Transendent

ISLAM DAN NEGARA

Dalam Wacana Pemikian Islam

A. Pengantar

Wacana pemikiran Islam tentang hubungan agama dengan negara mengalami sebuah dinamisasi terutama pasca kebangkrutan pemerintahan khilafah Islam terakhir, Turki Usmani. Hal ini disebabkab oleh beberapa faktor. Pertama, terjadinya pergeseran paradigma pemikiran agama yang dimulai sejak ekspansi Prancis atas Mesir yang menyebabkan hentakan psikologi ummat Islam akan fakta kemajuan bangsa-bangsa di luar Islam. Keadaan ini meyadarkan ummat Islam, semisal Jamaluddin Afgani, Muhammad Abduh dan lain-lain, untuk segera melakukan upaya pembaruan sikap yang tentunya harus dimulai dari pembaruan paradigma. Sejak itu pergeseran paradigma mulai terjadi dalam benak ummat Islam dan menjadi usaha yang nampak niscaya untuk menggapai kemajuan. Kedua, akibat perkembangan modernisasi yang melanda dunia, termasuk di dalamnya dunia Islam yang secara berangsur-angsur menempatkan modernisasi dengan implikasinya sebagai keharusan sejarah. Akibatnya, terjadi pergeseran singnifikan terhadap tafsir bentuk negara ideal yang menyeret debat seputar bagaimana peran agama dalam menentukan pemerintahan dalam sebuah negara modern yang majemuk. Terutama sekali seperti apa yang terjadi pada negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti Indonesia, Sudan, Turki, Malaysia dan lain-lain.

Pada perkembangan selanjutnya, semangat pembaruan pemikiran tersebut, khususnya wacana agama dengan negara, mengalami dinamisasi internal. Hingga muncul adanya pemikiran pentingnya dilakukan rekonstruksi pemahaman atas tafsir keagamaan ummat Islam, termasuk di dalamnya debat seputar interrelasi agama dengan negara yang menjadi salah satu pokok penting dalam pemikiran politik Islam, baik dalam bentuknya yang normatif maupun historis.

B. Pembahasan

Dari pokok pikiran yang berkembang dalam diskursus pemikiran politik Islam, masing-masing kelompok tersebut dapat digolongkan dalam tiga tipologi. Pertama, kelompok yang menempatkan agama sebagai subordinasi atas negara dan memandang interrelasi agama dengan negara sebagai keharusan integralistik. Kelompok ini memandang agama sebagai institusi yang sempurna dalam mengontrol kehidupan sosial-politik manusia, sehingga pendekatan lain tidak diperlukan lagi. Model ini dapat dijumpai jejaknya pada tokoh-tokoh pemikir Islam, semisal Almaududi, Ali Jinnah, Natsir.

Kedua, kelompok yang melihat kemungkinan adanya negoisasi terhadap aspek-aspek dari luar sepanjang tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip universalisme agama Islam. Kelompok ini toleransif dan melihat celah dilakukannya jastifikasi terhadap anasir luar, semisal demokrasi, HAM dan isu lainnya yang bisa saja dipertimbangkan.

Ketiga, kelompok yang memandang interrelasi agama dengan negara berada dalam ruang yang terpisah atau sekuler. Dalam pandangan komunitas ini, agama tidak boleh dijadikan jastifikasi atas kehidupan politik suatu bangsa. Tentu saja argumen yang dikemukakan oleh kelompok terakhir ini mempunyai segmen bahasan yang cukup kuat tentang bagaimana seharusnya sekularisme, hubungannya dengan universalisme agama atau pesan-pesan normatif agama Islam yang tertuang dalam cakupan nash (Alquran dan Sunnah).

Berdasarkan tiga tipologi di atas, wacana interrelasi agama dengan negara menjadi ide terapan pada masing-masing pemikirnya. Usaha menurunkan pemikiran tentang agama dengan negara dalan tingkatan praktik dapat dilihat pada beberapa usaha-usaha para penggiatnya, misalnya seruan Maududi terhadap negara Islam Pakistan yang hingga hari ini tetap relevan terjadi. Atau apa yang terjadi pada negara Turki oleh Mustafa Kemal dengan kemalismenya yang mempraktekkan Turki sekuler. Di Indonesia hingga hari ini, konteks negara agama tetap saja ramai dipelopori dengan variabel yang beragam, dari yang ilegal hingga dianggap konsitusional.

1. Tipologi Integralistik

Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.[1] Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.

1. Rasyid Ridha

Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya.[2]

Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.

Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis,[3] bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.

Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.[4]

2. Sayyid Qutub dan al-Maududi

Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.

Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at.[5] Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.

Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.

Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.

Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.

Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.

Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.[6]

B. Tipologi Sekuler

Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.

Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. [7] Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm.

Tesis utama dari buku ini adalah:[8]

1. Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.

2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.

3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.

4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.[9]

1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.

2. Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.

3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.

Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis[10] adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.

Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.

Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.[11]

Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.

Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.

Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid.[12] Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.

Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.

Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.

C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat

Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.

1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)

Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.[13]

Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.

2. Muhammad Abduh (1862-1905)[14]

Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.

Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.[15]

Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.

Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.

Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.

Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.

Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.

Dari pendapat-pendapatnya tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.

3. Fazlurrahman

Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.

Selanjutnya Fazlur Rahman[16] menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.

Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.

Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis

sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.



[1] Ini biasa juga disebut dengan tipologi ideal totalistik. Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis.

[2] Sebagaimana ulasan Bassam Tibi dalam the Challenge of Fundamentalisme yang diterjemahan dalam judul bahasa Indonesia, wacana Fundamentalisme; Islam Politik dan Dunia Baru, (Cet. I; Tiara Wacana; Yogyakarta, 2000). H. 63

[3] Dalam Gamal al-Banna, relasi Agama dan Negara, (Cet.I; Mata Air Publising: Jakarta, 2006), h. 32

[4] Ibid, h. 37

[5] Sebagaimana dikutip oleh Nurkhalis Madjid dalam Agama dan dialog antar peradaban, ed. Natsir Tamara, Cet. I; Paramadinah: Jakarta, 1996), H. 67

[6] Muhammad Sanusi, Pemikiran Politik Almaududi, skripsi Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin, 1994, h. 13

[7] Lihat, Nora Onar adalah peneliti pembantu pada Pusat Kajian Eropa, St. Antony's College, University of Oxford. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org

[8]Lihat, Syafiq al-Muqni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Cet. I; Jakarta: logos, 1997), h . 123

[9] Lihat, Sherif Mardin, dalam Perkembangan Moderen Dalam Islam, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor), h. 246

[10] Sebagaimana dikutip kembali oleh Bassam Tibi, ibid, h. 87

[11] Loc.cit. al Mugni, h. 98

[12] Tentang Lutfi al-Syaukani dapat dilihat dalam artikel yang ditulis oleh Lutfi Asyaukani dalam blog bengkel Turast (Turats blogspot.com)

[13] Data ini diambil dari ensiklopedia Oxford, selengkapnya lihat The oxford Encylopedia of the Moden Islamic Wold, (vol. IV; New York: Oxfod University Press, 1995), h. 345-349

[14] Ibid, H. 340

[15] Nirwana, Pemikiran Muhammad Abduh, makalah disampaikan pada seminar kelas mata kuliah Pemikiran Islam Modern, konsentrasi Pemikiran Islam, 2008

[16] Tema-tema pembaharuan Fazlur Rahman tesebar dalam tulisan-tulisannya, baik jurnal, artikel maupun buku. Salah satunya lihat, Islamic Modernism; Its Scope, Method and Alternatives, (vol. IV; IJMES: Cambride), h. 321-335. lihat juga, Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1995), h. 83

Transendent

DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK

(Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini)

Oleh Akmal[1]

A. Latar belakang masalah

Dalam tradisi Islam dikenal ada beberapa aliran teologi yang berkembang sejak awal kehadiran Islam. Diantara aliran-aliran teologi tersebut, pada umumnya hanya memiliki dua pilihan pemikiran khususnya yang terkait dengan wacana “tentang kehendak” dan “perbuatan” manusia.

Pilihan pertama mempertegas bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam menentukan perbuatannya sendiri, setelah sebelumnya manusia dibebani dengan potensi untuk berbuat. Pilihan kedua mempertahankan kesan bahwa manusia hanya melakukan perbuatan berdasarkan ketentuan Tuhan tanpa kemampuan memilih perbuatannya sendiri. Kedua gaya pemikiran tersebut berlaku cukup ekstrim diantara ragam aliran-aliran teologi yang ada tesebut. Bahwa manusia memiliki kekendak untuk menentukan perbuatannya; cara berpikir teologi ini selanjutnya disebut qadariah. Pemahaman teologi, bahwa manusia hanya melakukan perbuatan bedasarkan ketentuan Tuhan tanpa kemampuan memilah disebut qadariah.

Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik jabariah maupun qadariah berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Ummat Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut[2] dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah ummat manusia secara global.

Sebab pendekatan teologi an sich, dalam menilai ummat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu jabariyah dan qadariahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.

Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (jabariyah dan qadariah) dalam optic masa kini atau kejabariahan dan keqadariahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana perkembangan paham jabariyah dan qadariah dalam dunia Islam masa kini? Sub masalah :

a. Bagaimana konsepsi kedua paham ini?

b. Sejauh mana peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini?

I. PEMBAHASAN

A. Konsepsi Paham Jabariah

Secara etimologis jabariyah mengandung arti memaksa yang berarti Tuhan sebagai yang maha kuasa bersifat, berkehendak mutlak atas manusia. Dalam kotegori inilah manusia melakukan segala sesuatu secara tepaksa (majbur) berdasarkan ketentuan Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak. Segala yang diperbuatnya telah ditentukan sebelumnya atas kuasa takdir (qada’ dan qadar) Tuhan.[3] Berdasarkan deskripsi tersebut maka paham jabariah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah paham yang mengerdilkan hingga menghilangkan semua kemampuan dan kebebasan manusia dalam berkehendak. Berdasarkan definisi tersebut, maka paham jabariah terkadang dianggap sebagai paham yang patalism atau paham yang melihat manusia yang tak memiliki celah ihtiar dalam melakukan kehendaknya.

Harun Nasution melihat latar sejarah munculnya paham ini berdasarkan anilisis sosial dengan penekanan pada situasi lingkungan kehidupan bangsa Arab yang sangat ekstrim di masa itu. Suasa padang pasir dengan panasnya yang terik dan hamparan tanah yang enggan ditumbuhi tanaman, membuat bangsa Arab merasa tidak memiliki kemampuan kecuali menyerah pada kehendak natur.[4] Dengan demikian manusia merasa dirinya lemah dan sekaligus tidak mempunyai kemampuan mengubah. Analisa demikian nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran perubahan social Aguste Comte yang mendasarkan tahapan-tahapan perubahan social bermula dari kesalahan manusia melihat alam hingga kebangkitan agama (monoteisme) yang mengantar lahirnya tahapan pamungkas yaitu peradaban positivisme. Dengan demikian latar belakang ihwal lahirnya paham jabariah dalam tradisi Islam dalam versi Harun Nasution nampaknya bias dari pendekatan europasentrisme. Sebab jika hanya berdasarkan pada situasi lingkungan yang melahirkan paham jabariah, maka tradisi (paradigma) kejabariahan tidak akan terjadi dilingkungan yang subur, seperti Indonesia misalnya. Tetapi faktanya tidak demikian.

Melacak latar historis sebuah paham sebaiknya ditelusuri berdasarkan latar epistemologis mengapa paham tersebut lahir. Dalam pandangan penulis lacakan epistemologi memuat keseluruhan peristiwa lahirnya sebuah paham, jauh lebih komprehensif dibandingkan jika penelusuran hanya berdasarkan pada analisis sosial semata, seperti yang diuraikan oleh Harun Nasution tentang latar belakang jabariah lahir sebagai sebuah paham. Pendekatan epistemologis mencakup dimensi sejarah dan realitas manusia dalam melahirkan paradigma dalam era tertentu.

Jabariah lahir di saat bangsa Arab sangat diuntungkan oleh kehadiran teks kitab suci Alquran. Dimana setiap teks dianggap memiliki otoritas dalam menentukan setiap pikiran dan tindakan ummat. Tetapi konsepsi itu mengalami pergeseran setelah kewafatan nabi Muhammad saw. Makna teks yang sebelumnya absolute tunggal, di bawah otoritaf Muhammad saw, bergeser dari absolute kemakna interpretative, hingga makna teks menjadi plural. Dalam keadaan demikian teks-teks yang sebelumnya tidak dipertentangkan menjadi dipertentangkan karena diinterpretasi secara berbeda, demikian juga dengan teks yang berdimensi teologis maknanya telah menjadi tidak tunggal (disepakati). Perbedaan interpretasi atas teks mengandung makna lain yaitu adanya cara atau metodologi yang berbeda dalam mehamai sebuah teks.

Dalam tradisi Islam pengetahuan atas teks lebih dikenal dengan istilah berpikir dengan pendekatan bayani atau epistemologi bayani. Metode bayani adalah metode rasional atau deduktif yang dalam masyarakat Islam metode tersebut lebih lekat dengan tradisi teks yang sering kali dipakai sebagai sumber menjustifikasi kebenaran.[5] Metode semacam ini, membatasi wilayahnya pada hal-hal yang telah diketahui secara umum, untuk kemudian digeneralisasi dalam bentuk proposisi-propsisi yang menghasilkan kongklusi. Dalam pandangan al-Jabiri, metode semacam ini biasanya lemah dalam menentukan sebuah sebuah makna, karena makna (teks) sering kali keluar dari konteks (ahistoris).[6] Dalam tradisi masyarakat muslim, metode ini memuncak pada zaman pengkodifikasian ilmu pengetahuan dalam Islam, disekitar pertengahan abad II hijriah. Selanjutnya dinamika pengetahuan Islam, mengalami sebuah stagnasi metodologis, hingga kemunculan metodologi alternatif dari berbagai sumber-sumber non-muslim, meski pun kemudian hanya bermain di wilayah pinggiran saja.

Ciri metode bayani ini, dapat dilihat dari apa yang disebut oleh Adnin Armas, sebagai metode ilmu pengetahuan dalam Islam yang bersumber dari wahyu (teks), dengan saluran-saluran sebagai berikut:

1. Panca indera (hawas): Panca indera eksternal: sentuhan (touch), penciuman (smell), rasa (taste), penglihatan (sight) dan pendengaran (hearing). Panca indera internal: akal sehat (common sense), representasi (representation), estimasi (estimation), retensi (retention), rekoleksi (recollection) dan khayalan (imagination).

2. Riwayat benar (khabar sadiq) berdasar kepada otoritas (naql): otoritas mutlak (absolute authority), otoritas Tuhan (divine authority) seperti Alqur’an, otoritas kenabian (prophetic authority), yaitu Nabi.

3. Otoritas relatif

4. Ijma para ulama (tawatur)

5. Riwayat orang-orang yang amanah secara umum

6. Intelek (aql)

7. Akal sehat (ratio)

8. Intuisi (hads, wijdan).[7]

Saluran-saluran pengetahuan demikan nampaknya belum memadai untuk melegitimasi sebuah kehadiran ilmu pengetahuan secara sempurna. Karena apa yang dimaksudkan barulah terjadi pada tahap interpretasi teks semata. Pada metode semacam ini, akal dipandang tidak dapat memberi pengetahuan dan mengambil keputusan kecuali didasarkan pada teks Alquran. Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nas) dan yang dimaksud nas adalah teks Alquran dan Hadis.

Paham teologi jabariah lahir dan berkembang atas dasar epistemologi bayani, fakta demikian dapat dilihat dari argument-argumen teks yang dibangun atasnya. Meskipun di antara teks tersebut terdapat makna yang mengarah pada arti qadariah namun konsekwensi nalar bayani yang terlanjur lekat dalam struktur berfikir bangsa Arab telah mengabaikan unsure lain di luar teks hingga ungkapan teks secara pasti akan mendukung kemahamutlakan Tuhan terhadap manusia (semua ciptaanNya).

Dengan pendekatan nalar bayani unsure kemutlakan Tuhan serasa sangat dominan dalam keseluruhan teks Alquran. Dengan demikian jastifikasi paham jabariah tidak dapat dipungkiri didukung penuh oleh nalar bayani bangsa Arab di masa tersebut. Pengaruh lingkungan seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bukanlah sebab utama mengapa paham jabariah itu muncul kepermukaan. Boleh jadi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi lahirnya paham ini.

Nalar bayani telah membentuk konsepsi paham jabariah secara mendalam. Pendekatan skipturalis berlaku mutlak dalam memahami kehendak bebas mutlak Tuhan. Hingga tema-tema teologis mengenai kebebasan, kehendak, perbuatan, takdir, nilai baik dan buruk hingga pengenalan manusia dengan Tuhan hanya bisa dipahami berdasarkan keterangan teks. Pendekatan lain tidak memungkinkan dikarenakan realitas ditundukkan di bawah otoritas teks. Dengan demikian paham ini mengabaikan hukum kausalitas dan dimensi lain di luar teks. Jabariah beranggapan bahwa segala hal yang terjadi tidak memerlukan hukum sebab akibat tetapi langsung terjadi begitu saja bedasarkan kewenangan Tuhan.

Gambaran demikian semakin mengukuhkan kemapanan paham jabariah yang wacananya diproduksi berdasarkan pendekatan bayani. Hal ini menutupi kemungkinan pendekatan lain, selain cara bayani tersebut. Sehingga dengan mudah klaim-klaim teologi yang muncul dari paham ini mengikuti alur teks dalam Alquran maupun hadist secara tekstual. Pendekatan sejarah dalam formulasi tersebut kelihatannya diabaikan.

Hingga kini paham jabariah sebagai salah satu paham teologi dalam Islam mengalami stagnasi wacana dan hampir dipastikan tidak ada pengetahuan baru atas konsepsi teologinya. Yang ada adalah wacana teologi yang diproduksi terus-menerus secara berulang-ulang.

B. Konsepsi paham qadariah

Qadariah berbendapat beda dengan jabariyah. Menurut paham ini manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya hingga paham ini dikatakan menganut paham free will atau free act.[8] Paham ini dimulai dari seorang yang bernama Ma’bad Aljuhaini (w. 699 M) dan Abu Warwan Ghailan ibn Warwan al-Dimasqi al-Qutbi (w. 730 M) sekitar tahun 80 H.[9] Menurut Ghailan manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan perbuatannya sendiri, termasuk kemampuan menentukan yang baik dan yang buruk hingga setiap pebuatan manusia baik jahat maupun baik dilaksanakan dengan dayanya sendiri.[10] Dari pandangan ini dapat dilihat betapa konsepsi free wil dalam paham jabariah menjadi dasar keyakinan teologi kaum qadariah.

Jika dilihat dari penyataan paham qadariah tentang kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya sendiri, nampaknya cara berpikir demikian tidak otentik dengan tradisi awal Islam. Pemahaman teologi dengan paradigma demikian telah melibatkan metodologi filsafat di mana alur logika teologis yang terbentuk telah melibatkan pandangan-pandangan akal (selain teks).

Dalam Islam hubungan antara teks (wahyu) dan akal seringkali mengalami ketegangan, seperti yang terjadi dalam kontroversi muktazilah (paham qadariah) dan asyariah (paham jabariyah), walaupun dalam sejarahnya, akal dan wahyu tidak pernah benar-benar diposisikan pada domain yang saling berbenturan atau saling meniadakan.

Safi mengemukakan, bahwa akal adalah sebuah body of knowledge yang meliputi; klaim-klaim transendental tempat kebenaran dipostulasikan. Akal dalam pengertian ini memiliki struktur yang serupa dengan wahyu. Karena itu hubungan akal dan wahyu dapat ditinjau dalam dua cara. Pertama, akal bekerja dari dalam, sebagai sarana organik ketika berbicara soal wahyu. Kedua, akal bekerja dari luar kedalam wahyu. Implikasi keduanya berbeda secara metodologis. Yang pertama, menurut safi, mencerminkan cara pandang Islam, dan yang kedua mencerminkan cara pandang sekuler.[11] Pilihan seperti ini kelihatannya berlaku secara dikotomis, menempatkan teks sebagai otoritas akal, ataukah menjadikan akal sebagai terpisah secara mekanis sesuai dengan alurnya yang otonom. Dengan demikian akal dalam konteks ini bukanlah sebagai sumber tetapi lebih sebagai cara atau metode, mengungkapkan pengetahuan. Dalam paham teologi qadariah, peranan akal sangat urgen dalam menentukan klaim-klaim teologisnya, sebab akal ditempatkan sebagai penjelasan teks-teks (wahyu).

Terkait dengan kontroversi antara paham jabariah dan paham qadariah akibat perbedaan dalam mengintrodisir teks dan kemampuan akal dalam melahirkan klaim teologis, nampaknya epistemologi bayani yang dominan pada paham jabariyah dianggap belum cukup memberikan makna “benar” terhadap teks sebagai sumber pengetahuan teologis. Karena itu dibutuhkan cara lain untuk meraih kebenaran-kebenaran yang belum sampai di raih oleh metode bayani dalam menentukan makna teks.

Teks sebagai sumber pengetahuan teologi jabariyah dalam hal ini, nampaknya belum cukup sebagai sumber, dan epistemologi bayani, sebagai metode dalam mengungkapkan kebenaran teks nampaknya masih terkendala pada persoalan, sejarah dan kultur kecendikiawan umat Islam.[12] Sebagaimana Nasr Hamid mengkritik: bahwa mereka (para ulama), membuat sejumlah ukuran dan persyaratan. Hal ini karena mereka mempunyai konsepsi bahwa pengetahuan tentang makna Alquran, hanya dapat diketahui melalui naql dan periwayatan, dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad (akal). oleh karena itu, mereka membatasi wilayah ijtihad dengan cara bagaimana menghadapi dan mentarjih riwayat-riwayat yang ada.”[13]

Menurutnya, bahwa pendekatan pola bayani model ini mempunyai banyak kelemahan jika dihadapkan dengan kondisi yang berkembang. Masalah periwayatan baru muncul pada masa tabi’in, yang juga berarti pemaham pada masa itu menyangkut kondisi internal dan eksternal teks (riwayat) yang diterima melalui perantara sahabat tidak semakna dengan teks pertama.

Faktor ini bisa jadi karena zaman dan juga kelalaian sebagai manusia biasa. Faktor lain adalah pada masa tabi’in itu adalah era pertarungan politis yang mempengaruhi kondisi intelektual para tabi’in. Sehingga menetapkan para rawi yang terpercaya tidak terlepas dari bias ideologis masing-masing periwayat terhadap periwayat yang lain.[14] Tawaran dari sanggahan ini, adalah, hak ijtihad dengan mentarjih riwayat-riwayat yang beda secara lebih signifikan, yaitu dengan bersandar pada sejumlah unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal yang membentuk teks.

Tanda-tanda ini bisa dicapai dari luar teks maupun dari dalam teks, apakah dalam strukturnya yang unik atau dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dari teks secara umum (realitas). Mayoritas ulama dulu, adalah bahwa mereka tidak mendapatkan cara lain selain bergantung pada relaitas internal teks. Oleh karena itu makna, baiknya diungkapkan dari dalam teks dengan tidak menafikan pengetahuan melalui konsepsi eksternalnya. Analisa ini mengabungkan antara “luar” teks dengan “dalam” teks yang masing-masing tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan dalam gerak bolak-balik secara tepat dan cepat[15]

Gambaran mengenai efektifitas teks sebagai sumber pengetahuan paham teologi Islam, dapat dilihat dari posisi Alquran sebagai sumber utama (teks), yang nyatanya tetap menyisakan debat, terutama dari segi cara memproduksi wacana teologis. Karena pada posisi demikian Alquran, tidaklah berdiri sendiri sebagai teks suci. Nalar manusia terlibat dalam mengungkapkan makna teks dengan melibatkan sejarah atau tuntutan realitas disekitarnya. Alquran absolut dalam pengertian dari Allah swt., tetapi profan dalam pengertian bagaimana Alquran memproduksi wacana teologis.

Nampaknya mayoritas teolog muslim, belum sampai pada “perdebatan” metode tentang sejauh makna teks sebagai sumber dan tolak ukur pengetahuan dalam melahirkan klaim-klaim teologis, bila teks dibenturkan dengan realitas (akal).

Posisi paham qadariyah justru lahir dari arena di luar teks, yaitu akal. Sehingga klaim-klaim tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dengan mudah dapat dimengerti berdasarkan pretensi akal. Pendekatan ini lalu berkembang menjadi cirri paripatetik yakni sebuah cara berpikir yang konon kabarnya melahirkan babakan modern di Eropa. Cara berpikir ini dapat dengan mudah dijumpai pada tokoh-tokoh pemikir Islam abad pertengahan, semisal ibnu Rusdy. Sedangkan cara berpikir bedasarkan teks dapat dilihat pada pola berpikir Algazali. Ibn Rusdy bepikir ala qadariyah dan Algazali dapat dianggap mewakili cara perpikir jabarianisme.

Implikasi dari cara berpikir aliran-aliran teologi tesebut antara jabariah dan qadariah, berlaku dan dapat dilihat pada realitas social dan historis ummat Islam baik secara individu maupun kelompok. Kedua cara berpikir teologi ini bisa jadi akan berhubungan dengan etos kerja ummat Islam yang selanjutnya akan berimplikasi pada kehidupan social ummat Islam secara luas hingga terbentuknya peradaban. Secara pasti dua pemahaman ini memiliki konsekwensi bukan saja teologis, tetapi lebih dari sekedar itu, kedua pemahaman ini akan sangat mempengaruhi sejarah tumbuhkembangnya kehidupan ummat Islam. Hal demikian dapat terjadi bila wacana teologi dalam Islam dapat menunjang zaman yang terus bergerak.

C. Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini

Masalah teologi dalam Islam telah melewati sekian banyak tahapan sejarah ummat manusia. Dari abad klasik hingga abad posmodernisme sekarang wacana teologi Islam nyatanya tidak terlalu beranjak jauh dari bentuk lahirnya, baik tema maupun bentuk metodologinya. Perdebatan transendental spekulatif mengenai sifat Tuhan, kebebasan manusia, apakah Alquran mahluk atau bukan tetap saja menjadi tema pokok dalam wacana teologi Islam. Hal ini bisa dipahami karena tema-tema pokok teologi berdasar pada masalah tersebut. Tetapi masalahnya adalah mengapa wacana teologi dalam Islam tidak beranjak dari tema-tema tersebut menuju pada tema yang lebih historis social, yang lebih dekat pada sisi praktis kehidupan manusia sekarang, misalnya tentang HAM, kemiskinan, demokrasi, kapitalisme, globalisasi ekonomi, pemanasan global, masalah perempuan dan lain sebagainya.

Idealnya, seharusnya pengetahuan teologi dapat berdaya guna bagi kehidupan manusia sebab fungsi utama dari keilmuaan teologi adalah mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik dan benar. Dalam merespon tujuan tersebut wacana teologi wajib mengikuti dinamika zaman, sebab jika tidak demikian, maka teologi dikatakan tidak fungsional terhadap daya hidup ummat. Dengan demikian wacana teologi harus berbanding lurus dengan sisi sejarah dan realitas ummat.

Pengembangan wacana teologi dari wacana dasarnya telah dilakukan oleh beberapa kalangan terbatas, semisal apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi dengan transfomasi teologi dari wacana transenden menuju wacana revolusi praktis untuk menggerakkan masyarakat Islam untuk mendapatkan kembali kejayaan sosialnya seperti yang pernah tecapai pada masa kejayaan Islam sebelumnya.[16] Demikian juga apa yang serukan oleh Fazlurrahman, seorang pemikir Islam yang terusir dari Pakistan, kampung halamannya sendiri, menyatakan perlunya rekonstuksi sistematis pada bangunan keilmuan teologi Islam yang ada sekarang.[17] Upaya-upaya perubahan, baik metode maupun tema teologi Islam telah diusahakan oleh pemikir-pemikir Islam neo modernism, sekalipun hanya dalam kalangan terbatas.

Di antara usaha-usaha demikianlah, tema teologi Islam seharusnya menemukan kembali relevansinya. Jika dinamika tersebut diamati dimanakah posisi paham-paham teologi Islam di masa kini? Dan bagaimana seharusnya paham-paham tersebut berlaku? Dan di mana relevansi paham-paham tersebut dalam era masa kini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya dimulia dari tinjauan epistemologi paham atau aliran dari teologi yang dimaksud. Dalam hal ini penulis telah menguraikan dengan singkat masalah epistemologi dari paham jabariah maupun qadariah (yang menjadi tema dalam makalah ini). Dari pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik jabariah maupun qadariyah mempunyai peristiwa epistemologi yang berbeda. Epistemologi yang berbeda akan melahirkan cara pandang dan aksi yang berbeda pula. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan kronologis di masa pemerintahan khalifah Alma’mun, di mana pada masa tersebut aliran teologi muktazilah diadopsi sebagai paham resmi negara dan dapat dilihat beberapa kemajuan yang terkait dengan dimensi pemahaman teologi liberal tersebut. Pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan mengalami ekspansi hingga melewati batas-batas normative tradisi Islam sebelumnya. Meskipun secara politis ada beberapa masalah, dintaranya kasus mihna. Tetapi pengaruh aliran teologi muktazilah yang berpaham qadariah jelas memiliki implikasi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut.

Terlepas dari perbedaan antara paham jabariah dan paham qadariah dalam memahami kewenangan Tuhan, di mana tema semacam ini dianggap sebagai tema pokok teologi Islam klasik, tetapi implikasi kedua paham ini akan ditinjau pada sisi realitas empiric ummat Islam. Tentu saja pendekatan ini telah dianggap cukup transformatif meskipun tetap saja masi diaggap kurang maksimal, karena realitas maju mundurnya ummat Islam pada masa kini belum tentu digerakkan oleh pemahaman apakah mereka berpaham jabariah ataukah berpaham qadariyah. Atinya korelasi paham teologi dengan gerak sejarah ummat Islam abad post modern sekarang sangat komplek untuk ditentukan. Hal itu terjadi karena abad ini adalah abad social-ekonomi dan politik yang penuh dengan siliweran isme-isme.[18]

Ada beberapa contoh yang dapat dilihat mengenai hal tersebut: di kampung saya hampir dapat dipastikan masyarakatnya menganut paham jabariah ekstrim, tetapi mereka mempunyai etos kerja yang sangat tinggi. Waktu (jam) kerja masyarakat tersebut dimulai dari jam 05:30, setelah shalat subuh. Yang petani berangkat ke sawah dan ladangnya yang pedagang berangkat ke pasar dan mereka masing-masing pulang ke rumahnya setelah hampir magrib. Jam istirahat hanya di waktu makan dan shalat saja. Penghasilan mereka rata-rata dibawah standar kehidupan ekonomi modern. Artinya keterkaitan antara paham jabariah yang dianut masyarakat di kampung saya memang kelihatan berbanding lurus dengan kondisi keuangan mereka, karena mereka dianggap fatalism. Tetapi variable ini tidak berlaku mutlak jika diadakan survey lebih lanjut. Hasilnya adalah, kehidupan ekonomi mereka dapat saja lebih baik jika harga dari hasil tani mereka dinilai lebih layak oleh pasar. Faktanya tidak demikian, karena harga terkait dengan banyak variable lain, misalnya regulasi dan kebijakan pemerintah, mazhab ekonomi, kemampuan kompetisi dan lain-lain.

Realitas ini membuktikan bahwa daya fungsi teologi Islam di masa sekarang, baik jabariah maupun qadariya dan paham lainnya, tidak maksimal khususnya dikalangan massa Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan wacana teologi Islam mengalami stagnasi pemikiran. Amin Abdulah melihat masalah tersebut diakibatkan oleh beberapa factor. Yang petama, adalah hilangnnya daya kritis ummat terhadap masalah-masalah keagamaan termasuk soal teologi. Kedua, akibat trauma perseteruan pemikiran al-Gazali dan Ibnu Zina. Ketiga akibat dominasi pemikiran syariah formalistic.[19] Dan tidak berkembangnya pemikiran filosofis dikalangan ummat Islam yang menghilangkan daya nalar ummat dalam melahirkan ide-ide segar. Keadaan ini menjadikan pemikiran teologi ummat Islam stagnan ditempat dan kehilangan tema di masa kini.

Dalam posisi demikianlah persoalan paham teologi dipandang dan dicermati. Demikianpun tentang teologi jabariah maupun qadariah, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut. Peranan kedua model teologi ini akan dirasakan jika tema-tema yang diangkat bersentuhan langsung dengan problem massa Islam modern. Berbagai masalah social kemanusian yang mengemuka harus ditransformasikan lewat issu-issu teologi masyarakat. Sebab bagaimanapun potensi menggerakkan massa Islam harus lahir dari inti kepercayaan agamanya. Dan sebaliknya pula roh ajaran agama ini harus dapat mengubah dan mengantar ummatnya ke arah yang lebih baik.

Tawaran dari persoalan ini adalah :

· Harus dilakukakan upaya kritis terhadap teologi Islam

· Harus ada rekonstruksi pemahaman teologi Islam

· Harus ada transfomasi teologi dari transcendent spekulatif menuju teologi fungsional.

· Wacana teologi harus terus berkembang baik tema maupun metodenya

· Ummat Islam harus terus kritis dan membuka wawasan berpikir dan berani menerima gagasan globalisasi pemikiran dari kelompok manapun (pluralisme)

II. PENUTUP

a. Simpulan

simpulan makalah ini adalah :

1. Konsepsi paham jabariah menempatkan manusia pada posisi menerima segala kehendaknya sebagai kehendak kemutlakan Tuhan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan cara paham teologi ini memproduksi klaim teologinya.

2. Konsepsi paham qadariyah menempatkan manusia sebagai mahluk bebas dalam berkehendak. Paham ini menggunakan akal (di luar teks sebagai cara memperoleh pengetahuan tentang kebebasan itu).

3. peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini tidak maksimal dikarenakan pada umumnya wacana teologi Islam tidak bersentuhan langsung dengan konteks massa muslim dewasa ini.

b. Implikasi

Beberapa implikasi:

· Pada umumnya wacana teologi Islam belum beranjak dari suasana abad pertengahan. Padahal diperlukan adanya formula teologi masa kini untuk menyikapi masalah-masalah yang terus bergerak maju, misalnya; tentang HAM, issu gender, tentang pembangunan, lingkungan hidup, ketimpangan ekonomi dunia (kapitalisme), tentang implikasi kemajuan tehnologi informasi, tentang wacana pasca moderisme, pluralisme, nasionalisme dan lain sebagainya.

· Teolog muslim harus berani mengambil sikap melawan pakem atau arus yang terlanjur mengkristal dalam wacana teologi Islam, lalu mengambil sikap baru (ijtihad)



[1] Makalah pengantar seminar kelas pada mata kulia SKPI program doctoral yang dipandu Prof. Qasim Mathar dan oleh Prof. Samian Katu, M.Ag, senin, 28-10-2009

[2] Terutama dalam tradisi Islam Sunni kedua pemahan teologis ini telah berdiri berhadap-hadapan hingga sekarang. Dalam kasus Islam Indonesia hal ini dapat dilihat dari wacana pemikiran teologis Islam antara kelompok Islam liberal dengan Islam puritan.

[3] Menurut Abu Zahra paham jabariah munjul sejak zaman sahabat yaitu pada masa pemerintahan dinasti Umayyah yang dimunculkan pertama kali oleh Jaad bin Dirham dan dikembangkan oleh Jahm bin Safwan (jahmiyah). Keterangan demikian dapat dilihat dalam Ensiklopedia Islam, (Cet III: Jakarta; PT Ihtiar Van Hoeve Jakarta, 1994), h. 293

[4] Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet.V; Jakarta; UI Pess, 1986), h. 31-32

[5]Lebih jauh lihat, M.Amin Abdullah, al-Ta’wil al-Ilm dalam, Jurnal al-Jamiah, (Vol. 39 Number 2 Juli 2001), h. 361.

[6] Latar historis yang mewarnai pembentukan epistemologi khususnya model epistem bayani, disebut sebagai nalar Arab, direkam baik oleh Muhammad Abed al-Jabiri dalam bukunya, Post Tradisionalisme Islam, alih bahasa, Ahmad Baso, (Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 32-39.

[7]Adnin Armas, Kajian Awal Tentang Epistemologi, Makalah

[8] Selengkapnya lihat The oxford Encylopedia of the Moden Islamic Wold, (vol. IV; New York: Oxfod University Press, 1995), h. 215

[9] Ahmad Amin, Fajr al-Islam,(Kairo; Maktabah Annahda, 1965), h. 254

[10] Lihat Ali Mustafa Al-ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, (cet. VI; Kairo: Maktabah Annahda, 1978), h. 34-35

[11]Safi Louay, The For An Islamic Methodology; The Islamization of Knowledge Projeth In Its Secon, (Journal AJISS), h. 26.

[12] Masalah ini dapat dilihat dari uraian para pemikir Islam kontemporer yang senantiasa menggugat otoritas teks atas sejarah atau realitas. Lebih jauh lihat, proyek pemikiran, lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, al-Hujjah al- Aqli fi al-Tafsir; Dirasah fi Qhadiyyat al-Majaz fi al-Quran inda al-Mutazilah, alih Bahasa Abdurahman Kasdi & Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam Alquran Menurut Muktazilah, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003) Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum An-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa, Khoiran Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an, (Cet. II; Yogyakarta: LkiS, 2002).

[13]Ibid. h. 131.

[14]Ibid, h. 132-134.

[15]Ibid, h. 134.

[16] Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah. Lihat Hasan Hanafi, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kazagu Shimogaki, dengan tema, Between Modernty and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi Though; A Critical Reading, diterjemahkan oleh Imam Aziz &Yadul Maula, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Posmodernisme, (Cet. V; Jogyakarta: LkiS, 2000)

[17] Tema-tema pembaharuan Fazlur Rahman tesebar dalam tulisan-tulisannya, baik jurnal, artikel maupun buku. Salah satunya lihat, Islamic Modernism; Its Scope, Method and Alternatives, (vol. IV; IJMES: Cambride), h. 321-335. lihat juga, Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1995), h. 83

[18] Siliweran Isme-isme itu dapat dilihat bersumber dari dua periode penting. Pertama periode modern yang ditandai dengan bengkitnya bangsa Eropa dari masa gelap dengan ciri kebangkitan dari beberapa unsur, yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani, Agama Kristen dan Agama Yahudi dengan tokoh pemikir semacam, Parmedines, Plato, Descartes, Spinoza, Lebniz, Prancis Bacon, Locke dan Hume. Dari para tokoh inilah berkembang pemikiran yang bercorak sekular, rasional, empirik, pragmatisme yang bermuara pada liberalisme. Kedua periode postmodern, kelanjutan dari modern, corak libralisme tetap saja mendominasi dan tetap mendikotomikan antara pengetahuan dan keilahiaan. Lihat! Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalime pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, orentalis dan kolonialis, dalam makalah yang disampaikan pada seminar sehari, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh IKPM Cab Sulsel, 15 Maret 2008.

[19] Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodenisme, (Cet. IV; Jogyakarta; Putaka Pelajar, 2009) h. 37-44