Transendent
KHILAFAH FATIMIYAH DI MESIR
(Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran)
by Abu Muslim

A. Latar Belakang
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Islam Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-VII dan ke-VIII Masehi isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khilafah Umayyah dan Abbasiyah yang direalisasikan dengan upaya keras untuk merebut khilafah. Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan ternyata belum membuahkan hasil, justru secara politis kaum Muslim Syi’ah mengalami penindasan dari Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyah.
Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khilafah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700 – 756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifaan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlulbait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Dalam perkembangannya Khilafah Fatimiyah mampu membangun sistem perpolitikan yang begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang pesat, namun sebagaimana dinasti kekhilafaan sebelumnya, Khilafah Fatimiyah juga mengalami zaman kemunduran dan kehancuran. Untuk itu kajian lebih mendalam tentang eksistensi Khilafah Fatimiyah layak dibahas untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya konstalasi pemerintahan dan peradaban pada masa Khilafah Bani Fatimiyah.
B. Permasalahan
Dari paparan latar belakang tersebut di atas, maka yang jadi pokok permasalahan di sini adalah: Bagaimana eksistensi Khilafah Fatimiyah di Mesir. Agar kajian ini lebih sistematis maka masalah pokok tersebut akan dirinci ke dalam sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah?
2. Apa Kemajuan yang dicapai oleh Khilafah Fatimiyah?
3. Bagaimana pula Proses Kemunduran dan Kehanccuran Khilafah Fatimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah
Fatimiyah adalah dinasti syiah yang dipimpin oleh 14 khalifah atau imam di Afrika Utara (297-567 H / 909-1171 M). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah, keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad). Kata Fatimiyah dinisbahkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Abbas Mahmud al-Aqqad menyatakan bahwa setiap keturunan Fatimah Az-Zahra’ disebut orang-orang Fatimi. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H / 909-934 M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimi mempunyai silsilah keturunan yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, bilamana kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Munculnya gerakan fatimiyah, yang di Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrin-doktrinnya berdimensi politik, agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis Isma’il, putra Ja’far as-Sadiq. Namun musuh-musuh mereka manolak bahwa asal-usul mereka tersebut adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi asal-usul Yahudi pada orang-orang yang mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan Yahudi. Sampai sekarang pun asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya.
Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan khilafahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah asy-syi’i, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan dalam mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Mu’izz (Khalifah keempat) dengan panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969. Ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa selanjutnya.
Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Mu’iz sistem pemerintahan dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang kemiliteran, industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan gerakan pembaharuan.
Dinasti Fatimiyah merupakan Khilafah beraliran syi’ah yang berkuasa di Mesir tahun 297/909 M sampai 567/1171 M selama kurang lebih 262 tahun. Para penguasa yang pernah berkuasa adalah:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi bi'llah (909-934).
2. Abu l-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur bi-llah (946-953).
4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Dinillah (953-975).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975-996).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996-1021).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Tahir li-I'zaz Dinillah (1021-1036).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanzir bi-llah (1036-1094)
9. al-Musta'li bi-llah (1094-1101).
10. al-Amir bi-Ahkamullah (1101-1130).
11. 'Abd al-Majid al-Zafir (1130-1149).
12. al-Zafir (1149-1154).
13. al-Fa'iz (1154-1160).
14. al-'Adid (1160-1171).
B. Kemajuan yang Dicapai oleh Khilafah Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al-Mu’izz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah. Al Aziz adalah khalifah kelima yang berkuasa di dinasti Fatimiyah dan merupakan khalifah pertama di Mesir.
Pada masa ini terjadi perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan, istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu.
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat antara lain:
Di Bidang Pemerintahan, Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Di Bidang Kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
Di Bidang Politik, dilakukan oleh Khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya:
1. Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika.
2. Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai Naubah sebelah selatan.
3. Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan daerah.
Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir.
Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan. Ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan melahirkan ahli fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang berhasil membangun masjid al-Azhar.
Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan adalah didirikannya lembaga keilmuan yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat fan kedokteran telah dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illumited al-Qur’an.
Di Bidang Ekonomi dan Sosial, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik. Dikisahkan pada suatu Festifal, khalifah sangat cerah dan berpakaian indah, istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal, juga masjid dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan dan tidak membedakan antara syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.
Dari pemaparan tersebut di atas dapatlah kiranya ditarik benang merah dari kemajuan yang dicapai Dinasti Fatimiyah antara lain karena:
a. Pemimpinnya Bijaksana
b. Militernya kuat.
c. Administrasi pemerintahannya baik.
d. Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil.
e. Kehidupan bermasyarakat tentram dan damai.

C. Masa Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Fatimiyah
Kemunduran Khilafah Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku barber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H / 996 M lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh bebrapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi kedelai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng.
Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan nonmuslim. Jika tidak, tentu saja keuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun, dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya perang salib.
Pamor Dinasti Fatimiah semakin menurun karena banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology Syiah pada rakyat yang mayoritas Sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul bayang-bayang serbuan tentara Salib. Merasa tidak sanggup menghadapi tentara Salib. Khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar minta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin az-Zanki mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayyubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tubuh Dinasti Fatimiah masih juga terjadi persaingan memperebutkan wazir. Dalam persaingan itu, bahkan ada yang mengundang kembali tentara Perancis (Salib) untuk dijadikan backing. Maka pada tahun 1167 pasukan Nuruddin az-Zanki kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasaninya. Apalagi perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir.
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah.
2. Kemajuan yang terlihat pada masa Khilafah Fatimiyah antara lain dipertegas dengan beberapa faktor antara lain:
a. Pemimpinnya Bijaksana
b. Militernya kuat.
c. Administrasi pemerintahannya baik.
d. Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil.
e. Kehidupan bermasyarakat tentram dan damai
3. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Khilafah fatimiyah, antara lain adalah:
a. Banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia.
b. Konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah.
c. Terjadinya persaingan memperebutkan wazir.
0 Responses

Post a Comment