Ahmadiyah

v Ia Seorang Nabi dan Rasul

            Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan dirinya Nabi dan Rasul. Dalam buku ‘Izalatul Auham’ h. 673, ia berkata begini :
Dan ketika Isa anak Maryam berkata: Hai Bani Israil! Sesungguhnya aku ini utusan Allah untukmu, membenarkan wahyu yang diturunkan sebelum aku, yaitu Taurat, dan menyampaikan berita gembira akan kedatangan seorang Rasul kemudian namanya Ahmad, tetapi setelah Rasul itu datang kepada mereka dengan bukti yang nyata, mereka berkata : inilah tukang sihir yang nyata” (Al Shaf : 6).

Di situ diterangkan oleh Nabi Isa as. bahwa akan datang seorang Rasul namanya Ahmad. Sayalah yang dimaksud oleh beliau, kata Mirza Ghulam Ahmad, karena nama saya Ahmad.
Mirza Ghulam Ahmad telah merangkul ayat ini untuk dirinya, karena ia bernama Ahmad. Andai kata boleh menafsirkan al Qur’an macam ini, maka setiap orang bernama Ahmad berhak untuk mendakwahkan dirinya Rasul sesudah Nabi Muhammad saw. Tafsir Qur’an itu harus dicari dalam hadis-hadis, bukan tafsiran sendiri atau isapan jempol sendiri.
Kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah menafsirkan ayat ini dengan hadis Nabi Muhammad saw. di mana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perkataan Ahmad dalam ayat itu ialah Nabi Muhammad sendiri, karena nama beliau di samping Muhammad juga Ahmad.
Jadi maksud ayat ini ialah, bahwa Nabi ‘Isa as. memberi kabar gembira kepada muridnya akan kedatangan seorang Rasul, yaitu Muhammad yang juga bernama Ahmad.
Mirza Ghulam Ahmad mengatakan lagi dalam buku ‘Haqiqatul Wahyu’ begini :

Diwahyukan kepada saya :
إنّى رسو ل الله إليكم جميعا
Artinya :
Bahwasannya saya Rasul Tuhan kepada seluruh manusia[3]

            Dengan ucapan ini, teranglah bahwa ia, Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan dirinya, Nabi dan Rasul, sesudah Nabi Muhammad saw.
            Kepercayaan ini ditentang keras oleh kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah karena menurut I’tiqad mereka, bahwa Nabi dan Rasul yang paling akhir adalah Nabi Muhammad saw. Barangsiapa mendakwahkan dirinya Nabi dan Rasul sesudah Nabi Muhammad saw. maka orang itu pembohong, harus di tolak dan dilawan habis-habisan.
            Sesudah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi atau Rasul, yang ada hanya khalifah, ulama-ulama, auliya-auliya, imam-imam Mujatahid, guru-guru agama, ustadz-ustadz dan Syekh-syekh.
            Kepercayaan kaum Syi’ah yang mirip-mirip menjadikan Saidina Ali atau imam-imam mereka menjadi Nabi juga ditentang oleh kaum Ahlu Sunnah, karena ke-Nabian pun sudah habis sesudah Nabi Muhammad saw.
Dalil-dalil paham ini adalah :

Pertama

$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã  
Artinya :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (al Ahzab : 40)

            Terang dan nyata dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah ‘Khatam al Nabiyyin’ yakni Nabi penghabisan.

Dalam kitab-kitab tafsir, dijelaskan tentang arti ‘Khatam al Nabiyyin’ adalah :

Ø  Dalam tafsir Khazin, jilid V, h. 218 ; ke-nabian telah tertutup, tak ada lagi sesudah beliau.
Ø  Dalam tafsir Nasafi, jilid III, h. 306 ; Akhir Nabi, tiada seorang juga lagi Nabi sesudah Nabi
Ø  Dalam tafsir Jalalain, jilid yang dicetak bersama Tafsir Shawi, jilid III ; h. 263 ; Dengan nabi Muhammad disudahinya Nabi-nabi
Ø  Dalam Tafsir Ibnu Katsir, jilid III, h. 493 ; Ayat ini menyatakan dengan terang, bahwa Nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Begitu juga Rasul, lebih-lebih lagi sudah tidak ada lagi”.[4]   

Kalau dilihat tafsir-tafsir kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah semuanya berpendapat bahwa ayat ‘Khataman nabiyyin’ berarti : Tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Beliau adalah nabi yang penghabisan, Nabi akhir zaman.
Fatwa Mirza Ghulam Ahmad, dan fatwa lain-lain orang yang mendakwahkan dirinya Nabi bertentangan dengan ayat ini.

Kedua

Bersabda Nabi Muhammad saw.:

كانت بنوا إسرا ئيل تسوسهم الأنبياء كلّما هلك نبيّ خلفه نبىّ وأنّه لا نبىّ بعدى (رواه بخارى) 
Artinya :
Adalah Bani Israil diperintah oleh nabi-nabi, setiap meninggal seorang Nabi lantas digantikan oleh Nabi yang lain, tetapi sesudah saya tidak ada Nabi lagi” (H.R Bukhari). Shahih Bukhari, juz II., h. 175. 

Seperti matahari siang hari begitulah terangnya hadis ini mengatakan bahwa Nabi tidak lagi sesudah Nabi Muhammad saw.
Mirza Ghulam Ahmad sangat berani menentang hadis yang shahih ini.






Ketiga

Tersebut dalam kitab hadis, yang artinya :

Pada ketika peperangan Tabuk, Rasulullah memerintahkan Saidina Ali kw. tinggal di kampung, menjaga negeri, maka Saidina Ali merandang : “Tuan tinggalkan saya hanya untuk menjaga anak-anak dan wanita-wanita (saya mau ikut perang). Maka nabi Muhammad saw. menjawab: “Tidaklah engkau suka serupa Harun dibanding dengan Nabi Musa, tetapi (awas): Nabi tak ada lagi sesudah saya”. (H.R Muslim).[5]       
           
            Jelas dalam hadis ini, bahwa nabi Muhammad saw mentitahkan supaya Saidina Ali tidak ikut perang Tabuk, tetapi tinggal di kampung mewakili beliau, sebagai keadaan Nabi Harun yang tinggal di kampung seperginya Nabi Musa as. untuk bermunajat ke bukit Thursina.
            Beliau khawatir ketika itu kalau-kalau ucapan ini disalah tafsirkan orang dengan menganggap Saidina ‘Ali sebagai Nabi seperti keadaannya Nabi Harun, maka beliau menegaskan : “Tapi kamu bukan Nabi, karena Nabi tidak ada lagi sesudah saya. Engkau hanya pengganti sementara untuk menjaga negeri selama saya pergi perang”.
            Tegas, tegas sekali Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa tidak ada Nabi lain sesudah beliau.

Keempat

Nabi Muhammad saw. bersabda, yang artinya :

Akan ada pendusta 30 orang, sekalipun mendakwahkan dirinya bahwa ia Nabi ; saya adalah kesudahan Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudah saya” (HR. Timidzi)

           
Terang dalam hadis ini, dinyatakan bahwa orang-orang yang mendakwahkan dirinya jadi Nabi, sesudah Nabi Muhammad saw. adalah pembohong, karena tak ada lagi Nabi sesudah nabi Muhammad saw. Inilah kepercayaan kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.    

v Mirza Masih Al Mau’ud
           
            Menurut kepercayaan Islam, bahwa Nabi Isa as. tidak dapat disalib oleh musuh beliau dan yang disalib itu adalah orang yang serupa dengan beliau. Nabi Isa ketika itu diangkat kepadaNya. Dan pada akhir zaman, Nabi Isa as. akan turun lagi ke dunia.
 Tersebut dalam Hadis Bukhari yang artinya :

Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: Berkata Rasulullah saw: Demi Tuhan yang diriku ditanganNya, akan turun Isa Ibnu Maryam kepadamu menjadi hakim adil, maka ia memecah salib, membunuh babi menghentikan peperangan, dan melimpahkan harta yang banyak sehingga tak ada lagi yang akan menerimanya”. (HR Bukhari)
Shahih Bukhari , juz II., h. 174.

            Mirza Ghulam Ahmad, selain mendakwahkan dirinya Nabi dan Rasul juga mendakwahkan dirinya Isa al Masih yang dijanjikan akan datang, yaitu dia sendiri. Aneh betul orang ini.
            Ia bukan Isa bin Maryam, tetapi dikatakannya bahwa ia adalah Isa yang dijanjikan akan datang pada akhir zaman. Namanya Mirza Ghulam Ahmad, bukan Isa bin Maryam.
            Dalam hadis dinyatakan bahwa nabi Isa membunuh sekalian babi dan memecah sekalian salib. Bertanyalah kita, apakah Mirza Ghulam Ahmad sudah membunuh sekalian babi dan memecah sekalian salib ? Tidak.
Di dalam hadis dikatakan bahwa Nabi Isa akan melimpahkan harta yang banyak sehingga tidak ada lagi yang akan menerimanya. Apakah Mirza Ghulam Ahmad ada berbuat begitu? Tidak, ia mati tak pernah melimahkan harta. Inilah omong kosongnya Mirza Ghulam Ahmad !
v Anak dan Khalifahnya Mendapat Wahyu Juga

            Bukan saja, Mirza Ghulam Ahmad yang mendakwahkan dirinya menerima wahyu serupa Nabi dari Tuhan, tetapi juga anaknya dan khalifahnya, yaitu Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad Khaliful Masih II, mendakwahkan pula bahwa ia dapat wahyu dari Tuhan.
            Basiruddin ini mendongeng dalam bukunya “Pengantar untuk mempelajari Qur’an”, pada jilid III., h. 76. keluaran Yayasan Wisma Damai Bandung 1968, begini :

“Dalam keadaan demikian, aku menyetujui menerima bai’at Jema’at sebagai khalifah ke II dan dalam kedudukan itu mulai mengkhidmati Jema’at, Islam dan umat manusia. Karena bagian besar dari mereka, yang dipandang sebagai pejabat-pejabat pimpinan Jema’at menentang nizam (peraturan) Khilafat, maka jema’at menghadapi krisis dan bahaya besar. Orang-orang besar mulai meramalkan, bahwa kehancuran Jema’at dan bubar berantakan hanya soal beberapa hari saja. Pada saat itu Tuhan menurunkan wahyu kepadaku, bahwa Tuhan akan melindungi dan memeliharaku dan memberikan kapadaku kemenangan dan akan menghancurkan mereka”.

            Begitulah dongeng Mirza Basiruddin, anak dan khalifah yang ke II dari Mirza Ghulam Ahmad yang mendirikan gerakan Ahmadiyah.
Dongeng ini bertentangan dengan Agama Islam yang suci, karena Nabi Muhmammad saw. telah menyatakan dengan gamblang, bahwa nabi dan kenabian tidak ada lagi. Kepercayaan bahwa khalifah-khalifah menerima wahyu juga sama dengan kepercayaan kaum Syi’ah.

v Ia Menyempurnakan Syari’at Islam

            Majalah Universitas al Azhar Kairo terbitan tanggal 1 Februari 1957 telah membongkar habis-habisan kesesatan Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Di antara uraiannya dikutipkan di bawah ini dan fasal 12 berikutnya, tersebut :
            I’tiqad kaum Ahmadiyah mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus Allah untuk menyempurnakan agama Islam. Agama Islam masih kurang, karena itu ia di utus untuk menyempurnakannya.
            Nabi Muhammad kalau dibanding dengan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai Hilal (bulan sabit), sedang dirinya adalah Badar (bulan purnama)
Pada lambang bendera kaum Ahmadiyah dicantumkan :

       Hilal (bulan sabit)
       Badar (bulan purnama)
       Menara

Hilal bagi mereka artinya Muhammad, Badar artinya Mirza Ghulam Ahmad, dan menara Damsyik, dimana Nabi Isa akan turun pada akhir zaman.

Tentang menyempurnakan syari’at Islam, ia memfatwakan bahwa :
1)      Jihad dengan senjata tidak ada lagi
2)      Melawan pemerintah Inggeris yang berkuasa di India ketika itu adalah haram
3)      Jihad yang diakui oleh syari’at ialah jihad bersama-sama Inggeris melawan pemberontak-pemberontak yang terdiri dari orang Islam.[6]

            Itulah yang dinamakan menyempurnakan Syari’at Islam oleh Ahmadiyah. Fatwa semacam ini ditentang keras oleh kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, karena dalam fatwanya ini terselip penghinaan terhadap Islam dan juga terhadap Nabi Muhammad saw.
            Islam dianggapnya belum sempurna dan Nabi Muhammad saw. dianggapnya lebih rendah dari dia. Nabi Muhammad saw. bagaikan hilal dan dia bagaikan bulan purnama.
            Nabi Muhammad saw – menurut kepercayaan kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah – adalah “Saidul khalaik” (penghulu sekalian makhluk), tiada makhluk yang lebih tinggi pada sisi Tuhan yang melebihi Nabi Muhammad saw.
            Dan agama Islam itu sudah sempurna, tak perlu ditambah atau disempurnakan lagi oleh siapapun, juga oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Firman Tuhan dalam al Qur’an :

...4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ
Artinya :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”.
(Al Maidah ayat  3)

            Jadi agama Islam sudah cukup pada tahun 10 H, tidak perlu dicukupkan lagi oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir lebih 1200 tahun di belakang Nabi Muhammad saw.

2.      Latihan-latihan

Jelaskan pertanyaan di bawah ini :
1)      Siapakah pendiri aliran Ahmadiyah
2)      Jelaskan sejarah perkembangan Ahmadiyah
3)      Jelaskan paham Ahmadiyah tentang kenabian
4)      Jelaskan sejauh mana pengaruhnya dengan aliran Syi’ah
5)      Bagaimana paham Ahmadiyah tentang jihad
6)      Tuliskan hadis yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw.
7)      Bagaimana pandangan Ahmadiyah tentang penyempurnaan syari’at Islam
8)      Jelaskan perbedaan antara Nabi Muhammad saw dengan Mirza Ghulam Ahmad
9)      Jelaskan pandangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah tentang ajaran Ahmadiyah

3.      Rangkuman

Aliran Ahmadiyah ini lahir pertama kali di Qadiyan Punjab India oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang pokok ajarannya adalah memfatwakan diri menjadi Nabi terakhir sebagai penyempurna dari Nabi dan Rasul sebelumnya. Nabi Muhammad saw. diumpamakan sebagai bulan sabit, sedang dirinya diumpamakan dengan bulan purnama. Hal ini sangat melecehkan Islam dan Nabi Muhammad saw. yang dalam kepercayaan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah khatam al nabiyyin. Nabi terakhir penutup dan penyempurna ajaran Nabi-nabi terdahulu dan merupakan Nabi akhir zaman. 

4.      Tes Formatif

1)      Jelaskan perkembangan aliran Ahmadiyah
2)      Jelaskan paham-paham ajaran Ahmadiyah
3)      Jelaskan perbedaan paham Ahmadiyah dengan Ahlu Sunnah

5.      Kunci Jawaban

1)      Fatwa – Hilal – Badar
2)      Khatam al Nabiyyin
3)      Jihad - Mujaddid


[1] I’tiqad Ahlu Sunnah., h. 342.
[2] Ibid., h. 343.
[3] Haqiqatul Wahyu., h. 391.
[4] I’tiqad Ahli Sunnah., h. 347.
[5] Shahih Muslim., h. 360.
[6] I’tiqad Ahlu Sunnah., h. 351.
0 Responses

Post a Comment