Transendent

DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK

(Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini)

Oleh Akmal[1]

A. Latar belakang masalah

Dalam tradisi Islam dikenal ada beberapa aliran teologi yang berkembang sejak awal kehadiran Islam. Diantara aliran-aliran teologi tersebut, pada umumnya hanya memiliki dua pilihan pemikiran khususnya yang terkait dengan wacana “tentang kehendak” dan “perbuatan” manusia.

Pilihan pertama mempertegas bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam menentukan perbuatannya sendiri, setelah sebelumnya manusia dibebani dengan potensi untuk berbuat. Pilihan kedua mempertahankan kesan bahwa manusia hanya melakukan perbuatan berdasarkan ketentuan Tuhan tanpa kemampuan memilih perbuatannya sendiri. Kedua gaya pemikiran tersebut berlaku cukup ekstrim diantara ragam aliran-aliran teologi yang ada tesebut. Bahwa manusia memiliki kekendak untuk menentukan perbuatannya; cara berpikir teologi ini selanjutnya disebut qadariah. Pemahaman teologi, bahwa manusia hanya melakukan perbuatan bedasarkan ketentuan Tuhan tanpa kemampuan memilah disebut qadariah.

Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik jabariah maupun qadariah berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Ummat Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut[2] dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah ummat manusia secara global.

Sebab pendekatan teologi an sich, dalam menilai ummat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu jabariyah dan qadariahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.

Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (jabariyah dan qadariah) dalam optic masa kini atau kejabariahan dan keqadariahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana perkembangan paham jabariyah dan qadariah dalam dunia Islam masa kini? Sub masalah :

a. Bagaimana konsepsi kedua paham ini?

b. Sejauh mana peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini?

I. PEMBAHASAN

A. Konsepsi Paham Jabariah

Secara etimologis jabariyah mengandung arti memaksa yang berarti Tuhan sebagai yang maha kuasa bersifat, berkehendak mutlak atas manusia. Dalam kotegori inilah manusia melakukan segala sesuatu secara tepaksa (majbur) berdasarkan ketentuan Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak. Segala yang diperbuatnya telah ditentukan sebelumnya atas kuasa takdir (qada’ dan qadar) Tuhan.[3] Berdasarkan deskripsi tersebut maka paham jabariah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah paham yang mengerdilkan hingga menghilangkan semua kemampuan dan kebebasan manusia dalam berkehendak. Berdasarkan definisi tersebut, maka paham jabariah terkadang dianggap sebagai paham yang patalism atau paham yang melihat manusia yang tak memiliki celah ihtiar dalam melakukan kehendaknya.

Harun Nasution melihat latar sejarah munculnya paham ini berdasarkan anilisis sosial dengan penekanan pada situasi lingkungan kehidupan bangsa Arab yang sangat ekstrim di masa itu. Suasa padang pasir dengan panasnya yang terik dan hamparan tanah yang enggan ditumbuhi tanaman, membuat bangsa Arab merasa tidak memiliki kemampuan kecuali menyerah pada kehendak natur.[4] Dengan demikian manusia merasa dirinya lemah dan sekaligus tidak mempunyai kemampuan mengubah. Analisa demikian nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran perubahan social Aguste Comte yang mendasarkan tahapan-tahapan perubahan social bermula dari kesalahan manusia melihat alam hingga kebangkitan agama (monoteisme) yang mengantar lahirnya tahapan pamungkas yaitu peradaban positivisme. Dengan demikian latar belakang ihwal lahirnya paham jabariah dalam tradisi Islam dalam versi Harun Nasution nampaknya bias dari pendekatan europasentrisme. Sebab jika hanya berdasarkan pada situasi lingkungan yang melahirkan paham jabariah, maka tradisi (paradigma) kejabariahan tidak akan terjadi dilingkungan yang subur, seperti Indonesia misalnya. Tetapi faktanya tidak demikian.

Melacak latar historis sebuah paham sebaiknya ditelusuri berdasarkan latar epistemologis mengapa paham tersebut lahir. Dalam pandangan penulis lacakan epistemologi memuat keseluruhan peristiwa lahirnya sebuah paham, jauh lebih komprehensif dibandingkan jika penelusuran hanya berdasarkan pada analisis sosial semata, seperti yang diuraikan oleh Harun Nasution tentang latar belakang jabariah lahir sebagai sebuah paham. Pendekatan epistemologis mencakup dimensi sejarah dan realitas manusia dalam melahirkan paradigma dalam era tertentu.

Jabariah lahir di saat bangsa Arab sangat diuntungkan oleh kehadiran teks kitab suci Alquran. Dimana setiap teks dianggap memiliki otoritas dalam menentukan setiap pikiran dan tindakan ummat. Tetapi konsepsi itu mengalami pergeseran setelah kewafatan nabi Muhammad saw. Makna teks yang sebelumnya absolute tunggal, di bawah otoritaf Muhammad saw, bergeser dari absolute kemakna interpretative, hingga makna teks menjadi plural. Dalam keadaan demikian teks-teks yang sebelumnya tidak dipertentangkan menjadi dipertentangkan karena diinterpretasi secara berbeda, demikian juga dengan teks yang berdimensi teologis maknanya telah menjadi tidak tunggal (disepakati). Perbedaan interpretasi atas teks mengandung makna lain yaitu adanya cara atau metodologi yang berbeda dalam mehamai sebuah teks.

Dalam tradisi Islam pengetahuan atas teks lebih dikenal dengan istilah berpikir dengan pendekatan bayani atau epistemologi bayani. Metode bayani adalah metode rasional atau deduktif yang dalam masyarakat Islam metode tersebut lebih lekat dengan tradisi teks yang sering kali dipakai sebagai sumber menjustifikasi kebenaran.[5] Metode semacam ini, membatasi wilayahnya pada hal-hal yang telah diketahui secara umum, untuk kemudian digeneralisasi dalam bentuk proposisi-propsisi yang menghasilkan kongklusi. Dalam pandangan al-Jabiri, metode semacam ini biasanya lemah dalam menentukan sebuah sebuah makna, karena makna (teks) sering kali keluar dari konteks (ahistoris).[6] Dalam tradisi masyarakat muslim, metode ini memuncak pada zaman pengkodifikasian ilmu pengetahuan dalam Islam, disekitar pertengahan abad II hijriah. Selanjutnya dinamika pengetahuan Islam, mengalami sebuah stagnasi metodologis, hingga kemunculan metodologi alternatif dari berbagai sumber-sumber non-muslim, meski pun kemudian hanya bermain di wilayah pinggiran saja.

Ciri metode bayani ini, dapat dilihat dari apa yang disebut oleh Adnin Armas, sebagai metode ilmu pengetahuan dalam Islam yang bersumber dari wahyu (teks), dengan saluran-saluran sebagai berikut:

1. Panca indera (hawas): Panca indera eksternal: sentuhan (touch), penciuman (smell), rasa (taste), penglihatan (sight) dan pendengaran (hearing). Panca indera internal: akal sehat (common sense), representasi (representation), estimasi (estimation), retensi (retention), rekoleksi (recollection) dan khayalan (imagination).

2. Riwayat benar (khabar sadiq) berdasar kepada otoritas (naql): otoritas mutlak (absolute authority), otoritas Tuhan (divine authority) seperti Alqur’an, otoritas kenabian (prophetic authority), yaitu Nabi.

3. Otoritas relatif

4. Ijma para ulama (tawatur)

5. Riwayat orang-orang yang amanah secara umum

6. Intelek (aql)

7. Akal sehat (ratio)

8. Intuisi (hads, wijdan).[7]

Saluran-saluran pengetahuan demikan nampaknya belum memadai untuk melegitimasi sebuah kehadiran ilmu pengetahuan secara sempurna. Karena apa yang dimaksudkan barulah terjadi pada tahap interpretasi teks semata. Pada metode semacam ini, akal dipandang tidak dapat memberi pengetahuan dan mengambil keputusan kecuali didasarkan pada teks Alquran. Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nas) dan yang dimaksud nas adalah teks Alquran dan Hadis.

Paham teologi jabariah lahir dan berkembang atas dasar epistemologi bayani, fakta demikian dapat dilihat dari argument-argumen teks yang dibangun atasnya. Meskipun di antara teks tersebut terdapat makna yang mengarah pada arti qadariah namun konsekwensi nalar bayani yang terlanjur lekat dalam struktur berfikir bangsa Arab telah mengabaikan unsure lain di luar teks hingga ungkapan teks secara pasti akan mendukung kemahamutlakan Tuhan terhadap manusia (semua ciptaanNya).

Dengan pendekatan nalar bayani unsure kemutlakan Tuhan serasa sangat dominan dalam keseluruhan teks Alquran. Dengan demikian jastifikasi paham jabariah tidak dapat dipungkiri didukung penuh oleh nalar bayani bangsa Arab di masa tersebut. Pengaruh lingkungan seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bukanlah sebab utama mengapa paham jabariah itu muncul kepermukaan. Boleh jadi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi lahirnya paham ini.

Nalar bayani telah membentuk konsepsi paham jabariah secara mendalam. Pendekatan skipturalis berlaku mutlak dalam memahami kehendak bebas mutlak Tuhan. Hingga tema-tema teologis mengenai kebebasan, kehendak, perbuatan, takdir, nilai baik dan buruk hingga pengenalan manusia dengan Tuhan hanya bisa dipahami berdasarkan keterangan teks. Pendekatan lain tidak memungkinkan dikarenakan realitas ditundukkan di bawah otoritas teks. Dengan demikian paham ini mengabaikan hukum kausalitas dan dimensi lain di luar teks. Jabariah beranggapan bahwa segala hal yang terjadi tidak memerlukan hukum sebab akibat tetapi langsung terjadi begitu saja bedasarkan kewenangan Tuhan.

Gambaran demikian semakin mengukuhkan kemapanan paham jabariah yang wacananya diproduksi berdasarkan pendekatan bayani. Hal ini menutupi kemungkinan pendekatan lain, selain cara bayani tersebut. Sehingga dengan mudah klaim-klaim teologi yang muncul dari paham ini mengikuti alur teks dalam Alquran maupun hadist secara tekstual. Pendekatan sejarah dalam formulasi tersebut kelihatannya diabaikan.

Hingga kini paham jabariah sebagai salah satu paham teologi dalam Islam mengalami stagnasi wacana dan hampir dipastikan tidak ada pengetahuan baru atas konsepsi teologinya. Yang ada adalah wacana teologi yang diproduksi terus-menerus secara berulang-ulang.

B. Konsepsi paham qadariah

Qadariah berbendapat beda dengan jabariyah. Menurut paham ini manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya hingga paham ini dikatakan menganut paham free will atau free act.[8] Paham ini dimulai dari seorang yang bernama Ma’bad Aljuhaini (w. 699 M) dan Abu Warwan Ghailan ibn Warwan al-Dimasqi al-Qutbi (w. 730 M) sekitar tahun 80 H.[9] Menurut Ghailan manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan perbuatannya sendiri, termasuk kemampuan menentukan yang baik dan yang buruk hingga setiap pebuatan manusia baik jahat maupun baik dilaksanakan dengan dayanya sendiri.[10] Dari pandangan ini dapat dilihat betapa konsepsi free wil dalam paham jabariah menjadi dasar keyakinan teologi kaum qadariah.

Jika dilihat dari penyataan paham qadariah tentang kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya sendiri, nampaknya cara berpikir demikian tidak otentik dengan tradisi awal Islam. Pemahaman teologi dengan paradigma demikian telah melibatkan metodologi filsafat di mana alur logika teologis yang terbentuk telah melibatkan pandangan-pandangan akal (selain teks).

Dalam Islam hubungan antara teks (wahyu) dan akal seringkali mengalami ketegangan, seperti yang terjadi dalam kontroversi muktazilah (paham qadariah) dan asyariah (paham jabariyah), walaupun dalam sejarahnya, akal dan wahyu tidak pernah benar-benar diposisikan pada domain yang saling berbenturan atau saling meniadakan.

Safi mengemukakan, bahwa akal adalah sebuah body of knowledge yang meliputi; klaim-klaim transendental tempat kebenaran dipostulasikan. Akal dalam pengertian ini memiliki struktur yang serupa dengan wahyu. Karena itu hubungan akal dan wahyu dapat ditinjau dalam dua cara. Pertama, akal bekerja dari dalam, sebagai sarana organik ketika berbicara soal wahyu. Kedua, akal bekerja dari luar kedalam wahyu. Implikasi keduanya berbeda secara metodologis. Yang pertama, menurut safi, mencerminkan cara pandang Islam, dan yang kedua mencerminkan cara pandang sekuler.[11] Pilihan seperti ini kelihatannya berlaku secara dikotomis, menempatkan teks sebagai otoritas akal, ataukah menjadikan akal sebagai terpisah secara mekanis sesuai dengan alurnya yang otonom. Dengan demikian akal dalam konteks ini bukanlah sebagai sumber tetapi lebih sebagai cara atau metode, mengungkapkan pengetahuan. Dalam paham teologi qadariah, peranan akal sangat urgen dalam menentukan klaim-klaim teologisnya, sebab akal ditempatkan sebagai penjelasan teks-teks (wahyu).

Terkait dengan kontroversi antara paham jabariah dan paham qadariah akibat perbedaan dalam mengintrodisir teks dan kemampuan akal dalam melahirkan klaim teologis, nampaknya epistemologi bayani yang dominan pada paham jabariyah dianggap belum cukup memberikan makna “benar” terhadap teks sebagai sumber pengetahuan teologis. Karena itu dibutuhkan cara lain untuk meraih kebenaran-kebenaran yang belum sampai di raih oleh metode bayani dalam menentukan makna teks.

Teks sebagai sumber pengetahuan teologi jabariyah dalam hal ini, nampaknya belum cukup sebagai sumber, dan epistemologi bayani, sebagai metode dalam mengungkapkan kebenaran teks nampaknya masih terkendala pada persoalan, sejarah dan kultur kecendikiawan umat Islam.[12] Sebagaimana Nasr Hamid mengkritik: bahwa mereka (para ulama), membuat sejumlah ukuran dan persyaratan. Hal ini karena mereka mempunyai konsepsi bahwa pengetahuan tentang makna Alquran, hanya dapat diketahui melalui naql dan periwayatan, dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad (akal). oleh karena itu, mereka membatasi wilayah ijtihad dengan cara bagaimana menghadapi dan mentarjih riwayat-riwayat yang ada.”[13]

Menurutnya, bahwa pendekatan pola bayani model ini mempunyai banyak kelemahan jika dihadapkan dengan kondisi yang berkembang. Masalah periwayatan baru muncul pada masa tabi’in, yang juga berarti pemaham pada masa itu menyangkut kondisi internal dan eksternal teks (riwayat) yang diterima melalui perantara sahabat tidak semakna dengan teks pertama.

Faktor ini bisa jadi karena zaman dan juga kelalaian sebagai manusia biasa. Faktor lain adalah pada masa tabi’in itu adalah era pertarungan politis yang mempengaruhi kondisi intelektual para tabi’in. Sehingga menetapkan para rawi yang terpercaya tidak terlepas dari bias ideologis masing-masing periwayat terhadap periwayat yang lain.[14] Tawaran dari sanggahan ini, adalah, hak ijtihad dengan mentarjih riwayat-riwayat yang beda secara lebih signifikan, yaitu dengan bersandar pada sejumlah unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal yang membentuk teks.

Tanda-tanda ini bisa dicapai dari luar teks maupun dari dalam teks, apakah dalam strukturnya yang unik atau dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dari teks secara umum (realitas). Mayoritas ulama dulu, adalah bahwa mereka tidak mendapatkan cara lain selain bergantung pada relaitas internal teks. Oleh karena itu makna, baiknya diungkapkan dari dalam teks dengan tidak menafikan pengetahuan melalui konsepsi eksternalnya. Analisa ini mengabungkan antara “luar” teks dengan “dalam” teks yang masing-masing tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan dalam gerak bolak-balik secara tepat dan cepat[15]

Gambaran mengenai efektifitas teks sebagai sumber pengetahuan paham teologi Islam, dapat dilihat dari posisi Alquran sebagai sumber utama (teks), yang nyatanya tetap menyisakan debat, terutama dari segi cara memproduksi wacana teologis. Karena pada posisi demikian Alquran, tidaklah berdiri sendiri sebagai teks suci. Nalar manusia terlibat dalam mengungkapkan makna teks dengan melibatkan sejarah atau tuntutan realitas disekitarnya. Alquran absolut dalam pengertian dari Allah swt., tetapi profan dalam pengertian bagaimana Alquran memproduksi wacana teologis.

Nampaknya mayoritas teolog muslim, belum sampai pada “perdebatan” metode tentang sejauh makna teks sebagai sumber dan tolak ukur pengetahuan dalam melahirkan klaim-klaim teologis, bila teks dibenturkan dengan realitas (akal).

Posisi paham qadariyah justru lahir dari arena di luar teks, yaitu akal. Sehingga klaim-klaim tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dengan mudah dapat dimengerti berdasarkan pretensi akal. Pendekatan ini lalu berkembang menjadi cirri paripatetik yakni sebuah cara berpikir yang konon kabarnya melahirkan babakan modern di Eropa. Cara berpikir ini dapat dengan mudah dijumpai pada tokoh-tokoh pemikir Islam abad pertengahan, semisal ibnu Rusdy. Sedangkan cara berpikir bedasarkan teks dapat dilihat pada pola berpikir Algazali. Ibn Rusdy bepikir ala qadariyah dan Algazali dapat dianggap mewakili cara perpikir jabarianisme.

Implikasi dari cara berpikir aliran-aliran teologi tesebut antara jabariah dan qadariah, berlaku dan dapat dilihat pada realitas social dan historis ummat Islam baik secara individu maupun kelompok. Kedua cara berpikir teologi ini bisa jadi akan berhubungan dengan etos kerja ummat Islam yang selanjutnya akan berimplikasi pada kehidupan social ummat Islam secara luas hingga terbentuknya peradaban. Secara pasti dua pemahaman ini memiliki konsekwensi bukan saja teologis, tetapi lebih dari sekedar itu, kedua pemahaman ini akan sangat mempengaruhi sejarah tumbuhkembangnya kehidupan ummat Islam. Hal demikian dapat terjadi bila wacana teologi dalam Islam dapat menunjang zaman yang terus bergerak.

C. Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini

Masalah teologi dalam Islam telah melewati sekian banyak tahapan sejarah ummat manusia. Dari abad klasik hingga abad posmodernisme sekarang wacana teologi Islam nyatanya tidak terlalu beranjak jauh dari bentuk lahirnya, baik tema maupun bentuk metodologinya. Perdebatan transendental spekulatif mengenai sifat Tuhan, kebebasan manusia, apakah Alquran mahluk atau bukan tetap saja menjadi tema pokok dalam wacana teologi Islam. Hal ini bisa dipahami karena tema-tema pokok teologi berdasar pada masalah tersebut. Tetapi masalahnya adalah mengapa wacana teologi dalam Islam tidak beranjak dari tema-tema tersebut menuju pada tema yang lebih historis social, yang lebih dekat pada sisi praktis kehidupan manusia sekarang, misalnya tentang HAM, kemiskinan, demokrasi, kapitalisme, globalisasi ekonomi, pemanasan global, masalah perempuan dan lain sebagainya.

Idealnya, seharusnya pengetahuan teologi dapat berdaya guna bagi kehidupan manusia sebab fungsi utama dari keilmuaan teologi adalah mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik dan benar. Dalam merespon tujuan tersebut wacana teologi wajib mengikuti dinamika zaman, sebab jika tidak demikian, maka teologi dikatakan tidak fungsional terhadap daya hidup ummat. Dengan demikian wacana teologi harus berbanding lurus dengan sisi sejarah dan realitas ummat.

Pengembangan wacana teologi dari wacana dasarnya telah dilakukan oleh beberapa kalangan terbatas, semisal apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi dengan transfomasi teologi dari wacana transenden menuju wacana revolusi praktis untuk menggerakkan masyarakat Islam untuk mendapatkan kembali kejayaan sosialnya seperti yang pernah tecapai pada masa kejayaan Islam sebelumnya.[16] Demikian juga apa yang serukan oleh Fazlurrahman, seorang pemikir Islam yang terusir dari Pakistan, kampung halamannya sendiri, menyatakan perlunya rekonstuksi sistematis pada bangunan keilmuan teologi Islam yang ada sekarang.[17] Upaya-upaya perubahan, baik metode maupun tema teologi Islam telah diusahakan oleh pemikir-pemikir Islam neo modernism, sekalipun hanya dalam kalangan terbatas.

Di antara usaha-usaha demikianlah, tema teologi Islam seharusnya menemukan kembali relevansinya. Jika dinamika tersebut diamati dimanakah posisi paham-paham teologi Islam di masa kini? Dan bagaimana seharusnya paham-paham tersebut berlaku? Dan di mana relevansi paham-paham tersebut dalam era masa kini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya dimulia dari tinjauan epistemologi paham atau aliran dari teologi yang dimaksud. Dalam hal ini penulis telah menguraikan dengan singkat masalah epistemologi dari paham jabariah maupun qadariah (yang menjadi tema dalam makalah ini). Dari pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik jabariah maupun qadariyah mempunyai peristiwa epistemologi yang berbeda. Epistemologi yang berbeda akan melahirkan cara pandang dan aksi yang berbeda pula. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan kronologis di masa pemerintahan khalifah Alma’mun, di mana pada masa tersebut aliran teologi muktazilah diadopsi sebagai paham resmi negara dan dapat dilihat beberapa kemajuan yang terkait dengan dimensi pemahaman teologi liberal tersebut. Pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan mengalami ekspansi hingga melewati batas-batas normative tradisi Islam sebelumnya. Meskipun secara politis ada beberapa masalah, dintaranya kasus mihna. Tetapi pengaruh aliran teologi muktazilah yang berpaham qadariah jelas memiliki implikasi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut.

Terlepas dari perbedaan antara paham jabariah dan paham qadariah dalam memahami kewenangan Tuhan, di mana tema semacam ini dianggap sebagai tema pokok teologi Islam klasik, tetapi implikasi kedua paham ini akan ditinjau pada sisi realitas empiric ummat Islam. Tentu saja pendekatan ini telah dianggap cukup transformatif meskipun tetap saja masi diaggap kurang maksimal, karena realitas maju mundurnya ummat Islam pada masa kini belum tentu digerakkan oleh pemahaman apakah mereka berpaham jabariah ataukah berpaham qadariyah. Atinya korelasi paham teologi dengan gerak sejarah ummat Islam abad post modern sekarang sangat komplek untuk ditentukan. Hal itu terjadi karena abad ini adalah abad social-ekonomi dan politik yang penuh dengan siliweran isme-isme.[18]

Ada beberapa contoh yang dapat dilihat mengenai hal tersebut: di kampung saya hampir dapat dipastikan masyarakatnya menganut paham jabariah ekstrim, tetapi mereka mempunyai etos kerja yang sangat tinggi. Waktu (jam) kerja masyarakat tersebut dimulai dari jam 05:30, setelah shalat subuh. Yang petani berangkat ke sawah dan ladangnya yang pedagang berangkat ke pasar dan mereka masing-masing pulang ke rumahnya setelah hampir magrib. Jam istirahat hanya di waktu makan dan shalat saja. Penghasilan mereka rata-rata dibawah standar kehidupan ekonomi modern. Artinya keterkaitan antara paham jabariah yang dianut masyarakat di kampung saya memang kelihatan berbanding lurus dengan kondisi keuangan mereka, karena mereka dianggap fatalism. Tetapi variable ini tidak berlaku mutlak jika diadakan survey lebih lanjut. Hasilnya adalah, kehidupan ekonomi mereka dapat saja lebih baik jika harga dari hasil tani mereka dinilai lebih layak oleh pasar. Faktanya tidak demikian, karena harga terkait dengan banyak variable lain, misalnya regulasi dan kebijakan pemerintah, mazhab ekonomi, kemampuan kompetisi dan lain-lain.

Realitas ini membuktikan bahwa daya fungsi teologi Islam di masa sekarang, baik jabariah maupun qadariya dan paham lainnya, tidak maksimal khususnya dikalangan massa Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan wacana teologi Islam mengalami stagnasi pemikiran. Amin Abdulah melihat masalah tersebut diakibatkan oleh beberapa factor. Yang petama, adalah hilangnnya daya kritis ummat terhadap masalah-masalah keagamaan termasuk soal teologi. Kedua, akibat trauma perseteruan pemikiran al-Gazali dan Ibnu Zina. Ketiga akibat dominasi pemikiran syariah formalistic.[19] Dan tidak berkembangnya pemikiran filosofis dikalangan ummat Islam yang menghilangkan daya nalar ummat dalam melahirkan ide-ide segar. Keadaan ini menjadikan pemikiran teologi ummat Islam stagnan ditempat dan kehilangan tema di masa kini.

Dalam posisi demikianlah persoalan paham teologi dipandang dan dicermati. Demikianpun tentang teologi jabariah maupun qadariah, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut. Peranan kedua model teologi ini akan dirasakan jika tema-tema yang diangkat bersentuhan langsung dengan problem massa Islam modern. Berbagai masalah social kemanusian yang mengemuka harus ditransformasikan lewat issu-issu teologi masyarakat. Sebab bagaimanapun potensi menggerakkan massa Islam harus lahir dari inti kepercayaan agamanya. Dan sebaliknya pula roh ajaran agama ini harus dapat mengubah dan mengantar ummatnya ke arah yang lebih baik.

Tawaran dari persoalan ini adalah :

· Harus dilakukakan upaya kritis terhadap teologi Islam

· Harus ada rekonstruksi pemahaman teologi Islam

· Harus ada transfomasi teologi dari transcendent spekulatif menuju teologi fungsional.

· Wacana teologi harus terus berkembang baik tema maupun metodenya

· Ummat Islam harus terus kritis dan membuka wawasan berpikir dan berani menerima gagasan globalisasi pemikiran dari kelompok manapun (pluralisme)

II. PENUTUP

a. Simpulan

simpulan makalah ini adalah :

1. Konsepsi paham jabariah menempatkan manusia pada posisi menerima segala kehendaknya sebagai kehendak kemutlakan Tuhan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan cara paham teologi ini memproduksi klaim teologinya.

2. Konsepsi paham qadariyah menempatkan manusia sebagai mahluk bebas dalam berkehendak. Paham ini menggunakan akal (di luar teks sebagai cara memperoleh pengetahuan tentang kebebasan itu).

3. peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini tidak maksimal dikarenakan pada umumnya wacana teologi Islam tidak bersentuhan langsung dengan konteks massa muslim dewasa ini.

b. Implikasi

Beberapa implikasi:

· Pada umumnya wacana teologi Islam belum beranjak dari suasana abad pertengahan. Padahal diperlukan adanya formula teologi masa kini untuk menyikapi masalah-masalah yang terus bergerak maju, misalnya; tentang HAM, issu gender, tentang pembangunan, lingkungan hidup, ketimpangan ekonomi dunia (kapitalisme), tentang implikasi kemajuan tehnologi informasi, tentang wacana pasca moderisme, pluralisme, nasionalisme dan lain sebagainya.

· Teolog muslim harus berani mengambil sikap melawan pakem atau arus yang terlanjur mengkristal dalam wacana teologi Islam, lalu mengambil sikap baru (ijtihad)



[1] Makalah pengantar seminar kelas pada mata kulia SKPI program doctoral yang dipandu Prof. Qasim Mathar dan oleh Prof. Samian Katu, M.Ag, senin, 28-10-2009

[2] Terutama dalam tradisi Islam Sunni kedua pemahan teologis ini telah berdiri berhadap-hadapan hingga sekarang. Dalam kasus Islam Indonesia hal ini dapat dilihat dari wacana pemikiran teologis Islam antara kelompok Islam liberal dengan Islam puritan.

[3] Menurut Abu Zahra paham jabariah munjul sejak zaman sahabat yaitu pada masa pemerintahan dinasti Umayyah yang dimunculkan pertama kali oleh Jaad bin Dirham dan dikembangkan oleh Jahm bin Safwan (jahmiyah). Keterangan demikian dapat dilihat dalam Ensiklopedia Islam, (Cet III: Jakarta; PT Ihtiar Van Hoeve Jakarta, 1994), h. 293

[4] Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet.V; Jakarta; UI Pess, 1986), h. 31-32

[5]Lebih jauh lihat, M.Amin Abdullah, al-Ta’wil al-Ilm dalam, Jurnal al-Jamiah, (Vol. 39 Number 2 Juli 2001), h. 361.

[6] Latar historis yang mewarnai pembentukan epistemologi khususnya model epistem bayani, disebut sebagai nalar Arab, direkam baik oleh Muhammad Abed al-Jabiri dalam bukunya, Post Tradisionalisme Islam, alih bahasa, Ahmad Baso, (Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 32-39.

[7]Adnin Armas, Kajian Awal Tentang Epistemologi, Makalah

[8] Selengkapnya lihat The oxford Encylopedia of the Moden Islamic Wold, (vol. IV; New York: Oxfod University Press, 1995), h. 215

[9] Ahmad Amin, Fajr al-Islam,(Kairo; Maktabah Annahda, 1965), h. 254

[10] Lihat Ali Mustafa Al-ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, (cet. VI; Kairo: Maktabah Annahda, 1978), h. 34-35

[11]Safi Louay, The For An Islamic Methodology; The Islamization of Knowledge Projeth In Its Secon, (Journal AJISS), h. 26.

[12] Masalah ini dapat dilihat dari uraian para pemikir Islam kontemporer yang senantiasa menggugat otoritas teks atas sejarah atau realitas. Lebih jauh lihat, proyek pemikiran, lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, al-Hujjah al- Aqli fi al-Tafsir; Dirasah fi Qhadiyyat al-Majaz fi al-Quran inda al-Mutazilah, alih Bahasa Abdurahman Kasdi & Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam Alquran Menurut Muktazilah, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003) Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum An-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa, Khoiran Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an, (Cet. II; Yogyakarta: LkiS, 2002).

[13]Ibid. h. 131.

[14]Ibid, h. 132-134.

[15]Ibid, h. 134.

[16] Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah. Lihat Hasan Hanafi, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kazagu Shimogaki, dengan tema, Between Modernty and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi Though; A Critical Reading, diterjemahkan oleh Imam Aziz &Yadul Maula, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Posmodernisme, (Cet. V; Jogyakarta: LkiS, 2000)

[17] Tema-tema pembaharuan Fazlur Rahman tesebar dalam tulisan-tulisannya, baik jurnal, artikel maupun buku. Salah satunya lihat, Islamic Modernism; Its Scope, Method and Alternatives, (vol. IV; IJMES: Cambride), h. 321-335. lihat juga, Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1995), h. 83

[18] Siliweran Isme-isme itu dapat dilihat bersumber dari dua periode penting. Pertama periode modern yang ditandai dengan bengkitnya bangsa Eropa dari masa gelap dengan ciri kebangkitan dari beberapa unsur, yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani, Agama Kristen dan Agama Yahudi dengan tokoh pemikir semacam, Parmedines, Plato, Descartes, Spinoza, Lebniz, Prancis Bacon, Locke dan Hume. Dari para tokoh inilah berkembang pemikiran yang bercorak sekular, rasional, empirik, pragmatisme yang bermuara pada liberalisme. Kedua periode postmodern, kelanjutan dari modern, corak libralisme tetap saja mendominasi dan tetap mendikotomikan antara pengetahuan dan keilahiaan. Lihat! Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalime pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, orentalis dan kolonialis, dalam makalah yang disampaikan pada seminar sehari, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh IKPM Cab Sulsel, 15 Maret 2008.

[19] Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodenisme, (Cet. IV; Jogyakarta; Putaka Pelajar, 2009) h. 37-44

0 Responses

Post a Comment