Transendent

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG S{HALAT TASBIH

A. Pengertian S{alat Tasbih

Istilah “s}alat tasbih” terdiri atas dua paduan kata, yakni “s}alat ” dan “tasbih”. Pengertian kata “s}alat” dalam Islam tidak persis sama dengan kata “sembahyang” yang dikenal dalam agama-agama lain.[1] Kata “s}alat ” pada dasarnya berakar dari kata صلاة yang berasal dari kata kerja صلي – يصلي . Kata “s}alat” menurut bahasa mengandung dua pengertian, yaitu “berdoa”[2] dan “bersalawat”. Ini berarti bahwa ungkapan “saya s}alat” dapat berarti “saya berdoa” atau “saya bersalawat”. Berdoa yang dimaksud dalam pengertian ialah berdoa atau memohon hal-hal yang baik, nikmat dan rezeki. Sedangkan “bersalawat” berarti meminta keselamatan, kedamaian, keamanan, dan pelimpahan rahmat Allah swt.[3]

S{alat dalam pengertian di atas adalah doa yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt untuk meminta pengampunan dari segala dosa, untuk mensyukuri nikmat dan karunia Allah swt., untuk menolak kezaliman, dan untuk menegakkan suatu kewajiban ibadah dalam agama.

Secara istilah “s}alat” diartikan sebagai pernyataan bakti dan memuliakan Allah swt dengan gerakan-gerakan badan dan perkataan-perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dan dilakukan waktu-waktu tertentu setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.[4]

Sedangkan kata “tasbih” merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata kerja سبح- يسبح yang artinya mensucikan dengan mengucapkan lafal tasbih, atau menafikan Allah dari keserupaan dengan semua makhluk dari segala bentuk kekurangan, dengan ucapan subh}a>nalla>h (Maha Suci Allah).[5] Lafal tasbih seringkali diucapkan atau digandengkan dengan lafal-lafal tahmid (الحمدلله), tahlil (لااله الا الله), dan takbir (الله اكبر).

Jadi s}alat tasbih” adalah suatu s}alat yang dalam setiap perpindahan dari satu hay’ah (gerakan) kepada hay’ah lainnya mengandung pujian (tasbih, zikir) kepada Allah swt yang berbunyi سبْحاَنَ الله وَ اَلحَمْد ُلله وَلاَ اِله اِلا الله وَ اللهَ أََكْبَر (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar), sehingga seluruh tasbih tersebut berjumlah tiga ratus kali.

Adapun perintah-perintah untuk bertasbih terdapat dalam Al-Qur’a>n dan hadis Nabi saw, diantaranya:

1. Qs al-Fath (48): 9:

(#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ

“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”[6]

2. Qs. al-Hijr (15): 98:

ôxÎm7|¡sù ÏôJpt¿2 y7În/u `ä.ur z`ÏiB tûïÏÉf»¡¡9$# ÇÒÑÈ

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (s}alat).”[7]

3. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amr:

حدّثنا الربيع بن نافع أبوتوبة و موسي بن اسماعيل المعني قالا أخبرنا ابن المبارك عن موسي قال ابوسلمة موسي بن ايوب عن عمه عن عقبة بن عامر قال: "لما نزلت "فسبح باسم ربك العظيم،[8] قال رسولالله صهم: اجعلواها في ركوعكم. "فلمانزلت" فسبح باسم ربك الاعلي،[9] قال: اجعلوها في سجودكم.[10]

“Al-Rabi’ bin Na>fi’ Abu> Tawbah dan Mu>sa> bin ‘Isma>il menceritakan kepada kami, Ibnu al-Muba>rak memberitakan kepada kami, dari Mu>sa>, Abu> Salamah Mu>sa> bin Ayyu>b berkata, dari pamannya dari ‘Uqbah bin ‘AFasabbih}} bismi rabbika al-‘Az}i>m” (Maka bertasbihlah kamu dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar) Rasulullah saw besabda: “Jadikanlah tasbih itu dalam sujudmu.” Dan ketika turun firman Allah “sabbih} isma Rabbika al-a’la>” (Tasbihkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi), Rasulullah bersabda: Jadikanlah tasbih itu dalam sujudmu.”

4. Qs. al-Waqi’ah (56): 74 dan 96:

ôxÎm7|¡sù ÉOó$$Î/ y7În/u ÉOŠÏàyèø9$# ÇÐÍÈ

“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.”[11]

5. Qs. al-A’la (87): 1:

ËxÎm7y zOó$# y7În/u n?ôãF{$# ÇÊÈ

“Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.”[12]

6. Qs. al-Nas}r (110): 3:

ôxÎm7|¡sù ÏôJpt¿2 y7În/u çnöÏÿøótGó$#ur 4 ¼çm¯RÎ) tb%Ÿ2 $R/#§qs? ÇÌÈ

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.”[13]

çnqßsÎm7yur Zotõ3ç/ ¸xϹr&ur ÇÍËÈ

“Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang..”

7. Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:

حَدَّثَنا مُسَدَّد ٌضال: حَدَّثَنا يَحْي عَنْ سُفْيان قَال: حَدَّثَثني مَنْصُوْر عَنْ مُسْلِم عَنْ مَسْرُوْق عَنْ عا ئِشَة رَضِي الله عَنْها أَنَّها قَالتْ: كَان النبِيّ صهم يُكْثِرُ اّنّ يَقُولَ في رُكُوْعِهِ وَسُجُدِهِ: "سُبْحانَكَ اللهُمَ رَبَّنا وَبِحَمْدِهِ، اَللَّهمَّ اغْفِرْلي"[14] ّ

“Musaddad telah menceritakan kepada kami, Yah}ya> telah menceritakan kepada kami dari Sufya>n dia berkata: Mans}u>r telah menceritakan kepadaku, dari Muslim, dari Masru>q, dari ‘A RA. Dia berkata: Bahwasanya Nabi saw. memperbanyak membaca dalam rukuk dan sujudnya; Maha suci engkau Ya Allah Tuhan kami dan segala puji bagi-Nya, Ya Allah ampunilah aku.”

B. Kedudukan S{alat Tasbih

S{alat mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam dan merupakan fondasi yang kokoh bagi tegaknya agama Islam.[15] Karena pentingnya ibadah s}alat dalam Islam, sehingga s}alat `harus dilakukan pada waktunya, di manapun, dan bagaimanapun keadaan seorang mukmin yang mukalaf.[16]

Perintah untuk melakukan kewajiban s}alat ini telah disampaikan oleh Allah swt dalam al-Qur’a>n dan ditegaskan lagi oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya. Dalam al-Qur’a>n Allah swt. telah menyatakan perintah s}alat dalam beberapa ayat, diantaranya Qs. al-Baqarah (2): 43, 83, 110, 238. Qs. al-Nisa> (4): 77, 133. QS. Hu>d (11): 144, Qs. al-Isra>’ (17): 78, QS. Maryam (19): 31, 55, QS. T{a>ha> (20): 132. QS. al-Nu>r (24): 56. Adapun dalam beberapa hadis, antara lain hadis yang menyatakan:

حَدَّثنا عُبَيْد الله بنُ مُوْسي قَال: أَخْبَرَنا حَنْظَلة بنُ أبي سُفْيان عَن عِكْرمة بن خالِدٍ عن ابن عُمَر رَضي الله عَنْهُما قَال: قَال رسُول الله صهم: "بُنِي الاِسْلامُ عَلي خَمْسٍ: شَهادَةِ أَنْ لاالهَ الاّ الله، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُول الله، وَاقامِ الّصَّلاةِ، وَايْتاءِ الزَّكاةِ، وَالحَجَِ، وَصَوْمِ رَمَضانَ".[17]

“Islam dibina atas lima dasar, yaitu Syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muh}ammad adalah Rasul-Nya, mendirikan s}alat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu”.

Di dalam Alquran Allah juga telah menegaskan bahwa s}alat adalah suatu rangka pokok dari iman, dengan beberapa firman-Nya, diantaranya Qs. al-Baqarah (2): 1-4:

$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ

Alif la>m mi>m. Kitab (al-Qur’a>n) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan s}alat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’a>n) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.[18]

S{alat telah difardukan sejak permulaan Islam. Pada ketika itu Nabi Muh}ammad saw melakukan s}alat dua rakaat pagi dan petang.[19] Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Mukmin (40): 55:

÷ŽÉ9ô¹$$sù žcÎ) yôãur «!$# A,ym öÏÿøótGó$#ur šÎ7/Rs%Î! ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u ÄcÓÅ´yèø9$$Î/ Ì»x6ö/M}$#ur ÇÎÎÈ

“Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.”[20]

Setahun sebelum hijrah, barulah diwajibkan s}alat lima waktu. Al-Qur’a>n telah menyatakan kewajiban s}alat fardu dengan berbagai macam susunan kata-kata. Terkadang dengan perintah yang tegas, terkadang dengan memuji-muji orang yang melakukan s}alat dan mencela orang yang meninggalkannya, sehingga dapat dipahami bahwa s}alat itu adalah tiang Islam, dan tidak ada keuntungan bagi orang yang meninggalkannya.[21]

Selain s}alat fardu, juga terdapat berbagai macam s}alat sunnah. Kedudukan s}alat sunnah terhadap s}alat fardu ialah seperti kantong air yang di sana-sini ada lubangnya, lalu s}alat sunnah itu menambal lubang-lubang tersebut hingga membuat isinya tetap utuh dan tidak berkurang sedikitpun. S{alat sunnah dapat diamalkan sebagai tambahan terhadap s}alat fardu yang tentunya tidak untuk ditinggalkan walau sedikit.

Adapun mengenai kedudukan s}alat yang dalam pemahaman masyarakat dinamakan s}alat tasbih, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam hal kedudukan hadis yang menjadi pensyariatan ibadah s}alat tersebut.

1. Hukum s}alat tasbih adalah mustah}abbah (sunnah)

Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqaha Syafi’iyyah. Pendapat mereka dilandasi oleh sabda Rasulullah saw. kepada pamannya ‘Abba>s bin ‘Abd al-Mut}t}alib yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud.[22] Mereka berpendapat bahwa hadis tersebut meskipun merupakan riwayat dari ‘Abd al-‘Azi>z, ada sejumlah ulama yang mens\iqahkannya diantaranya adalah Ibnu Ma’i>n. Al-Nasa>i berkata ia tidak apa-apa. Al-Zarkasyi berpendapat bahwa hadis tersebut sahih dan bukan daif, sedangkan Ibnu S{alah mengatakan bahwa hadisnya adalah hasan.[23]

Al-Hafiz menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui jalur yang banyak dan dari sekumpulan jamaah dari kalangan sahabat, dan salah satunya adalah hadis ‘Ikrimah. Dan sejumlah ahli hadis telah mensahihkannya, diantaranya al-Hafiz Abu> Bakr al-Ajari, Abu> Muh}ammad ‘Abu> al-Rah}i>m al-Mas}ri, al-Hafiz Abu> al-H{asan al-Maqdiri Rah}imakumulla>h.[24] Ibnu Muba>rak berkata bahwa s}alat tasbih ini adalah dianjurkan untuk dikerjakan, sunnah diulang-ulang setiap waktu dan tidak dilupakan.[25] Bahkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang yang mengetahui s}alat tasbih tetapi tidak melaksanakannya adalah termasuk orang yang memandang ringan masalah agama.

2. Hukum s}alat tasbih adalah ja>iz (boleh tapi tidak disunnahkan)

Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqha Hana>bilah. Mereka berkata bahwa tidak ada hadis yang s\abit (kuat) dan s}alat tersebut termasuk fada>il al-a’ma>l, maka cukup berlandaskan hadis daif. Oleh karena itu, Ibnu Qudamah berkata bahwa jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena s}alat nawa>fil dan fad}a>il al-a’ma>l tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis sahih. Akan tetapi hadis daif tersebut telah memenuhi syarat:

a. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadis daif yang tidak terlalu daif dan tidak bisa diamalkan hadis yang diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang mempunyai banyak kesalahan.

b. Hadis yang daif bersangkutan berada di bawah suatu dalil yang umum dan tidak dapat diamalkan hadis daif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.

c. Ketika hadis daif yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi Muh}ammad saw. sesuatu yang tidak beliau katakan.[26]

3. Hukum s}alat tasbih: Tidak Disyariatkan

Imam Nawa>wi> berkata bahwa perlu diteliti kembali kesunnahan s}alat tasbih karena hadisnya daif, dan adanya perubahan susunan s}alat dalam s}alat tasbih yang berbeda dengan s}alat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan karena hadis yang menjelaskan s}alat tasbih tidak kuat. Ibnu H{ajar berkata bahwa yang benar adalah seluruh riwayat hadis adalah daif. Meskipun hadis Ibnu ‘Abba>s mendekati syarat hasan, akan tetapi hadis itu syaz\ karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan tidak ada hadis lain yang menguatkannya, dan juga s}alat tasbih berbeda gerakannya dengan s}alat - s}alat yang lain.[27]

Diantara para ulama adapula yang mengatakan bahwa hadis tentang s}alat tasbih adalah hadis palsu antara lain Ibnu al-Jawzi. Beliau memiliki kitab khusus yang berisi hadis palsu yang bernama al-Mawdu>’a>t, dan di dalamnya terdapat hadis tentang s}alat tasbih. Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu al-Jawzi sehingga menganggap bahwa hadis tersebut adalah palsu, diantaranya adalah karena di dalamnya terdapat periwayat yang majhu>l atau tidak diketahui identitasnya, yaitu Mu>sa> bin ‘Abd al-‘Azi>z. Juga karena di dalamnya terdapat periwayat yang dinilai tidak halal untuk meriwayatkan hadis yang bernama Mu>sa> bin ‘Ubaydah.[28]

Namun tuduhan di atas dijawab oleh para pakar hadis yang lain, dan mereka beramai-ramai mengkritisi balik apa yang telah disimpulkan oleh Ibnu al-Jawzi secara terburu-buru itu. Bahkan beliau juga dituduh sebagai orang yang terlalu mudah menjatuhkan vonis kepalsuan atas suatu hadis (tasahul). Tuduhan bahwa Mu>sa> bin ‘Abd al-‘Azi>z adalah orang yang majhu>l, menurut al-Zarkasyi tidak otomatis menjadikan hadis itu palsu. Boleh jadi Ibnu al-Jawzi memang tidak mengetahui identitas orang itu. Padahal banyak ulama lain seperti Bisyr bin H{akam, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Bisyr, Ish}a>q bin Abu> Isra>il, Zayd bin al-Muba>rak, yang mengenalnya sebagai orang yang tidak ada masalah (la> ba’sa bih). Ibnu H{ibba>n juga mengatakan bahwa Mu>sa> bin ‘Abd al-‘Azi>z sebagai orang yang s\iqah. Bahkan al-Ima>m al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis dari beliau dalam kitab Adab al-Mufrad. Jadi bukanlah Mu>sa> bin ‘Abd al-‘Azi>z itu majhu>l, tetapi Ibnu al-Jawzi saja yang memang tidak punya keterangan tentang perawi itu. Dan ketidaktahuan Ibnu al-Jawzi atas Mu>sa> bin ‘Abd al-‘Azi>z tidak bisa dijadikan vonis bahwa hadis itu palsu.

C. Tujuan S{alat Tasbih

Tujuan hakiki dari s}alat adalah pengakuan hati bahwa Allah swt sebagai pencipta adalah agung dan pernyataan patuh terhadap-Nya serta tunduk atas kebesaran serta kemuliaan-Nya yang kekal dan abadi. Bagi seseorang yang telah melaksanakan s}alat dengan penuh rasa takwa dan keimanan kepada penciptanya, hubungannya dengan Allah swt akan kuat, istiqamah (teguh) dalam beribadah kepada-Nya, dan menjaga ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh-Nya.[29]

S{alat yang dilaksanakan dengan hati yang penuh takwa dan mengharap keridaan Allah swt. akan mempunyai pengaruh yang mendalam dalam jiwa dan menopang manusia untuk berakhlak mulia. Dengan demikian s}alat dapat berperan sebagai alat penangkal yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang telah disebutkan dalam Qs. al-Ankabu>t (29): 45:

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’a>n) dan dirikanlah s}alat. Sesungguhnya s}alat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (s}alat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[30]

S{alat termasuk kewajiban yang amat besar dalam Islam sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menjadi pembeda antara seorang muslim dan yang bukan muslim. Rasulullah saw. telah menerangkan bahwa yang membedakan seorang muslim dan yang bukan muslim adalah s}alatnya.

S{alat tidak hanya merupakan perwujudan dan rasa terima kasih terhadap nikmat yang dianugerahkan Allah swt. tetapi juga mempunyai dampak positif bagi yang melaksanakannya. Dampak tersebut antara lain adalah selalu terjadinya hubungan yang kuat antara seorang hamba dan pencipta yang membawa kenikmatan, keamanan, ketenangan, dan keselamatan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan diri dan penghambaan diri kepada Allah swt. Salat juga merupakan sarana untuk mencapai kemenangan, keberuntungan,[31] dan s}alat yang dilakukan lima kali sehari semalam dapat menghapus dosa seperti air dipakai mandi dapat menghapus daki yang ada di badan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis:

حدَّثنا ابْراهِيمُ بنُ حَمْزَةَ قَال: حَدَّ ثَني ابنُ أَبي حازِمٍ والدراوَرْديُّ عَنْ يَزِيدَ عنْ محمدٍ بنِ ابْراهيْمَ عن أبي سَلَمةَ بن عَبْد الرَّحمنِ عن ابي هُرَيرةَ أَنّه سَمِعَ رَسول الله صهم يَقُولُ: أَرَايتُمْ لوْ أَنّ نَهْرًا بِبابِ اَحَدكُم يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسا ماتَقْتُ ذلك يُبْقي من دَرَنِهِ؟ قالوا: لايُبْقي من دَرَنِهِ شَيْئاً. قال: "فَذلكَ مَثَلُ الصَلواتِ الخَمسِ يمحوالله به الخَطايا".[32]

“Seandainya ada sebuah sungai di depan rumah salah seorang dari kamu dan ia mandi di sana lima kali sehari, apakah menurutmu masih akan ada daki (kotoran) yang tersisa ditubuhnya? Mereka berkata: “Tidak akan ada sedikitpun kotoran yang tersisa ditubuhnya.” Nabi saw. menambahkan, ini adalah ibarat (mengerjakan) s}alat lima waktu menghapus perbuatan jahat (dosa).”

Dengan s}alat akan tercipta hubungan yang amat dekat antara pelaku dan Allah swt. Sehingga terasa adanya pengawasan dari Allah swt terhadap segala tindakan yang pada akhirnya akan memberikan ketenangan yang besar dalam jiwa dan menjauhkan dari kelalaian yang dapat memalingkan seseorang dari ketentuannya kepada Allah swt. (Qs. al-Z|a>riyat (51): 56).

Adapun tujuan atau manfaat melaksanakan s}alat tasbih, bagi para ulama yang tidak menerima kehujjahan hadis tentang s}alat tasbih tentu saja s}alat tasbih bagi mereka tidak ada manfaatnya. Karena itu mereka tidak mengerjakannya. Tapi bagi para ulama yang mensahihkan hadis tersebut, nyata disebutkan bahwa Allah akan mengampuni dosa, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.

D. Tata Cara S{alat Tasbih

Cara mengerjakan s}alat tasbih adalah sebagai berikut:

1. Berdiri tegak menghadap kiblat, lalu mengucapkan niatnya.

Lafaz niat s}alat tasbih (bila dikerjakan dua rakaat-dua rakaat):

اُصَلِّي ُسَّنةَ التَّسْبِيْح رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالَي. اللهُ اَكْبَر .

Saya niat s}alat tasbih dua rakaat karena Allah. Alla>hu Akbar”.

2. Setelah niat, lalu membaca do’a iftitah yaitu:

الله أَكْبَر كَبِيْرا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرَا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلا أِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمواتِ وَالارْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أنا مِنَ المُشْرِكينَ. أِنَ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ العَالمِيْنَ لا شَرِيكَ َلهُ وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأنا مِنَ المُسْلِمِيْنَ.[33]

“Allah Maha Besar lagi sempurna Kebesaran-Nya, segala puji bagi-Nya dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan muka hatiku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan menyerahkan diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata hanya untuk Allah Seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan bagi-Nya. Dan aku dari golongan orang muslimin.

Atau boleh juga membaca doa iftitah sebagai berikut:

أَللّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الَمشْرِقِ وَالَمْغرِبِ. اَللهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَ كَما يُنَقَّي الثَّوْبُ الاْبَيضُ مِنَ الَّدَنسِ. اللهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالمَاءِ َوالَّثْلجِ وَالَبَردِ.[34]

“Ya Allah, jauhkanlah daripada kesalahan dan dosa sejauh antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari segala kesalahan dan dosa bagaikan bersihnya kain putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku dengan air, dan air salju yang sejuk”.

Setelah selesai membaca doa iftitah, kemudian dilanjutkan dengan membaca surah al-Fatihah dan surah yang lain.[35] Setelah itu bacalah tasbih sebanyak lima belas kali, yaitu:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر.[36]

“Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar”.

Bacaan tersebut dapat pula ditambah dengan:

وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِللهِ

“Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

3. Kemudian rukuk dengan membaca tasbih rukuk sebanyak tiga kali, yaitu:

سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيْم وَبِحَمْدِه[37]

“Maha Suci Tuhan Maha Agung, serta memujilah aku kepada-Nya”.

dan setelah membaca tasbih rukuk, lalu membaca tasbih sebanyak sepuluh kali, yaitu:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِللهِ[38]

“Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

4. Kemudian iktidal dengan membaca tahmid iktidal yaitu:

سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَه[39]

“Allah mendengar orang yang memuji-Nya”.

Setelah berdiri tegak lalu membaca:

رَبَّناَ لَك َالحَمْدُ مِلْءُ السَّمواَتِ وَمِلْءُ الارْضِ مِلْءُ ماَشِئْتَ مِن ْشَيْئٍ بَعْدُ[40]

“Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki sesudah itu”

Sesudah selesai tahmid iktidal lalu membaca tasbih sepuluh kali:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِلله[41]ِ

“Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

5. Kemudian sujud dengan membaca tasbih sujud sebanyak tiga kali, yaitu:

سُبْحاَنَ رَبِّي الاعْلي وَبِحَمْدِه[42]

“Maha Suci Tuhan, serta memujilah aku kepada-Nya”.

sesudah membaca tasbih sujud lalu membaca tasbih sebanyak sepuluh kali:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِللهِ[43]

“ Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

6. Kemudian duduk diantara dua sujud dengan membaca:

رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَعْفُ عَنِّي[44]

“Ya Allah, ampunilah dosaku belas kasihanilah aku dan cukupkanlah kekuranganku dan angkatlah derajatku dan berilah reski kepadaku, dan berilah aku petunjuk, dan berilah kesehatan bagiku dan berilah ampunan kepadaku”.

Setelah selesai membaca doa duduk diantara dua sujud, lalu membaca tasbih sebanyak sepuluh kali:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِللهِ[45]

“Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

7. Kemudian sujud kedua dengan membaca tasbih sujud sebanyak tiga kali, yaitu:

سُبْحاَنَ رَبِّي الاعْلي وَبِحَمْدِه[46]

“Maha Suci Tuhan, serta memujilah aku kepada-Nya”.

sesudah membaca tasbih sujud lalu membaca tasbih sebanyak sepuluh kali:

سْبحَانَ اللهِ َوالحَمْدُلله وَلا اِلَهَ اِلاالله وَ اللهُ اَكْبَر وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ باِللهِ[47]

“Maha Suci bagi Allah, segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan Selain Allah. Alla>hu Akbar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah”.

Sebelum berdiri untuk rakaat kedua hendaknya “duduk istirahat” sambil membaca tasbih seperti tersebut di atas sepuluh kali. 8. Sedangkan pada rakaat terakhir, setelah sujud kedua dan membaca tasbih sebanyak sepuluh kali, maka selanjutnya adalah membaca tahiyat yaitu:

االتَّحِيَّاتُ المُبَاركَاتُ الصَّلَوَاتُ الطّيِّبَاتُ للهِ. السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتَهُ. السَّلامُ عَلَيْنَا وَعلي عِباَدِ اللهِ الصَّالِحِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لا أِلهَ ألا الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ الله. أللّهُمَّ صَلِ علي سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلي أل سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ. كما صَلَّيْتَ علي سَيِّدِنا أِبْراَهِيْمَ وَعلي ألِ سَيِّدِنا أِبْراهِيْمَ . وَبارِكْ علي سيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعلي ال سَيِّد نا مَحَمَّدٍ. كما بَاركْتَ علي سَيِّدِنا أبْراهِيْمَ و علي ال سَيِّدِنا أبراهِيْمَ في العالمين أِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.[48]

“Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan dan kebaikan bagi Allah. Salam, rahmat dan berkah-Nya kupanjatkan kepadamu wahai Nabi Muh}ammad. Salam (keselamatan) semoga tetap untuk kami seluruh hamba yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muh}ammad adalah utusan Allah. Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muh}ammad beserta seluruh keluarganya. Sebagaimana pernah Engkau beri rahmat kepada Nabi Ibra>hi>m dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muh}ammad beserta para keluarganya. Sebagaimana Engkau memberi berkah kepada Nabi Ibra>hi>m dan keluarganya. Di seluruh alam semesta Engkaulah yang terpuji, dan Maha Mulia”.

9. Terakhir adalah salam.

Demikian dikerjakan pada rakaat pertama, yang bila dihitung seluruh bacaan tasbihnya berjumlah tujuh puluh lima kali tasbih. Jadi apabila dikerjakan dalam empat rakaat berarti bacaan tasbihnya berjumlah tiga ratus tasbih.

Agar lebih jelasnya dapat dinyatakan sebagai berikut:

- Sambil berdiri membaca tasbih …….…………….……..………....15 kali

- Waktu rukuk membaca tasbih …………………….……..…….....10 kali

- Waktu iktidal membaca tasbih… ……… ……………...………10 kali

- Waktu sujud membaca tasbih………. ……………………..…..…..10 kali

- Waktu duduk diantara dua sujud membaca tasbih… …..…...…….10 kali

- Waktu sujud kedua membaca tasbih………… ………………. .10 kali

- Waktu istirahat hendak berdiri …… ……… ……………………10 kali

Dalam satu rakaat dibaca tasbih 75 kali

Jadi dalam 4 rakaat, berarti 75 x 4 = 300 tasbih.

Apabila seseorang lupa melaksanakan salah satu gerakan di dalam s}alat tasbih, lalu ia melaksanakan sujud sahwi (sujud karena lupa), maka ia tidak dianjurkan untuk membaca tasbih di atas pada sujud sahwi tersebut. Akan tetapi, jika lupa membaca tasbih di dalam salah satu gerakan s}alatnya, maka ia menyempurnakannya pada gerakan yang lain selain pada waktu iktidal (karena iktidal adalah rukun s}alat yang singkat waktunya), sehingga jumlah bacaan tasbihnya secara keseluruhan tetap berjumlah tiga ratus kali.[49]

Demikian tata cara pelaksanaan s}alat tasbih yang dipahami oleh masyarakat, dan dengan melaksanakan s}alat tersebut maka seluruh dosa akan diampuni.



[1]Kata “s}alat” seringkali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata “sembahyang”. Sebenarnya pengertian kedua kata ini mempunyai makna yang sangat berbeda. “Sembahyang” sering diartikan sebagai “menyambah Sang Hyang”, “menyembah Tuhan”. Dan kata “sembahyang seringkali dikaitkan dengan kegiatan tertentu yang dilakukan oleh umat beragama secara umum dalam rangka menyembah Tuhan mereka. Ini berarti bahwa kata “sembahyang” dikenal oleh semua umat beragama, baik Islam maupun yang lainnya, dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda.

[2]S{alat dalam pengertian “doa” antara lain terdapat dalam QS. al-Tawbah (9): 103.

[3]Abi> Husayn Ah}mad bin Faris bin Zakariyyah. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, juz III. (Mesir: Maktabah Matbaah Mus}t}afa al-Ba>bi al-Halabi wa Awla>duh, 1972), h. 300-301.

[4]Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V (Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1536. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid IV (Cet. IV; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 207.

[5]Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progresif, 19970, h. 209.

[6] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1985), h. 383.

[7]Ibid., h. 399.

[8]Qs. Al-Wa>qi’ah (56): 74.

[9]QS. Al-A’la> (87): 1.

[10]Abi> Da>wud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistani>,. Sunan Abi> Da>wud, kitab al-Az\a>n bab ma> Yaqu>lu al-Rajul fi> Ruku>’ihi> wa Suju>dihi>, juz I (Bayru>t: Dar al-Fikr, 1994), .h. 239.

[11]Departemen Agama, op.cit., h. 897 dan 898.

[12]Ibid., h. 1051.

[13]Ibid., h. 1114.

[14] Al-Ima>m Abi> 'Abdillah Muh}ammad ibn Isma>il ibn Ibra>him ibn Mughi>rah ibn Bardizbah al-Bukha>ri> al-Ja'fi>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz I (Bayru>t: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 246.

[15]Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqhi ‘Umar ibni al-Khatab ra, diterjemahkan oleh M. Abdul Mujieb As dengan judul Ensiklopedi Fiqh ‘Umar bin Khatab (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 498.

[16]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid IV (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 207.

[17]Al-Bukha>ri> al-Ja'fi>, op.cit., h. 9-10.

[18]Departemen Agama, , op.cit., h. 8-9.

[19]T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Cet. XXIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 46.

[20]Departemen Agama, op.cit., h. 767.

[21]T. M. Hasbi ash-shiddieqy, loc.cit.

[22]Lihat kembali hadis tentang salat tasbih yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud pada ba>b II h. 14.

[23]‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ‘Us\ma>n, Awn al-Ma’bu>d, juz IV (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 177.

[24]Syekh Khali>l Ah}mad al-Saha>ranfu>ri>, Baz\l al-Majhu>d fi> H{alli Abi> Da>wud juz VII (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t. th.), h. 51.

[25]Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jilid I (Cet. I; Da>r al-Fath al-I’la>m al-‘Arabi, 1990), h. 179.

[26]Abi> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin Muh}ammad bin Quda>mah al-Muqaddas al-H{amma>’ili> al-Dimasyqi> al-S{a>lih}i> al-H{anbali>, Al-Mugni>, juz II (Cet. III; Riyad}: Da>r ‘An ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\, yang diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul ‘Ulum al-Hadits (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 58-61

[27]Muh}ammad bin ‘Ali> al-Syawka>ni>, Al-Fawa>id al-Majmu>’at fi> al-Ah}a>di>s\ al-Mawdu>’ah (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 37-38. Lihat pula Muh}ammad bin ‘Ali> al-Syawka>ni, Tuh}fat al-Z|a>kiri>n (Cet. I; Bayru>t: Dat al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 184-185. Dan lihat pula al-Ima>m al-H{a>fiz} Aba> al-‘Ula> Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Abd al-Rah}i>m al-Mubarakfu>ri>, Tuh}fat al-Ah}waz\ bi Syarh Ja>mi’ al-Tirmiz\i> juz II (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 510.

[28]Ibid.

[29]Dewan Redakasi Ensiklopedi Islam, op.cit.,, h. 208.

[30]Departemen Agama, op.cit., h. 635.

[31]Lihat Qs. al-Mukminun (23): 1, QS. al-Ma’arij (70): 19

[32]Al-Bukha>ri> al-Ja'fi>, juz I kita>b Mawa>qi>t al-S}ala>t Ba>b al-S{alawa>t al-Khamsu Kaffa>rat, op.cit., h. 167.

[33]Al-Imam Abu Muhammad 'Abdullah ibn 'Abdul Rahman ibn al-Fad}l ibn Bahram al-Da>rimi>. Sunan al-Darimi>, Kita>b al-S{ala>t ba>b Ma> Yuqa>lu ba’da Iftita>h, juz II; Indonesia: Maktabah wahlan, t.th., h. 282.

[34]Al-Bukhari> al-Ja'fi>, Kita>b al-Az\a>n ba>b Ma> Yuqa>lu ba’da al-Takbi>r op.cit.,h. 224.

[35]Ibnu ‘Abidin (W. 1252 H.), ahli fikih Mazhab Hanafi, di dalam kitab fikihnya yang berjudul Hasyiyah Rad al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar –sebagaimana yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam- menjelaskan bahwa berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, pada setiap rakaat dibaca surah al-Fatihah. Setelah membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat secara berturut-turut dibaca surah al-Takasur, al-‘Asr, al-Kafirun, dan al-Ikhlas. Selanjutnya Ibnu Abidin menjelaskan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa surah yang terbaik dibaca pada masing-masing rakaat adalah surah al-Hadid, al-Hasyr, al-Saff, dan al-Tagabun. Karena terdapat kesesuaian antara makna yang terkandung di dalam surah-surah ini dengan bacaan-bacaan tasbih yang terdapat di dalam salat tasbih. Lihat Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1603.

[36]Abi> Da>wud, kitab al-S{ala>t bab S{ala>t at-Tasbi>h, op.cit., h. 483-484.

[37] Al-Da>rimi>, Kita>b al-S{ala>t ba>b Ma> Yuqa>lu fi> al-Ruku>’I, op.cit.,h. 299. Lihat pula Abu> Da>wud,Kita>b al-S{ala>t ba>b Ma> Yaqu>lu al-Rajul fi> Ruku>’ihi> wa Suju>dihi>,op.cit., h. 330.

[38]Abu> Da>wud, loc.cit.

[39]Al-Bukha>ri, Kita>b al-Az\a>n ba>b al-Takbi>r iz\a> Qa>ma min al-Suju>di, op.cit.,h. 293-294. Al-Ima>m Abi> Husai>n Muslim ibn al-Hajja>j al-Qushairi. al-Naisabu>ri>, S{ah}ih} Muslim, Kita>b al-S{ala>t ba>b Is\ba>t al-Takbi>r, juz I. (Bayru>t: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 293-294.

[40] Ibid.

[41] Abu> Da>wud, loc.cit.

[42]Al-Da>rimi>, loc.cit. Abu> Da>wud, ibid., h. 335.

[43]Abu> Da>wud, ibid. ih. 483-484.

[44] Al-Da>rimi>, Kitab al-S{ala>t ba>b al-Qawl bayn al-Sajadatayn op.cit., h. 303-304.

[45]Abu> Da>wud, loc.cit.

[46]Al-Da>rimi>, loc.cit. Abu> Da>wud, ibid., h. 335.

[47]Abu> Da>wud, ibid. h. 483-484.

[48]Bukha>ri, Kita>b al-Az\a>n ba>b al-Tasyahhud fi> al-Akhirah, op.cit.,h. 250. Muslim,,Kita>b al-S{ala>at ba>b al-Tasyahhud fi> al-S{ala>t, op.cit., h. 301-305.

[49]Sebagaimana yang ditakhrij oleh Tirmizi> dari ‘Abd al-‘Azi>z dari Abu> Rizmah, dia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu al-Muba>rak, bagaimana jika dia lupa di dalam salat tasbih, apakah dia bertasbih sepuluh kali sepuluh kali di dalam sujud sahwi?” Dia menjawab: “Tidak perlu. Sesungguhnya tasbihnya tiga ratus kali”. Lihat Abi> ‘Isa> Muhammad bin ‘Isa>. bin Sawrah, op. cit,. h. 350.

0 Responses

Post a Comment