Transendent
TASAWUF ABU YAZID AL BUSTAMI
(by. Abu Muslim)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu gerakan klasik mistisme yang merupakan reaksi atas legalisme dan kekakuan Islam ortodoks yang kita kenal dengan istilah sufisme merupakan suatu sekte yang berusaha mencapai hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan. Esensinya adalah kesucian yang merupakan pola pikir tasawuf yang terkait dengan kesederhanaan dan pengalaman pribadi para sufi dan dijadikan sebagai konsep pengalaman beragama.
Kita sudah sering mendengar tentang keadaan dan sejarah dua sufi besar terkenal hingga nama dan sejarahnya di masa kini masih sering dibahas para sejarawan. Adalah Abu Yazid Bustami dan Mansur al Hallaj dua orang sufi yang pada masanya telah menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al ittihadnya telah dikembangkan oleh Al Hallaj melalui ajarannya al hulul. Kedua bentuk ajaran ini tidak memiliki banyak perbedaan, karena Al Hallaj meneruskan jejak seniornya Bustami. Ideologi ini pernah menyebar hingga ke Asia tenggara khususnya di Indonesia. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda asing. Pada masa sejarah tertentu ia malah telah mempribumi dan anggun. Hamzah fanzuri dan Syeikh Siti Jenar di jawa adalah dua dari sekian banyak nama sufi yang selalu saja berada pada bibir sejarah Islam Indonesia. Riwayat Syeikh Siti Jenar malahan sering disejalurkan dengan kisah- kisah Mansur Al Hallaj, walaupun ada perbedaan bobot zaman dan ungkapan kesufiannya. Namun keduanya memiliki dimensi politik dalam menerima hukuman matinya. Jika Al Hallaj terlibat ke dalam gerakan syiah garis keras Al Qaramithah sebagaimana dibuktikan dalam pengadilannya, Syeikh Siti Jenar terlibat pada penghimpunan kekuatan untuk melawan Negara Islam Indonesia Demak.
Oleh karena itu, adalah sangat mungkin untuk mengindentikkan corak keberagamaan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh paradigma sufisme yang terkadang masih melibatkan mistik dalam hegemoni kehidupan berbudaya, yang oleh daya pikir rasional manusia sangat sulit memahaminya dalam konteks ilmiah.
Untuk itu, sebagai media ilmiah, dalam makalah ini penulis akan mengetengahkan konsep ajaran tasawuf kedua tokoh tersebut di atas, berikut biografi singkat dari Abu Yazid al-Bustami dan Abu Mansur al Hallaj.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka akan diuraikan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Biografi kehidupan serta konsep tasawuf dari Abu Yazid al Bustami?
2. Bagaimana pula tentang Riwayat Hidup serta konsep tasawuf dari Abu Mansur al Hallaj?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ajaran Abu Yasid al-Bustami
1. Riwayat Hidup Abu Yasid al-Bustami
Abu Yasid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun 874-947 M. nama lengkapnya adalah Abu Yasid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyam. Semasa kecilnya dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyam yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk agama Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam. Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid. Ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi .¨Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan "sufi" dan "abid"nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M .¨Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan- ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :¨"Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku" yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj . Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormat terhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.¨Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan ajaran tasawuf dengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh tarikat ini masih dapat dilihat di beberapa dunia Islam seperti Zaousfana', Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al- Bustami terletak di tengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekeramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubah pada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin .
2. Konsep Tasawuf Abu Yasid al-Bustami
a. Al-Fana’ dan al-Baqa
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yasid adaah Fana’ dan Baqa’. Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dalam proposisi fana’an artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa kata fana’ berasal dari bahasa Arab, yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang, atau hancur.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain fana’ berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Sedang baqa’ berasal dari kata baqiya dari segi bahasa berarti tetap, sedang menurut istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan baq biasanya digunakan dengan proposisi baqa’bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama dengan sesuatu.
Dalam kamus Al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan sehingga yang tersisa hanyalah kecintaan kepada-Nya. Dalam tasawuf fana’ dan baqa’ datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf, “apabila nampaklah nur kebaqa’an, maka fana’lah yang tiada dan baqa’lah yang kekal. Tasawuf ini adalah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya karena hati mereka bersama Allah.
Pencapaian Abu Yasid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan Allah. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yasid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya “bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu” Tuhan menjawab, “tinggalkan diri (nafsu) mu dan kemarilah”. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahan fana’ karena keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga sedang mengalami baqa’, al-Quraisyi menyatakan, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya, tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah, barang siapa yang hatinya zuhud dari kehidupan, maka ia sedang fana’ dan keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya…”
Dengan demikian, sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya. Dengan demikian yang tinggal dalam dirinya sesuatu yang baik. Sesuatu yang hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lainnya akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul taqwa.
b. Al-ittihad
Ittihad secara bahasa berasal dari kata ittihadu-yattahidu yang berarti dua benda menjadi satu. Yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Tahapan ini merupakan tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Ada dua tingkat pertanyaan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan Tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan Tuhan. Yang disebut tingkat pertama. Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik yaitu kesadaran akan adanya maha Zat yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak yaitu bersatunya kebersatuan.
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat. Dengan fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:

لست أتعجب من حبى لك فأ نا عند فقير ولكنى أتعجب من حبك لى وانت ملك قدر
“ Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah Raja Maha Kuasa”

Ketika berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قال ياابايزيد إنهم كلهم خلقى غيرك فقلت : فأنت ان وان انت
“Tuhan berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah mahluk”. Aku pun berkata, “Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau.”

Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan orang awam.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid adalah Tuhan, akan tetapi kata-kata iti adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui Abu Yazid yang sedang fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti fir’aun. Proses ittihad Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanyalah hakekat yang satu yakni Allah. Bahkan ia tidak melihat dan menyadari dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.
3. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami
Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya "Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku" yang telah dikemukakan di atas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana'. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana') yang mengatakan "kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari'at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari'at", maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari'at. Memang ungkapan-ungkapan al- Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al- Bustami yang sedang dalam keadaan Fana'al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan "Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana'".
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan.¨Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan . Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.¨Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana' dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana'an adalah kefana'an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.
B. Konsep Ajaran Abu Mansur al-Hallaj
1. Sekilas Tentang Abu Mansur al-Halllaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Hasan bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 244 H (857-858 M), ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Al-Hallaj bukan orang Arab melainkan keturunan Persia. Kakeknya bernama Muhammad, seorang majuzi taat. Namun ayahnya yang kemudian berpindah menjadi pemeluk agama Islam.
Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang yang terkenal pada saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah at-Tusturi di Ahwas. Dua tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada Amr al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia memasuki kota Baghdad dan belajar kepada Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf.
Al-Hallaj selalu berpindah-pindah dalam pengembaraan yang panjang. Selama dalam pengembaraannya ia telah menunaikan ibadah haji tiga kali, dan kemudian menetap di Baghdad dan mengajarkan ajaran-ajaran tasawuf yang berbeda dengan tasawuf sebelum dan sezamannya.
Ungkapan ana al-Haqq adalah ungkapan al-Hallaj yang tidak dapat dimaafkan oleh ulama fiqh karena dianggap murtad. Dan itulah yang menjadi alasan untuk mengajarkannya. Setahun kemudian ia meloloskan diri dari penjara, tetapi empat tahun kemudian ia tertangkap lagi.
Delapan tahun dalam penjara tidak melunturkan pendiriannya akhirnya pada tahun 921 M, ia divonis hukuman mati dengan mula-mula dipukuli, dicambuk, dengan cemeti, lalu disalib. Kedua kaki dan tangannya dipotong dan lehernya dipenggal. Setelah itu tubuhnya dibiarkan tergantung di pintu gerbang kota Baghdad.
Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan bahwa, setelah dipenjara delapan tahun, al-Hallaj dihukum gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengadu kesakitan lalu dipenggal kepalanya. Namun, sebelum dipancung, ia meminta shalat dua rakaat. Setelah itu, kaki dan tangannya dipotong, lalu badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan.
2. Ajaran al-Hulul Abu Mansur al-Hallaj
Hulul berarti penempatan, penyinaran, dan penurunan. Sedangkan menurut istilah Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan QS. al-Baqarah:34:
          
  
Terjemahnya:

“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada malaikat, “sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia enggan dan takabbur dan ia termasuk golongan kafir”

Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam ada unsur ketuhanan. Jika Nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia, yang terdiri atas roh dan jasad, lahut itu dapat bersatu dengan manusia dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut (keilahian) dan nasut (kemanusiaan), demikian pula manusia melalui maqamat, manusia mampu ketingkat fana’ dimana manusia telah menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hululnya Tuhan dalam dirinya, atau Tuhan menitis kepada yang dipilih-Nya melalui titik sentral manusia yaitu roh.
Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya
“Jiwa disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia pun menyentuhku. Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku. Aku adalah ia yang kucintai, dan ia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat, engkau lihat ia. Dan jika engkau lihat ia,engkau lihat kami”
Dan al-Hallaj pun mengatakan bahwa:

“Bila engkau tidak mengenal Allah
setidaknya engkau mengetahui tanda-tandanya.
Akulah tanda-tanda itu,
Akulah kebenaran sejati (ana al-Haq),
Sahabat-sahabat dan guru-guru adalah iblis dan fir’aun,
Iblis telah diancam dengan kesalahannya,
Fir’aun telah ditengelamkan ke dasar laut,
Tapi tidak mau mengakui kekafirannya,
Dan aku mesti dibunuh dan disalib,
Dan meski kaki dan tanganku dipatahkan,
Aku tidak akan mengaku salah.”

Menurut al-Hallaj, apabila jiwa seseorang telah suci dalam menempuh hidup kerohanian, akan naiklah tingkat hidupannya dari satu maqam ke maqam yang lain. Setelah sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka Tuhan akan menjelma dalam dirinya, sehingga apa yang dilakukannya merupakan perbuatan Tuhan. Ungkapan ana al-haqq bukanlah bermakna tekstual. Namun pada hakekatnya kata-kata tersebut adalah yang ia ucapkan melalui lidahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Abu Yazid al_bustami adalah sorang sufi dengan ajaran tasawufnya yaitu al-fana’ al-baqa’ dan al-ittihad. Al-fana’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari dalam diri manusia. Al-baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilu pengetahuan, dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan al-ittihad adalah menyatunya jiwa manusia dengan Tuhan melalui usaha maksimal seperti taubat, zikir, ibadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
2. Abu Mansur al-Hallaj dengan konsep al-hulul berpendapat bahwa tidaklah mustahil jika seorang menyatu dengan Tuhan, karena pada diri manusia terdapat unsur ketuhanan. Apabila diri manusia dibersihkan dari unsur nasut dan didominasi dengan unsure lahut, maka Tuhan akan mengambil tempat pada diri manusia.
3. Ulama syari'ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketika ia fana', baqa', dan Ittihad.
4. Mengkaji konsep al-Huluul tidak bisa dilepaskan dari penafsiran-penafsiran al-Hallaj sendiri atas doktrin tersebut. Melihatnya tentu dari kaca mata sufi bukan dari kaca mata fiqih atau teologi.
Pertanyaan yang berkembang pada saat diskusi:
1. Bagaimana sesungguhnya makna kisah dari mimpi Abu Yasid al Bustami ketika oleh Allah diserukan untuk meninggalkan dirinya untuk bisa sampai kepada Tuhan?
2. Dalam paham al Hulul, apakah benar bahwa Tuhan akan memilih tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang bersangkutan hilang? Dan apakah ini berarti Tuhan menempati ruang dan waktu?
3. Bagaimana pendapat pemakalah tentang paham Tuhan menempati Ruang dan waktu?
4. Bagaimana kedudukan abu Yasid al Bustami serta Al hallaj mengenai syatahat yang disampaikannya? Apakah ia termasuk kafir? Dan apa yang membedakannya dengan Firaun?
0 Responses

Post a Comment