Transendent

by: Nurfadillah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’a>n adalah firman Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muh}ammad saw. melalui Ru>h al-Ami>n (malaikat Jibril) untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia di setiap ruang dan waktu. Sebagaimana al-Qur’a>n telah memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-na>s (QS. al-Baqarah (2): 185), yang akan mengarahkan dan mengantarkan umat manusia ke jalan yang paling lurus. (QS. al-Isra (17): 9).

Adapun hadis atau yang disebut juga dengan sunnah yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi saw yang beredar pada masa Nabi Muh}ammad saw. hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’a>n dan isinya menjadi hujjah. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muh}ammad saw. (al-s}ah}a>bah) dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan, dan ketulusan. Dalam prakteknya, di samping menjadikan al-Qur’a>n sebagai hujjah, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah swt.

Hadis ditempatkan pada posisi yang penting setelah al-Qur’a>n. Terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n yang sebagian besar bersifat umum, hadis selain datang untuk menjelaskan keumumannya, dan datang untuk menafsirkannya, ia juga datang untuk melengkapi hukum yang sejalan dengan semangat al-Qur’a>n. Misalnya, Allah mewajibkan s}alat atas orang-orang mukmin tanpa menjelaskan waktu, rukun-rukun, dan jumlah rakaatnya. Maka, Rasulullah saw. menjelaskan melalui praktik s}alat beliau dan pengajarannya kepada kaum muslimin tentang tata cara s}alat. Beliau bersabda:

حدَّثنا مُسَدّد حدّثنا اسماعيل حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن ابي سليمان مالك بن الحُوَيْرِثِ قال: اَتَيْنا النبي صهم وَنَحْنُ شَبَبَةُ مُتَقَرِبُوْنَ فَاقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً فَطَنَّ انااشْتَقْنا أَهْلنا عَمَّنْ تَرَكْنا في اهْلِنا فَاخْبَرْناهُ وَكانَ رَفِيْقا رَحيْمًا فَقال: "ارْجِعُوا الي أَهْلِيْكم لإَعَلِّمُوْهُ وَمُرُوْهُمْ وََصلُّوا كَمَا رَاَيْتُمُونِي اُصَلِّي وَاذا حضَرَة الصلاةُ فَلْيُؤذّّن لكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ[1]

“Musaddad menceritakan kepada kami, Isma>’i>l menceritakan kepada kami, Ayyub menceritakan kepada kami, dari Abi> Qila>bah, dari Sulayma>n Ma>lik bin al-H{uwayris\ berkata: …hingga Rasulullah bersabda: Kembalilah kepada keluargamu ajarilah mereka, dan s}alatlah sebagaimana kalian lihat aku melakukan s}alat...”

Berpegang pada dua sumber tersebut, yaitu al-Qur’a>n dan hadis merupakan rahasia kesuksesan dan kemajuan umat Islam. Hal ini dapat dilihat dalam hadis Nabi saw.:

َحّدَثِنيْ يَحْي عَنْ مَالِك عَنْ زَيد بْن اَبِي اُنَيْسَة عَنْ عَبْد الحَمِيْد بْن عَبْد الرَّحْمن بْنِ زَيْد بْنِ الخَطَّاب اَنَّهُ اَخْبَرَهُ عَنْ مُسْلِمِ بْن يَسَار الجُهَنِّي اَنَّ عُمَرَ بن الخَطَّاب قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.[2]

Ma>lik bin Anas berkata: Telah memberitakan kepada kami Yah}ya> dari Ma>lik dari Zayd bin Abi> Unaysah dari Abd al-H{ami>d bin Abd al-Rah}ma>n bin Zayd bin Khat}t}a>b: Sesungguhnya saya telah mengabarkannya dari Muslim bin Yasar al-Juhayni>; Sesungguhnya ‘Umar bin Khat}t}a>b berkata: Bersabda Rasulullah saw: Aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidaklah sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang/berpedoman kepada keduanya, yaitu kita>bulla>h dan sunnahnya.”

Namun terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, yakni kedudukan al-Qur’a>n bersifat qat}’i al-wuru>d,[3] sedangkan hadis kebanyakan yang bersifat z}anni al-wuru>d.[4] Juga karena dilihat dari periwayatannya hadis berbeda dengan al-Qur’a>n. Al-Qur’a>n diriwayatkan tanpa keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Artinya, periwayatan al-Qur’a>n selalu mutawatir sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi jumlah hadis yang mutawatir lebih sedikit dibanding keseluruhan hadis yang kebanyakan bersifat ah}ad.[5] Dalam proses periwayatan tersebut umumnya terjadi periwayatan secara makna, sehingga kemurniannya tidak mendapat jaminan dari Allah swt. Sifatnya yang tipikal itu tidak menjamin hadis dapat terhindar dari intervensi luar yang sifatnya destruktif, terutama adanya usaha-usaha untuk memalsukannya dalam rentang waktu pengkodifikasian hadis yang cukup lama, sehingga hadis-hadis palsu muncul dengan berbagai motivasi dan kepentingan pribadi dan golongan.[6]

Seiring dengan perjalanan waktu, gerakan pemalsuan hadis semakin hebat. Sehingga bercampurlah hadis-hadis yang sahih dan yang mawd}u’. Muncullah hadis-hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, dan kelebihan ketua-ketua kelompok. Di samping itu muncul pula hadis-hadis palsu yang meliputi hampir semua bidang kehidupan baik yang umum maupun yang khusus, seperti hadis tentang praktek ibadah, muamalah, makanan, tata krama, sifat zuhud, zikir, doa, kedokteran, pemberontakan, dan kewarisan.[7] Hal inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan perlawatan dalam mengumpulkan hadis Nabi yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu dalam kitab-kitab tertentu pula.

Seorang tabiin yang sekaligus sebagai khalifah, ‘Umar bin ‘Abd al-’Azi>z untuk pertama kalinya mempunyai inisiatif untuk melakukan kodifikasi hadis secara resmi, dengan mengirim surat edaran kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama di tempat masing-masing menghimpun hadis-hadis Nabi saw secara khusus serta menelitinya, untuk menentukan hadis sahih dan hadis yang tidak sahih. Di antara gubernur yang tanggap terhadap surat tersebut ialah Abu> Bakr bin H{azm, gubernur Madinah.[8] Ia menugaskan al-Zuhri> agar menyeleksi segala yang dinisbahkan kepada Nabi saw. Sejak perintah itu dikeluarkan, kegiatan ilmiah ini terus berlanjut sampai abad ke-4 dan ke-5 H, meskipun pemerintahan Islam seringkali berganti dari satu dinasti ke dinasti lain dan ibu kota Negara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.[9]

Keinginan para ulama hadis untuk menghimpun hadis Nabi dalam berbagai cara, selain mereka harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang saling berjauhan, mereka juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadis yang berhasil mereka himpun. Karena alasan itu pula, sehingga proses penghimpunan hadis secara menyeluruh juga mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar satu abad. Kitab-kitab hadis yang mereka susun pun bermacam-macam, baik dari segi kuantitas dan kualitas, maupun sistematika penyusunannya.[10]

Dari gambaran tentang perjalanan panjang hadis Nabi tersebut, maka dituntut adanya penelitian hadis selanjutnya secara seksama sebagai kehati-hatian untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan orisinalitasnya serta untuk menjaga keutuhan dan kelestariannya sebagai sumber ajaran Islam.

Demikian pula halnya dengan hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai dalil yang mengajarkan tentang suatu s}alat yang disebut dengan s}alat tasbih, sangat penting diteliti dalam rangka meluruskan pemahaman masyarakat tentang berbagai ibadah, dengan melihat kualitas hadis itu, sehingga dapat atau tidaknya diamalkan.

Mengenai hadis tentang s}alat tasbih ini, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa s}alat tasbih hukumnya sunnah karena didasarkan atas banyaknya hadis dari berbagai jalur periwayatan yang menjelaskan s}alat tasbih. Tapi ada pula yang menganggap hadisnya daif, bahkan ada yang menggolongkannya ke dalam hadis mawd}u’ (palsu).[11] Sehingga Hasbi ash-Shiddieqy menganggap lebih utama untuk meninggalkannya.[12] Akan tetapi dalam kenyataannya, s}alat tasbih tersebut dikerjakan oleh banyak kaum muslim, bahkan di beberapa daerah dikerjakan secara berjamaah di masjid.

Berangkat dari adanya kontroversi mengenai hadis tentang s}alat tasbih tersebut, maka penulis mengkritik hadis-hadis tentang s}alat tasbih untuk mengetahui otentisitas dan validitas hadis tersebut ditinjau dari sanad dan matannya.

Adapun hadis yang dimaksudkan berbicara tentang s}alat tasbih adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدالرَّحْمن بْن بِشْرِ بْنِ الحَكَمِ النَّيْسَابُوْرْي.حدثَنَا مُوْسَي بْن عَبْد العَزِيْزِ.حدثَنَا الحَكَمُ بن اَبَانَ، عَنْ عِكْرِمَة عَنْ ابن عَبَّاس قَالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِللْعَبَّاس بن عَبْد المُطلِب: " يَاعَبَّاس يَاعَمَّاه, اَلا اُعْطِيْكَ, اَلااَمْنَحُكَ, اَلا اَحْبُوْكَ, اَلا اَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ, اِذَا اَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ اَوَّلَهُ وَاَخِرَهُ, وَقَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ, وَخَطََاَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ, وَِسِرَّهُ وَعَلا نِيَتَهُ. عَشْرَ خِصَالٍ: اَنْ تُصَلِّيَ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَاُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الِكتَابِ وَسُوْرَةٍ. فَاِذَا فَرَغْتَ مِنَ الِقرَاءَةِ فِي اَوَّلِ رَكْعَةٍ َفقُلْ وَاَنْتَ قَائِمٌ: سُبْحَانَ اللهِ, َوالحَمْدُ للهِ, َولا اِلهَ اِلا اللهُ, وَاللهُ اَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ َمَّرةً, ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُ وَاَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا, ثُمّ تَرْفَعُ رَاْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ. فَتَقُولُهَا عَشْرًا, ثُمّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُ وَاَنتَ سَاجِدٌ عَشْرًا, ثُمّ تَرْفَعُ رَاْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا, ثُمّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمّ تَرْفَعُ رَاْسَكَ ِمنَ السُّجُوْدِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا. فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ, تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي اَرْبَعِ رَكَعَاتٍ, وَاِنِ اْستَطَعْتَ اَنْ تُصَلِّيْهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ َمَّرةً فَافْعَلْ فَاِنْ لَمْ تَسْطَتِع فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً, فَاِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُل شَهْرٍ مَرَّةً, فَاِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةٍ, فَاِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ َمرَّةً"[13]

“Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abba>s berkata: Rasulullah saw berkata kepada ‘Abba>s bin Abd al-Mut}t}alib: “Wahai pamanku ‘Abba>s, maukah menerima sekiranya aku memberi suatu hadiah kepadamu? Aku telah mengerjakan sepuluh perkara yang apabila engkau mengerjakannya pula, maka Allah akan mengampuni dosa-dosamu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja mapun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, dan yang rahasia maupun yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah: Hendaklah engkau mengerjakan s}alat empat rakaat, yang setiap rakaatnya membaca Surah al-Fatihah dan disertai surah yang lain. Ketika selesai membaca surah pada rakaat pertama, sedangkan engkau masih dalam keadaan berdiri, bacalah tasbih: Subh}a>nalla>hi walh}amdu lilla>h}i wa la> ila>ha illalla>hu walla>hu akbar sebanyak lima belas kali. Ketika rukuk, bacalah tasbih sepuluh kali. Kemudian bangkit dari rukuk (iktidal), lantas bacalah tasbih sepuluh kali, lalu sujud. Ketika dalam keadaan sujud, bacalah tasbih sepuluh kali. Lalu duduk, dan ketika duduk di antara dua sujud, bacalah tasbih sepuluh kali. (Ketika sujud yang kedua, bacalah tasbih sepuluh kali). Dan ketika bangkit dari sujud (ketika berdiri pada rakaat berikutnya sebelum membaca surah al-Fatihah), bacalah tasbih sepuluh kali. Demikianlah engkau lakukan, hingga setiap rakaatnya membaca tujuh puluh lima kali bacaan tasbih, dan engkau lakukan dalam empat rakaat. Apabila engkau mampu mengerjakannya setiap hari, maka lakukanlah. Tetapi bila tidak mampu, maka kerjakanlah satu kali dalam seminggu, pada setiap hari jum’at. Apabila tidak mampu, maka setiap bulan sekali. Bila tidak mampu, maka setiap tahun sekali. Dan apabila masih belum mampu melaksanakan setahun sekali, maka lakukanlah satu kali selama hidupmu.”

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana kualitas hadis-hadis tentang s}alat tasbih. Ruang lingkup kajian ini hanya mencakup hadis-hadis yang dipedomani oleh masyarakat dalam melakukan s}alat tasbih, dan hadis-hadis yang diteliti terbatas pada hadis-hadis yang dirujuk dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi>. Untuk lebih terarahnya pembahasan, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas hadis tentang s}alat tasbih setelah diadakan penelitian terhadap sanad dan matan?

2. Bagaimana kedudukan s}alat tasbih?

C. Pengertian Judul

Tesis ini berjudul Studi Kritis Hadis-hadis tentang s}alat Tasbih. Untuk memahami judul tesis ini, terdapat empat variabel yang harus dipahami, yaitu “studi, kritis, hadis, dan s}alat tasbih”.

Kata “studi” berasal dari bahasa Inggris “study, studied, studying, studies” yang berarti belajar,[14] dan dapat juga berarti menyelidiki secara terperinci dan sistematis. Kata study sinonim dengan kata:

- Contemplate: memberikan perhatian pada suatu hal tertentu.

- Weigh: mengukur dan membandingkan beberapa hal untuk tiba pada suatu keputusan.[15]

Jadi study berarti menyelidiki sesuatu dengan menggunakan pikiran. Sedangkan kata “studi” dalam bahasa Indonesia berarti kajian, telaah, penyelidikan ilmiah.[16]

Kata “kritis” berarti:

- bersifat tidak dapat lekas percaya

- bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisaan.

- keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha.[17]

Kata “hadis” oleh ulama didefenisikan sebagai segala sabda, perbuatan, taqri>r,[18] dan hal ihwal Nabi Muh}ammad saw.[19] Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Dengan demikian, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah ialah segala berita berkenaan dengan: 1) sabda 2) perbuatan, 3) taqri>r, dan 4) hal ihwal Nabi Muh}ammad saw., yakni segala sifat dan keadaan pribadi beliau.[20]

Sedangkan ulama us}u>l menyatakan bahwa hadis adalah segala perkataan, segala perbuatan, dan taqri>r Nabi yang bersangkut paut dengan hukum atau yang pantas dijadikan hukum syara’.[21]

Adapun “s}alat tasbih” adalah suatu s}alat yang dalam setiap perpindahan dari satu hay’ah (gerakan) kepada hay’ah lainnya mengandung pujian (tasbih, zikir) kepada Allah swt yang berbunyi سبْحاَنَ الله وَ اَلحَمْد ُلله وَلاَ اِله اِلا الله وَ اللهَ أََكْبَر (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar), sehingga seluruh tasbih tersebut berjumlah tiga ratus kali.[22]

Dari uraian pengertian judul di atas, maka dapat dipahami bahwa tesis ini mengkritisi hadis-hadis tentang s}alat tasbih.

D. Kajian Pustaka

Sejauh penelusuran dan pembacaan penulis, buku-buku yang membahas s}alat sunnah telah banyak. Akan tetapi diantara buku-buku tersebut hanya sedikit yang membahas masalah s}alat tasbih itupun hanya dibahas secara umum. Antara lain buku yang berjudul Fiqh al-Sunnah karangan Sayyid Sabiq, Bugyatul Mut}at}awwi’ fi> S{ala>tu Tat}awwu’ karangan Muh}ammad bin ‘Umar Bazmul yang diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Shalat Sunat Rasulullah, 77 Hadis Panduan Shalat Sunat karangan Nadhirah Mudjab. Di dalam buku-buku tersebut dijelaskan macam-macam salat sunnah, diantaranya adalah s}alat tasbih serta tata cara melaksanakannya dan keistimewaan-keistimewaan yang dikandungnya. Adapun buku Pedoman Shalat karangan Hasbi ash-Shiddieqy, di dalamnya diungkapkan bahwa s}olat sunnah tasbih adalah suatu s}alat yang diperselisihkan ulama. Ada yang menganggapnya sunnah dan ada pula yang membid’ahkan. Riwayat yang menerangkan kesunnatannya dicela oleh sebahagian ahli hadis, oleh sebab itu lebih utama meninggalkannya.

Dari beberapa literatur, penulis belum melihat adanya pembahasan mengenai kualitas hadis-hadis tentang s}alat tasbih yang terfokus pada satu buku, khususnya yang mengkritik kualitas hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai s}alat tasbih. Jadi rancangan penelitian ini merupakan pengembangan dari peneliti sebelumnya, atau pelengkap dari karya-karya yang sudah ada.

E. Metode Penelitian

Tesis ini menggunakan metode verifikasi, yakni mengkritisi hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh masyarakat dalam melaksanakan s}alat tasbih.

Pengkajian terhadap metode ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menentukan tema atau masalah.

2. Menjelaskan pengertian, kedudukan, tujuan, dan tata cara melaksanakan s}alat tasbih yang dipahami oleh masyarakat.

3. Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait, melalui kegiatan takhri>j al-h}adi>s, dengan menggunakan kitab kamus al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi>.

4. Melakukan klasifikasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis (lafal dan makna).

5. Melakukan kegiatan i’tiba>r dengan melengkapi skema sanad.

6. Melakukan penelitian sanad, meliputi: persambungan sanad, kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang menjadi sanad hadis bersangkutan, terhindar dari sya>z\ dan ‘illat, serta metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat.

7. Melakukan penelitian matan, meliputi: kemungkinan adanya ‘illat (cacat) dan terjadinya sya>z\ (kejanggalan).

9. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan sebuah karya penelitian atau syarahan hadis.

Adapun teknik interpretasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Interpretasi tekstual, yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan teksnya semata dan/atau memperhatikan bentuk dan cakupan makna. Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi tekstual adalah pendekatan linguistik (lugawi>) dan teleologis (kaidah-kaidah fiqh).

2. Interpretasi intertekstual (muna>sabah), yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan hadis lain. Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi intertekstual adalah teologis-normatif.

3. Interpretasi kontekstual, yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan asba>b wuru>d al-h}adi>s\ (konteks di masa Rasul; pelaku sejarah, peristiwa sejarah, dsb.) dan konteks kekinian (konteks masa kini). Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi kontekstual adalah pendekatan holistik dan multidisipliner.[23]

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk menguji kualitas hadis-hadis tentang s}alat tasbih dengan melakukan penelitian studi kritik sanad dan matan hadis.

2. Untuk menggali kandungan hadis tentang s}alat tasbih.

Adapun kegunaan penelitian ini:

1. Penelitian ini diolah sesuai dengan prosedur ilmiah yang tentunya dapat memberikan informasi ilmiah sehingga dapat menambah wawasan intelektual secara umum, dan secara khusus dapat mengungkapkan kualitas sanad dan matan hadis tentang s}alat tasbih.

2. Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini dapat dijabarkan dalam masyarakat.

G. Garis-garis Besar Isi Tesis

Untuk mendapatkan deskripsi global terhadap penelitian ini, maka ada baiknya penulis mengemukakan sistematika pembahasan sebagaimana yang terdapat pada pokok-pokok permasalahan.

Penelitian ini berisi lima bab yang diawali dengan bab I (pertama) sebagai pendahuluan yang merupakan titik tolak guna melangkah pada penjelasan lebih lanjut yang terdiri atas latar belakang, rumusan dan batasan masalah, pengertian judul, kajian pustaka, metode penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, dan garis-garis besar isi tesis.

Bab II (kedua), merupakan tinjauan umum mengenai s}alat tasbih yang berisi pengertian s}alat tasbih, kedudukan s}alat tasbih, tujuan s}alat tasbih, dan tata cara s}alat tasbih.

Bab III (ketiga), merupakan pembahasan mengenai takhri>j al-h}adi>s\ tentang s}alat tasbih yang meliputi pengertian takhri>j al-h}adi>s\, klasifikasi hadis-hadis tentang s}alat tasbih, dan al-i’tiba>r sanad hadis.

Bab IV (keempat), berisi uraian tentang kritik sanad dan kritik matan.

Dan terakhir adalah bab V (kelima), yang merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan atau penegasan jawaban terhadap permasalahan, selain itu pada bab ini juga dikemukakan beberapa implikasi penelitian.



[1]Al-Ima>m Abi> 'Abdilla>h Muh}ammad ibn ‘Isma>il ibn Ibra>hi>m ibn Mugi>rah ibn Bardizbah Al-Bukha>ri> al-Ja'fi>,. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kita>b al-Az\a>n Ba>b Man Qa>la: Liyuaz\in fi al-Safar Muaz\inun Wahid juz I, h. 194. Kita>b al-Adab Ba>b Rah}mat al-Na>s bi al-Baha>imi, juz VII, h. 101-102. Kita>b Akhba>r al-Ah}ad Ba>b Ma> Ja>a fi> ija>zati Khabar wahid al-S{udu>q, juz VIII h. 481. (Bayru>t: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.) Al-Ima>m Abu> Muh}ammad 'Abdulla>h ibn 'Abd al- Rah}ma>n ibn al-Fad}l ibn Bahram Al-Da>rimi>,. Sunan al-Darimi>, Kitab al-S{ala>t juz I (Indonesia: Maktabah Wahlan, t.th.), Al-Ima>m Ah}mad Ibn H{anbal. Al-Musnad Ah}mad ibn H{anbal, jilid V (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t. th.), h. 53.

[2] Ima>m Ma>lik bin Anas, Al-Muwat}t}a (Cet. II; Bayrut: Da>r al-Ji>l, 1973), h. 875..

[3]Qat}’i al-wuru>d adalah absolute (mutlak) kebenaran beritanya. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4.

[4] Z{anni al-wuru>d adalah nisbi atau relatif (tidak mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Ibid.

[5]Ibid., h. 3.

[6]Gerakan pemnalsuan hadis ini berkembang di masa khalifah ‘Ali> bin Abi> T{a>lib. Pada masa itu barisan umat Islam benar-benar terpecah, yang tercermin pada terbentuknya dua kelompok militer. Yakni kelompok militer ami>rul mukmini>n ‘Ali> yang didukung oleh penduduk Hijaz dan Irak, dan kelompok militer Mu’a>wiyah –gubernur Syam- yang didukung oleh mayoritas penduduk Syam dan Mesir. Terpecahnya umat Islam itu mendorong terjadinya peperangan yang dahsyat. Tidak lama kemudian perselisihan diakhiri melalui tahkim (arbitrase) yang kemudian melahirkan berbagai macam kelompok politik (aliran teologi) dalam Islam. Selanjutnya baca Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992), h. 1-10.

[7]M. ‘Ajja>j al-Khati>b, Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Cet. I; Kayro: Maktabah Wahbah, 1963), h. 225-227.

[8]Isi surat edaran resmi ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z tersebut sebagai berikut:

أنطر ماكان من حديث رسول الله صهم. فاكتبه فاني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل الا حديث النبي صهم. ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتي يعلم فان العلم لا يهلك حتي يكون سرا.

“Periksalah apa yang ada dari hadis Rasulullah saw., lalu tulislah, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu dan meninggalnya para ulama. Janganlah engkau terima, kecuali hadis MNabi saw. Sebarkanlah ilmu dan selenggarakanlah majelis ilmu, sehingga orang yang tidak berilmu menjadi berilmu, karena sesunggauhnya ilmu itu tidak akan hilang sebelum ia menjadi sesuatu yang rahasia (disembunyikan).”

Lihat Al-Imam Abi> 'Abdillah Muhammad ibn Isma>il ibn Ibra>hi>m ibn Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari> al-Ja'fi>,. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz I( Bayru>t: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), 30.

[9] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis; Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 4.

[10]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 98-104.

[11]Karena di dalam hadis-hadis tersebut disebutkan bahwa pahala melaksanakannya tidak terhingga banyaknya, yaitu: segala dosa, baik yang besar maupun yang kecil, yang disengaja maupun yang tidak, baik yang lalu maupun yang akan datang semuanya diampuni oleh Allah swt. Penyebutan pahala yang begitu besar merupakan salah satu dari ciri-ciri hadis palsu.

[12]Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Cet. XXIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 506-507.

[13]Abi> Da>wud Sulayma>n bin al-As}'as} al-Sijista>ni>,. Sunan Abi> Da>wud, kitab al-S{ala>t bab S{ala>t at-Tasbi>h, juz I (Bayru>t: Dar al-Fikr, 1994), h. 483-484. Al-H{afiz} Abi> 'Abdulla>h Muh}ammad bin Yazid al-Qaswini. Sunan ibn Ma>jah, Kita>b Iqa>mat al-S{ala>t wa al-Sunnat Fi>ha> Ba>b Ma> Ja’a fi> S{ala>t al-Tasbi>h, juz I. (Bayru>t: Dar al-Fikr, 1995). h. 442

[14]Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary (Cet. II; Jakarta: Modern English Press, 1986), h. 1950.

[15]Ibid., h. 398.

[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1990), h. 860.

[17] Ibid., h. 466.

[18]Kata taqri>r adalah bentuk masdar dari kata kerja qarrara. Dari segi bahasa dapat berartii penetapan, pengakuan, atau persetujuan. Lihat Abu> al-Fad}l Jamal al-Di>n Muh}ammad bin Mukram Ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab, Juz VI (Bayru>t: Da>r S{adr, 1396 H./1968 M.), h. 394.

[19]M. ‘Ajjaj al-Khati>b, Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muh wa Must}alahuhu> (Cet. III; Bayrut: Da>r al-Fikr, 1975), h. 28.

[20] Syuhudi Ismail, Kaedah…op.cit. h. 25.

[21] M. Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, op. cit., h. 16.

[22]Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1602.

[23]Tekhnik interpretasi ini diambil dari tekhnik interpretasi untuk metode tematik yang terdapat dalam Arifuddin Ahmad, “Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis; Sebuah Konstruksi Epistemologis” dalam Orasi Pengukuhan Guru Besar. (Makassar: 31 Mei 2007), h. 24.

0 Responses

Post a Comment